oleh Jonathan Manullang* - 15
September 2017
Film “Tragedi Kali Abang”
merekonstruksi isu reformasi agraria di Klaten menjelang peristiwa 30 September
1965.
Hamparan sawah terbentang luas. Di salah satu sudut,
beberapa petani sedang beristirahat di bawah atap saung. Seorang pria muda
mendatangi mereka seraya memperkenalkan diri. Mengenakan kemeja putih dan
celana bahan berwarna hitam, kita dapat mendeduksi bahwa ia berasal dari kota.
Tak lama kemudian, pria tersebut sudah berbincang akrab dengan petani-petani yang
baru saja dikenalnya tentang para tuan tanah yang bertindak sewenang-wenang.
Cuplikan adegan di atas terdapat dalam sebuah film pendek
garapan sekelompok mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas
Negeri Yogyakarta yang mereka produksi pada 2015 guna memenuhi persyaratan
tugas salah satu mata kuliah. Film berjudul “Tragedi Kali Abang” yang
disutradarai oleh Arifin itu lantas dimanfaatkan sebagai media rekonstruksi
terhadap isu reformasi agraria serta polemik tarik ulur penguasaan lahan di
pedesaan Klaten, Jawa Tengah menjelang peristiwa 30 September 1965.
Film “Tragedi Kali Abang” mengeksplorasi situasi sosial
pada tahun-tahun terakhir Demokrasi Terpimpin tatkala organisasi Barisan Tani
Indonesia (BTI) giat menjalankan kampanye literasi di kampung-kampung terpencil
melalui program Pemberantasan Buta Huruf atau PBH. Partai Komunis Indonesia
(PKI) pertama kali menginisiasi program PBH ini pada 1957, dan secara perlahan
peran krusial program ini meningkat terus hingga mencapai puncaknya ketika PKI
aktif menyebarkan seruan reformasi agraria sepanjang tahun 1964.
Menurut Rachman (2017), sidang Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) pada 13 Januari 1960 menegaskan bahwa reformasi agraria atau land
reform dilaksanakan untuk mencapai tujuan revolusi, yakni masyarakat
sosialis Indonesia, seperti yang dicita-citakan Presiden Soekarno sejak 1959.
Caranya dengan
menghapuskan kelas-kelas tuan tanah, mengurangi buruh tani, dan memberikan
tanah hanya kepada warga yang menggarapnya sendiri. Reformasi agraria merupakan
strategi untuk mengatasi ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat akibat
perbedaan penguasaan tanah.
Ambiguitas hak pengolahan
tanah oleh transmigran di Aceh Tengah diperlihatkan film 1880 MDPL.
PKI tampaknya sadar betul bahwa kesuksesan agenda politik
mereka terkait reformasi agraria ini bergantung kepada kelompok petani. Dengan
demikian, para petinggi partai mulai serius mendiskusikan perumusan suatu
sistem pendidikan terpadu yang mampu mengajarkan petani tentang betapa
pentingnya memiliki kesadaran politik, sehingga kelak mereka bisa memahami
bahwa tuan tanah bukanlah orang suci dan otoritas mereka dapat ditumbangkan
(McVey, 1990).
Narasi film “Tragedi Kali Abang” kemudian memotret
bagaimana BTI, dengan dukungan penuh PKI, memobilisasi para petani penggarap
yang menjadi korban diskriminasi ekonomi tuan tanah setempat. Mereka
berkolaborasi melancarkan serangkaian aksi boikot hingga mengambil alih sawah
secara sepihak.
Momentum perdana sesungguhnya berada di pihak BTI, tapi
kemudian peristiwa 30 September 1965 terjadi. TNI Angkatan Darat lantas
mendeklarasikan operasi penumpasan para anggota dan simpatisan PKI maupun
orang-orang yang terduga komunis di berbagai daerah, termasuk Jawa Tengah.
Menurut McVey (1990), PKI pun dibubarkan dan rencana pendidikan proletariat
runtuh total, namun warisan sederhana seperti kemampuan para petani menganalisa
kondisi lingkungan sekitar mereka secara komprehensif, walau ditulis di atas
secarik kertas kumal, tidak pernah luput dari perhatian peneliti maupun
akademisi asing.
Selama melancarkan operasi penumpasan PKI selama tahun
1965-1966, TNI Angkatan Darat kerap mengambil paksa rumah ataupun lahan milik
orang-orang yang mereka anggap berafiliasi dengan paham komunis. Sifat
antagonisme militer tersebut bahkan tetap bertahan pasca Reformasi 1998.
Film dokumenter “Payung Hitam” (2011) dari sutradara
Chairun Nissa misalnya, menangkap preseden buruk ini dalam salah satu
segmennya: seorang petani perempuan bernama Neneng berdomisili di Kampung
Cibitung, Kecamatan Rumpin, tetangga langsung Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) dan Lanud Atang Sandjaja milik TNI Angkatan Udara.
Pada 2007, pihak militer membangun area latihan terpadu
di atas lahan milik warga kampung secara ilegal. Penduduk sekitar sontak
menentang dengan melancarkan aksi demonstrasi yang berakhir rusuh serta
mengakibatkan beberapa korban luka dari personel tentara. TNI AU membalas
dengan menyatroni rumah-rumah penduduk secara sporadis sehingga meninggalkan
trauma mendalam bagi banyak orang, terutama anak-anak dan remaja.
Akar historis kebiasaan negatif tentara tersebut dapat
kita telusuri kembali ke satu periode spesifik, tepat setelah pemerintah
Republik Indonesia menasionalisasi seluruh perusahaan milik Belanda (yang
mayoritas berlangsung sepanjang dasawarsa 1950-an). Pemerintah pusat kala itu
membutuhkan pemasukan yang lebih besar demi menutupi biaya pengadaan
infrastruktur dan menanggulangi aksi pemberontakan yang ramai muncul di seantero
negeri. Maka sebagai upaya menggenjot penerimaan kas negara, segenap elemen
eksekutif memperkenalkan kebijakan fiskal berganda. Jenis pungutan pajak
meningkat, begitu pula penerbitan regulasi baru terkait profit-sharingkomoditas
ekspor-impor dari berbagai provinsi.
Di sisi lain, para komandan militer tingkat regional,
yang telah terlibat dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi sejak masa revolusi,
juga ingin memperoleh tambahan penghasilan pribadi lantaran republik yang
usianya baru seumur jagung pada saat itu belum sanggup menggaji mereka dengan
layak. Mengutip Howard (dalam Bemmelen dan Raben, 2017), kondisi ini otomatis
memicu persekongkolan antara kalangan perwira dengan pejabat pemerintahan
sipil. Persekongkolan tersebut membuktikan pula bahwa perilaku korupsi sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian golongan elit negeri ini sejak
periode 1950-an.
Dalam konteks nasional agraria sekarang, jejak perilaku
korupsi sedemikian rupa cenderung sukses menghasilkan peraturan-peraturan aneh
menyangkut izin penggarapan lahan. Akibatnya, kualitas penghidupan masyarakat
menjadi terancam sebagaimana tersaji dalam film dokumenter observasional “1880
MDPL” (2016) karya Riyan Sigit Wiranto dan Miki Saleh.
Film ini mengeksplorasi ambiguitas hak pengolahan tanah
oleh sekumpulan keluarga transmigran di Desa Merah Jemang, Aceh Tengah. Sebagai
catatan, desa tersebut adalah daerah tujuan transmigrasi yang pertama kali
dibuka pada 1997. Setelah terdesak oleh serangkaian produk hukum aneh dari
Jakarta, penduduk desa pun berinisiatif membuka lahan-lahan baru dengan cara
terpaksa mengorbankan hutan di sekeliling tempat tinggalnya.
Film Turah yang berlatar
Kampung Tirang di Tegal menggambarkan dampak akumulasi isolasi geografis dan
ekonomis.
Yang lebih menarik, film “Turah” (2016) besutan Wicaksono
Wisnu Legowo dan diproduksi Fourcolours Films [Baca ulasan Angga Rulianto.....] berhasil memaparkan
sebentuk ironi bagi upaya yang pernah dilakukan PKI dalam membangun sistem
pendidikan terpadu untuk kaum buruh dan petani.
Mengambil latar Kampung Tirang, sebuah kampung terpencil
di pesisir utara Tegal, sang sutradara menggambarkan bagaimana akumulasi
isolasi geografis dan ekonomis memicu pembusukan suatu wilayah. Listrik menyala
hanya pada malam hari, kelangkaan sumber air bersih, sampai eksploitasi sumber
daya dan alat-alat produksi tanpa henti adalah pemandangan umum di sana. Suatu
hari, seorang warga memutuskan melawan status quo lantas mendorong
timbulnya konflik antar kelas sosial. Sayangnya, satu-satunya tokoh yang
bertitel sarjana (representasi kaum terdidik) dalam film ini justru menggunakan
kemampuannya demi memastikan seluruh penduduk kampung tetap bermental inferior
alih-alih memupuk daya pikir kritis mereka.
Persinggungan berulang perihal represi agraria mungkin
paling jelas kita jumpai dalam “Ziarah” (2016), debut film panjang BW
Purbanegara [Baca ulasan Angga Rulianto.....]. Mbah Sri, seorang
perempuan berusia 95 tahun, mencari makam suaminya yang hilang sejak Agresi
Militer Belanda II tahun 1948. Melalui petualangan Mbah Sri beserta sang cucu
yang pontang-panting menyusul, kita diajak menelusuri bermacam cerita tentang
kepemilikan sekaligus pemanfaatan lahan. Ada yang mengenang konflik tanah masa
lampau, ada yang sedang berjuang, serta ada pula yang tersingkir. Pada satu
adegan, tanah bahkan telah diokupasi oleh air sehingga daging manusia seakan
tak mampu bersatu kembali dengan esensi materialistiknya. Alhasil, pemaknaan
atas hakikat tanah dan air versi film “Ziarah” berhasil menggelitik nalar saya.
Selama ini kita selalu menyebut idiom “tanah air” guna
merepresentasikan kerinduan kolektif kita akan satu model kesatuan bangsa yang
ideal dan tahan uji dalam menghadapi lingkungan sosial yang begitu majemuk.
Esensi air selaku salah satu bahan kandungan tanah menegaskan pula bahwa
keduanya tidak pernah benar-benar bercampur secara utuh. Oleh karena itu,
“tanah air” pun tidak serta merta bermakna asimilasi total budaya sebagaimana
warisan indoktrinasi rezim Orde Baru, melainkan seharusnya memberi ruang lebih
luas bagi multikulturalisme untuk bisa tumbuh perlahan-lahan. Multikulturalisme
tak mengindahkan relasi kuasa, karena di hadapannya setiap individu bebas
mengekspresikan identitas kultural pribadinya sembari hidup berdampingan dengan
individu lain yang mengusung identitas kultural berbeda dalam lingkungan
egaliter.
Secara umum persoalan tanah dalam film-film di atas
adalah saksi bisu bagi perjalanan panjang sejarah Indonesia setelah
kemerdekaan. Pelanggaran hak hidup sampai penumpahan darah mewarnai episode
transisi rezim Orde Lama/Demokrasi Terpimpin menuju rezim Orde Baru. Periode Orde
Baru sendiri tampil amat radikal memperlakukan tanah. Dalam naskah teater
ikonik “Opera Kecoa”, sang penulis Norbertus Riantiarno menunjukkan bagaimana
orang miskin hidup melarat di kota besar seraya menyisipkan satir pedas
menyasar kebijakan elit birokrat semasa pemerintahan Soeharto.
Salah satu adegan pada naskah tersebut bahkan secara
spesifik menyoroti arah ideologi pembangunan Orde Baru yang sama sekali
mengabaikan preservasi lahan. Birokrat-birokrat Soeharto lebih senang
menghabiskan bantuan dana asing untuk menggunduli hutan lantas mendirikan
monumen-monumen, yang menurut mereka, menjadi simbol kemajuan budaya nasional
(di samping representasi modernitas lainnya, seperti sekolah, perpustakaan
umum, rumah ibadah, serta pasar). Mengutip sindiran keras Riantiarno: monumen
bagi Orde Baru ibarat celana bagi manusia purba, semacam lambang peradaban
hakiki (Vickers, 2005).
Perihal represi agraria
berulang kali disinggung dalam film "Ziarah".
Lebih lanjut, alam juga selalu mengambil peran pasif
selaku medium pemantul bagi segala hal yang terjadi di permukaannya. Berita
seputar perbudakan modern kapitalis, pembakaran hutan secara masif, politik
lingkungan berorientasi kepentingan golongan, pengucilan masyarakat adat,
perjuangan petani Kendeng yang memperoleh sorotan nasional, pro-kontra atas
tindakan penggusuran/relokasi, serta perdebatan panjang proyek reklamasi pantai
belakangan ini sejatinya mengajak kita untuk berefleksi dan merenungkan beragam
ketidakadilan yang tengah melanda kehidupan sosial bermasyarakat.
Mungkin kita perlu kembali berkaca dan mempelajari dekade
1950-an. Menurut McVey (dalam Bemmelen dan Raben, 2017), sebagai satu-satunya
dasawarsa yang sangat dihindari Orde Baru, meskipun penyelenggaraan pemilu yang
dianggap terbaik sepanjang sejarah republik berlangsung pada periode ini,
pengaruh kultural terkuat dekade 1950-an sebetulnya tak jauh-jauh dari isu
agraria. Dengan bertambahnya akses informasi terhadap kajian ilmiah yang
menyasar periode 1950-an (bisa diperpanjang sampai pertengahan 1960-an) serta
semakin banyak karya sinematik generasi terkini yang mulai berani membahas isu
penguasaan lahan, maka pembacaan komprehensif atas periode tersebut bisa
menjadi jalan terbaik bagi anak-anak muda untuk mulai memformulasikan
representasi-representasi kreatif guna melawan ekspansi represi agraria yang
kian gencar menyerang banyak daerah.
Di sisi lain, sebuah sistem edukasi yang bertujuan
membangun kesadaran politis serta daya pikir kritis bagi seluruh warga negara,
apa pun latar belakang dan status sosialnya, jelas menjadi tawaran solusi
krusial yang perlu segera didiskusikan dan diwujudkan bersama. Pemupukan
nilai social inquiry atas problematika tanah secara khusus harus
menjadi poin prioritas. Sebab pada hakikatnya seorang manusia, di mana pun ia
berada, memiliki otoritas penuh untuk mengolah dan memanfaatkan tanah yang ia
pijak demi mencukupi kebutuhannya sendiri. (*)
Referensi
Dick,
Howard. 2011. “Ekonomi Indonesia Pada Tahun 1950-an: Kurs Beraneka, Jaringan
Bisnis serta Hubungan Pusat-Daerah” dalam Antara Daerah dan Negara:
Indonesia Tahun 1950-an, Sita van Bemmelen dan Remco Raben (ed), halaman 53-54.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
McVey,
Ruth T. 2011. “Kasus Tenggelamnya Sebuah Dasawarsa” dalam Antara Daerah
dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an, Sita van Bemmelen dan Remco Raben (ed),
halaman 18-19. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
McVey,
Ruth T. “Teaching Modernity : The PKI as an Educational Institution”
dalam Indonesia, Volume 50 (Oktober 1990). Ithaca: Cornell University.
Rachman,
Noer Fauzi. 2017. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress.
Vickers,
Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge
University Press.
Jonathan Manullang. Penggemar robot yang doyan
nonton film apa saja. Pernah terlibat sebagai Kurator Muda Asia di ARKIPEL
2015. Juru Program Sinema Rabu dari 2015 sampai sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar