Minggu, 17 September 2017

Kala Sinema Ikut Melawan Represi Agraria


oleh Jonathan Manullang* - 15 September 2017

Film “Tragedi Kali Abang” merekonstruksi isu reformasi agraria di Klaten menjelang peristiwa 30 September 1965.

Hamparan sawah terbentang luas. Di salah satu sudut, beberapa petani sedang beristirahat di bawah atap saung. Seorang pria muda mendatangi mereka seraya memperkenalkan diri. Mengenakan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam, kita dapat mendeduksi bahwa ia berasal dari kota. Tak lama kemudian, pria tersebut sudah berbincang akrab dengan petani-petani yang baru saja dikenalnya tentang para tuan tanah yang bertindak sewenang-wenang.

Cuplikan adegan di atas terdapat dalam sebuah film pendek garapan sekelompok mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta yang mereka produksi pada 2015 guna memenuhi persyaratan tugas salah satu mata kuliah. Film berjudul “Tragedi Kali Abang” yang disutradarai oleh Arifin itu lantas dimanfaatkan sebagai media rekonstruksi terhadap isu reformasi agraria serta polemik tarik ulur penguasaan lahan di pedesaan Klaten, Jawa Tengah menjelang peristiwa 30 September 1965.

Film “Tragedi Kali Abang” mengeksplorasi situasi sosial pada tahun-tahun terakhir Demokrasi Terpimpin tatkala organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) giat menjalankan kampanye literasi di kampung-kampung terpencil melalui program Pemberantasan Buta Huruf atau PBH. Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama kali menginisiasi program PBH ini pada 1957, dan secara perlahan peran krusial program ini meningkat terus hingga mencapai puncaknya ketika PKI aktif menyebarkan seruan reformasi agraria sepanjang tahun 1964.

Menurut Rachman (2017), sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 13 Januari 1960 menegaskan bahwa reformasi agraria atau land reform dilaksanakan untuk mencapai tujuan revolusi, yakni masyarakat sosialis Indonesia, seperti yang dicita-citakan Presiden Soekarno sejak 1959.
 Caranya dengan menghapuskan kelas-kelas tuan tanah, mengurangi buruh tani, dan memberikan tanah hanya kepada warga yang menggarapnya sendiri. Reformasi agraria merupakan strategi untuk mengatasi ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat akibat perbedaan penguasaan tanah.

Ambiguitas hak pengolahan tanah oleh transmigran di Aceh Tengah diperlihatkan film 1880 MDPL.

PKI tampaknya sadar betul bahwa kesuksesan agenda politik mereka terkait reformasi agraria ini bergantung kepada kelompok petani. Dengan demikian, para petinggi partai mulai serius mendiskusikan perumusan suatu sistem pendidikan terpadu yang mampu mengajarkan petani tentang betapa pentingnya memiliki kesadaran politik, sehingga kelak mereka bisa memahami bahwa tuan tanah bukanlah orang suci dan otoritas mereka dapat ditumbangkan (McVey, 1990).

Narasi film “Tragedi Kali Abang” kemudian memotret bagaimana BTI, dengan dukungan penuh PKI, memobilisasi para petani penggarap yang menjadi korban diskriminasi ekonomi tuan tanah setempat. Mereka berkolaborasi melancarkan serangkaian aksi boikot hingga mengambil alih sawah secara sepihak. 
Momentum perdana sesungguhnya berada di pihak BTI, tapi kemudian peristiwa 30 September 1965 terjadi. TNI Angkatan Darat lantas mendeklarasikan operasi penumpasan para anggota dan simpatisan PKI maupun orang-orang yang terduga komunis di berbagai daerah, termasuk Jawa Tengah. Menurut McVey (1990), PKI pun dibubarkan dan rencana pendidikan proletariat runtuh total, namun warisan sederhana seperti kemampuan para petani menganalisa kondisi lingkungan sekitar mereka secara komprehensif, walau ditulis di atas secarik kertas kumal, tidak pernah luput dari perhatian peneliti maupun akademisi asing.

Selama melancarkan operasi penumpasan PKI selama tahun 1965-1966, TNI Angkatan Darat kerap mengambil paksa rumah ataupun lahan milik orang-orang yang mereka anggap berafiliasi dengan paham komunis. Sifat antagonisme militer tersebut bahkan tetap bertahan pasca Reformasi 1998.

Film dokumenter “Payung Hitam” (2011) dari sutradara Chairun Nissa misalnya, menangkap preseden buruk ini dalam salah satu segmennya: seorang petani perempuan bernama Neneng berdomisili di Kampung Cibitung, Kecamatan Rumpin, tetangga langsung Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Lanud Atang Sandjaja milik TNI Angkatan Udara.

Pada 2007, pihak militer membangun area latihan terpadu di atas lahan milik warga kampung secara ilegal. Penduduk sekitar sontak menentang dengan melancarkan aksi demonstrasi yang berakhir rusuh serta mengakibatkan beberapa korban luka dari personel tentara. TNI AU membalas dengan menyatroni rumah-rumah penduduk secara sporadis sehingga meninggalkan trauma mendalam bagi banyak orang, terutama anak-anak dan remaja.

Akar historis kebiasaan negatif tentara tersebut dapat kita telusuri kembali ke satu periode spesifik, tepat setelah pemerintah Republik Indonesia menasionalisasi seluruh perusahaan milik Belanda (yang mayoritas berlangsung sepanjang dasawarsa 1950-an). Pemerintah pusat kala itu membutuhkan pemasukan yang lebih besar demi menutupi biaya pengadaan infrastruktur dan menanggulangi aksi pemberontakan yang ramai muncul di seantero negeri. Maka sebagai upaya menggenjot penerimaan kas negara, segenap elemen eksekutif memperkenalkan kebijakan fiskal berganda. Jenis pungutan pajak meningkat, begitu pula penerbitan regulasi baru terkait profit-sharingkomoditas ekspor-impor dari berbagai provinsi.

Di sisi lain, para komandan militer tingkat regional, yang telah terlibat dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi sejak masa revolusi, juga ingin memperoleh tambahan penghasilan pribadi lantaran republik yang usianya baru seumur jagung pada saat itu belum sanggup menggaji mereka dengan layak. Mengutip Howard (dalam Bemmelen dan Raben, 2017), kondisi ini otomatis memicu persekongkolan antara kalangan perwira dengan pejabat pemerintahan sipil. Persekongkolan tersebut membuktikan pula bahwa perilaku korupsi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian golongan elit negeri ini sejak periode 1950-an.

Dalam konteks nasional agraria sekarang, jejak perilaku korupsi sedemikian rupa cenderung sukses menghasilkan peraturan-peraturan aneh menyangkut izin penggarapan lahan. Akibatnya, kualitas penghidupan masyarakat menjadi terancam sebagaimana tersaji dalam film dokumenter observasional “1880 MDPL” (2016) karya Riyan Sigit Wiranto dan Miki Saleh.

Film ini mengeksplorasi ambiguitas hak pengolahan tanah oleh sekumpulan keluarga transmigran di Desa Merah Jemang, Aceh Tengah. Sebagai catatan, desa tersebut adalah daerah tujuan transmigrasi yang pertama kali dibuka pada 1997. Setelah terdesak oleh serangkaian produk hukum aneh dari Jakarta, penduduk desa pun berinisiatif membuka lahan-lahan baru dengan cara terpaksa mengorbankan hutan di sekeliling tempat tinggalnya.

Film Turah yang berlatar Kampung Tirang di Tegal menggambarkan dampak akumulasi isolasi geografis dan ekonomis.

Yang lebih menarik, film “Turah” (2016) besutan Wicaksono Wisnu Legowo dan diproduksi Fourcolours Films [Baca ulasan Angga Rulianto.....] berhasil memaparkan sebentuk ironi bagi upaya yang pernah dilakukan PKI dalam membangun sistem pendidikan terpadu untuk kaum buruh dan petani.

Mengambil latar Kampung Tirang, sebuah kampung terpencil di pesisir utara Tegal, sang sutradara menggambarkan bagaimana akumulasi isolasi geografis dan ekonomis memicu pembusukan suatu wilayah. Listrik menyala hanya pada malam hari, kelangkaan sumber air bersih, sampai eksploitasi sumber daya dan alat-alat produksi tanpa henti adalah pemandangan umum di sana. Suatu hari, seorang warga memutuskan melawan status quo lantas mendorong timbulnya konflik antar kelas sosial. Sayangnya, satu-satunya tokoh yang bertitel sarjana (representasi kaum terdidik) dalam film ini justru menggunakan kemampuannya demi memastikan seluruh penduduk kampung tetap bermental inferior alih-alih memupuk daya pikir kritis mereka.

Persinggungan berulang perihal represi agraria mungkin paling jelas kita jumpai dalam “Ziarah” (2016), debut film panjang BW Purbanegara [Baca ulasan Angga Rulianto.....]. Mbah Sri, seorang perempuan berusia 95 tahun, mencari makam suaminya yang hilang sejak Agresi Militer Belanda II tahun 1948. Melalui petualangan Mbah Sri beserta sang cucu yang pontang-panting menyusul, kita diajak menelusuri bermacam cerita tentang kepemilikan sekaligus pemanfaatan lahan. Ada yang mengenang konflik tanah masa lampau, ada yang sedang berjuang, serta ada pula yang tersingkir. Pada satu adegan, tanah bahkan telah diokupasi oleh air sehingga daging manusia seakan tak mampu bersatu kembali dengan esensi materialistiknya. Alhasil, pemaknaan atas hakikat tanah dan air versi film “Ziarah” berhasil menggelitik nalar saya.

Selama ini kita selalu menyebut idiom “tanah air” guna merepresentasikan kerinduan kolektif kita akan satu model kesatuan bangsa yang ideal dan tahan uji dalam menghadapi lingkungan sosial yang begitu majemuk. Esensi air selaku salah satu bahan kandungan tanah menegaskan pula bahwa keduanya tidak pernah benar-benar bercampur secara utuh. Oleh karena itu, “tanah air” pun tidak serta merta bermakna asimilasi total budaya sebagaimana warisan indoktrinasi rezim Orde Baru, melainkan seharusnya memberi ruang lebih luas bagi multikulturalisme untuk bisa tumbuh perlahan-lahan. Multikulturalisme tak mengindahkan relasi kuasa, karena di hadapannya setiap individu bebas mengekspresikan identitas kultural pribadinya sembari hidup berdampingan dengan individu lain yang mengusung identitas kultural berbeda dalam lingkungan egaliter.

Secara umum persoalan tanah dalam film-film di atas adalah saksi bisu bagi perjalanan panjang sejarah Indonesia setelah kemerdekaan. Pelanggaran hak hidup sampai penumpahan darah mewarnai episode transisi rezim Orde Lama/Demokrasi Terpimpin menuju rezim Orde Baru. Periode Orde Baru sendiri tampil amat radikal memperlakukan tanah. Dalam naskah teater ikonik “Opera Kecoa”, sang penulis Norbertus Riantiarno menunjukkan bagaimana orang miskin hidup melarat di kota besar seraya menyisipkan satir pedas menyasar kebijakan elit birokrat semasa pemerintahan Soeharto.

Salah satu adegan pada naskah tersebut bahkan secara spesifik menyoroti arah ideologi pembangunan Orde Baru yang sama sekali mengabaikan preservasi lahan. Birokrat-birokrat Soeharto lebih senang menghabiskan bantuan dana asing untuk menggunduli hutan lantas mendirikan monumen-monumen, yang menurut mereka, menjadi simbol kemajuan budaya nasional (di samping representasi modernitas lainnya, seperti sekolah, perpustakaan umum, rumah ibadah, serta pasar). Mengutip sindiran keras Riantiarno: monumen bagi Orde Baru ibarat celana bagi manusia purba, semacam lambang peradaban hakiki (Vickers, 2005).

Perihal represi agraria berulang kali disinggung dalam film "Ziarah".

Lebih lanjut, alam juga selalu mengambil peran pasif selaku medium pemantul bagi segala hal yang terjadi di permukaannya. Berita seputar perbudakan modern kapitalis, pembakaran hutan secara masif, politik lingkungan berorientasi kepentingan golongan, pengucilan masyarakat adat, perjuangan petani Kendeng yang memperoleh sorotan nasional, pro-kontra atas tindakan penggusuran/relokasi, serta perdebatan panjang proyek reklamasi pantai belakangan ini sejatinya mengajak kita untuk berefleksi dan merenungkan beragam ketidakadilan yang tengah melanda kehidupan sosial bermasyarakat.

Mungkin kita perlu kembali berkaca dan mempelajari dekade 1950-an. Menurut McVey (dalam Bemmelen dan Raben, 2017), sebagai satu-satunya dasawarsa yang sangat dihindari Orde Baru, meskipun penyelenggaraan pemilu yang dianggap terbaik sepanjang sejarah republik berlangsung pada periode ini, pengaruh kultural terkuat dekade 1950-an sebetulnya tak jauh-jauh dari isu agraria. Dengan bertambahnya akses informasi terhadap kajian ilmiah yang menyasar periode 1950-an (bisa diperpanjang sampai pertengahan 1960-an) serta semakin banyak karya sinematik generasi terkini yang mulai berani membahas isu penguasaan lahan, maka pembacaan komprehensif atas periode tersebut bisa menjadi jalan terbaik bagi anak-anak muda untuk mulai memformulasikan representasi-representasi kreatif guna melawan ekspansi represi agraria yang kian gencar menyerang banyak daerah.

Di sisi lain, sebuah sistem edukasi yang bertujuan membangun kesadaran politis serta daya pikir kritis bagi seluruh warga negara, apa pun latar belakang dan status sosialnya, jelas menjadi tawaran solusi krusial yang perlu segera didiskusikan dan diwujudkan bersama. Pemupukan nilai social inquiry atas problematika tanah secara khusus harus menjadi poin prioritas. Sebab pada hakikatnya seorang manusia, di mana pun ia berada, memiliki otoritas penuh untuk mengolah dan memanfaatkan tanah yang ia pijak demi mencukupi kebutuhannya sendiri. (*)

Referensi

Dick, Howard. 2011. “Ekonomi Indonesia Pada Tahun 1950-an: Kurs Beraneka, Jaringan Bisnis serta Hubungan Pusat-Daerah” dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an, Sita van Bemmelen dan Remco Raben (ed), halaman 53-54. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

McVey, Ruth T. 2011. “Kasus Tenggelamnya Sebuah Dasawarsa” dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an, Sita van Bemmelen dan Remco Raben (ed), halaman 18-19. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

McVey, Ruth T. “Teaching Modernity : The PKI as an Educational Institution” dalam Indonesia, Volume 50 (Oktober 1990). Ithaca: Cornell University.

Rachman, Noer Fauzi. 2017. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress.

Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Jonathan Manullang. Penggemar robot yang doyan nonton film apa saja. Pernah terlibat sebagai Kurator Muda Asia di ARKIPEL 2015. Juru Program Sinema Rabu dari 2015 sampai sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar