Selasa, 05 September 2017

Aktivis penolak tambang emas ditahan, 'kriminalisasi pembela HAM terus terjadi'

Abraham Utama | 5 September 2017


Image caption
Ilustrasi. Banyuwangi memiliki sejumlah situs tambang, salah satunya di Kawah Ijen. Sementara itu, situs tambang emas di Tumpang Pitu telah ditetapkan menjadi kawasan vital nasional.| AFP/GETTY IMAGES

Tiga hari menjelang peringatan ke-13 hari kematian aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib, Senin (04/09), Heri Budiawan, penolak tambang emas di Kabupaten Banyuwangi, ditahan kejaksaan dalam kasus simbol palu arit.
Heri ditangkap Polres Banyuwangi, April lalu, saat berunjuk rasa menentang tambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Polisi menuduh Heru menyebarkan komunisme karena membawa spanduk berlogo palu arit, simbol Partai Komunis Indonesia yang sudah dilarang pemerintah.
Penyidik menetapkan koordinator demonstrasi penolak tambang itu dengan pasal 107 huruf a UU 27/1999 tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Pasal itu memuat ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun bagi orang yang menyebarkan komunisme.
Saat pelimpahan berkas penyidikan, Senin kemarin, kejaksaan menahan Heri. Keputusan itu ditentang Hosnan, kuasa hukum Heri dari Lembaga Bantuan Hukum Surabaya.
Hosnan menyebut Heri tidak sepatutnya ditahan karena selama ini selalu bersikap kooperatif dengan penegak hukum. Lebih dari itu, ia menilai kasus palu arit itu terlalu dipaksakan, apalagi Heri selama ini selalu membantah membawa simbol palu arit kala mendemo tambang emas.
"Ini adalah rekayasa dan bagian untuk membungkam Heri yang menolak eksplorasi di Tumpang Pitu," kata Hosnan.
pontianakHak atas fotoAFP/GETTY IMAGES
Image captionKelompok masyarakat sipil kerap menolak penambangan emas dengan alasan kerusakan lingkungan. Bekas lubang tambang, seperti yang dipotret di Pontianak, Kalimantan Barat ini misalnya, berpotensi menjadi sumber penyakit.
Juru bicara Polres Banyuwangi Ajun Komisaris Bakin membantah tudingan Hosanan. Ia mengatakan kepolisian wajib mengusut seluruh kejahatan tanpa melihat latar belakang terduga pelaku.
"Masyarakat ada yang mendukung, ada juga yang kontra. Polisi ada di tengah. Menegakkan hukum itu kewajiban kami. Kalau memang tidak cukup bukti, nanti pengadilan yang akan mengambil sikap terhadap perkara itu," ujar Bakin saat dihubungi dari Jakarta.
Tambang emas yang didemo Heri dan sebagian warga Banyuwangi itu dioperasikan PT Bumi Suksesindo. Area tambang perusahaan itu ditetapkan sebagai objek vital nasional. Pada 2017, mereka menargetkan dapat memproduksi setidaknya 100.000 ons emas.
Para penolak tambang itu, termasuk Heri, khawatir eksploitasi emas dapat merusak lingkungan tempat tinggal mereka, terutama menganggu ketersediaan air bersih masyarakat.
MunirHak atas fotoAFP/GETYY IMAGES
Image captionWajah Munir kini kerap terlihat di sudut berbagai kota di Indonesia, dalam bentuk poster maupun mural. Gambar itu kerap disertai tulisan, "Ada dan berlipat ganda."
Tak berimbang
Peneliti KontraS, Yati Andriyani, menyebut kasus Heri serupa dengan kasus kematian Munir, pengacara HAM yang meninggal dunia akibat diracun arsenik dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam di dalam pesawat Garuda Indonesia, 2004.
Merujuk kasus Heri dan pengungkapan kasus Munir yang berhenti di pencarian surat rekomendasi tim gabungan pencari fakta, pemerintah, menurutnya, masih terus menganggap pembela hak warga sebagai pengganggu stabilitas keamanan dan politik.
Ditambahkannya, pemerintah kerap menggunakan berbagai cara untuk menghentikan advokasi yang dilakukan pembela HAM.
"Kami menyayangkan isu komunis dijadikan alat untuk mengkriminalisasi pembela HAM. Ini menunjukkan watak pemerintah yang tak memahami kontribusi pembela HAM untuk negara," ujar Yati di Jakarta, Senin siang tadi.
MuchdiHak atas fotoAFP/GETTY IMAGES
Image captionMayjen (Purn) Muchdi PR divonis bebas dalam sidang kematian Munir. Kasus itu hanya menjerat eks pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus.
Kepolisian, kata Yati, juga kerap tidak objektif saat menangani perkara yang berkaitan dengan masyarakat yang memperjuangkan hak mereka.
"Dalam banyak sengketa tanah antara petani dan korporasi, penegak hukum kerap berpihak kepada pemilik modal. Di sisi lain pemerintah menempatkan pembela HAM sebagai pelanggar kepentingan umum atau pelaku makar," tuturnya.
Pada tempat yang sama, Jaksa Agung periode 2001, Marsilam Simanjuntak, mengaku tak heran dengan sikap pemerintah yang diucapkan Yati. Ia menuturkan bahwa pemerintah terbiasa menjadikan kekacauan dan keadaan darurat sebagai alasan melakukan kekerasan.
"Masyarakat bereaksi dengan protes. Tapi oleh penguasa, protes itu akan dianggap dukungan terhadap sumber kekacauan yang telah ditanggulangi.
"Maka pembelaan itu pun dituduh mengganggu stabilitas atau pengkhianat yang harus dibasmi. Siklusnya begitu seterusnya," ucap Marsilam.

Sumber: BBC Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar