Minggu, 17 September 2017

Nasib Waktu Pengungkapan Sejarah 1965-1966


17 September 2017 15:53

Laskar Merah Putih dan FPI datangi gedung LBH. (Foto: Fadjar Hadi/kumparan)

Seminar bertema “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” yang mestinya dilaksanakan di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jalan Diponegoro Nomor 74, Jakarta Pusat, dibatalkan Sabtu kemarin (16/9). Kepolisian memblokade dan merangsek masuk ke dalam gedung untuk membubarkan acara tersebut.

Orang-orang yang berkumpul hendak mengikuti seminar--sebagian sudah sepuh dan berjalan dengan tongkat, juga panitia yang tengah berdiskusi tentang situasi yang berkembang, segera dibubarkan.

Dalam sejarah YLBHI, jarang sekali gedung mereka--yang selama ini menjadi simbol penggawa demokrasi dan perlawanan terhadap otoritarianisme--menjadi target tindakan represif aparat keamanan. Pun tidak pada masa Orde Baru.

Blokade seminar di YLBHI (Foto: Dok. Nursjahbani)

Sejarah negara-bangsa Republik Indonesia pada medio gelap Orde Baru--yang dimulai dengan serangkaian aksi kekerasan terorganisir sejak kup Oktober 1965--memang kerap dianggap tabu untuk dibicarakan. Alasan populer yang mengemuka selalu tak jauh dari tudingan “kebangkitan komunisme” atau “komunisme gaya baru”.

Tak heran, hampir setiap ruang publik yang menjadi arena lalu lintas pertukaran pikiran dalam mengungkap sejarah yang disebut-sebut sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar abad ke-20 itu mendapat tekanan.

Nyatanya, tekanan selamanya tak dapat menutup pencarian kebenaran.
Para penyintas menuntut keadilan atas perampasan hak asasi manusia dan hak sebagai warga negara yang sah. Akademisi menuntut keadilan penulisan sejarah dan pengetahuan yang terang-benderang.

Muda-mudi, generasi baru yang tak memiliki beban sejarah seperti para pendahulunya, menginginkan jaminan penghormatan negara atas hak asasi manusia di masa depan dengan kejujuran untuk membuka tubir gelap sejarah di masa lalu.

Pada titik itu, seminar “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” merupakan bagian dari napas panjang sejak kediktatoran Soeharto tumbang pada 1998.

Konferensi pers YLBHI (Foto: Dok. Tim Advokasi Seminar 1965)

Bergulirnya Reformasi memang membawa musim semi demokrasi. Setahun setelah rezim Soeharto runtuh, pada 1999, lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Tahun berikutnya, 2000, lahir Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Peneliti senior Institute for Global Justice Bonnie Setiawan dalam artikelnya “Kejahatan 1965: Hostis Humanis Generis” menuliskan kedua produk hukum itu diharapkan dapat melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan rezim--sehingga apa yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto tak terulang, memastikan penegakkan dan kepastian hukum serta keadilan dan rasa aman dari pelanggaran HAM.

Lahir pula organisasi-organisasi non-pemerintah yang bertujuan mengungkap kejahatan kemanusiaan yang menjadi pondasi berdirinya rezim militeristik Orde Baru. Salah satunya adalah Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 yang didirikan pada 7 April 1999.

Bedjo Untung, Ketua YPKP 1965-1966--yang belum lama ini menerima Human Rights Award of The Truth Foundation dalam peringatan Hari PBB untuk mendukung korban penyiksaan, kekerasan, dan penghilangan orang secara paksa--mengatakan, yayasannya berkomitmen untuk meneliti, menyelidiki, dan menemukan fakta-fakta serta bukti-bukti adanya genosida di berbagai daerah di Indonesia oleh rezim Orde Baru.

Bedjo Untung (Foto: Facebook/@Bedjo Untung)

Dalam melakukan penelitian, YPKP 1965-1966 mengunjungi berbagai daerah, antara lain Medan, Bukittinggi, Painan, Padang Pariaman, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Balikpapan, Argosari (Kalimantan Timur), serta banyak kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.

Dari penelitian dan penyelidikan itu, ditemukan sedikitnya 122 lokasi kuburan massal dari pembantaian, dengan jumlah korban 13.999 orang dibunuh. Jumlah ini masih sementara karena penyelidikan masih terus berlangsung, sebagaimana ia tulis dalam “Memori Sejarah dan Mengingat Kembali 1965: Dari Perspektif Korban” pada November 2016.

Rincian kuburan massal tragedi 1965-1966 di Indonesia yakni: Jawa Tengah 50 lokasi (5.543 orang tewas), Yogyakarta 2 lokasi (757 orang tewas), Jawa Timur 28 lokasi (2.846 orang tewas), Jawa Barat 3 lokasi (115 orang tewas), Banten 1 lokasi (200 orang tewas), Sumatera Utara 7 lokasi (5.759 orang tewas), Sumatera Barat 21 lokasi (1.988 orang tewas), Kepulauan Riau 5 lokasi (173 orang tewas), Sumatera Selatan 2 lokasi (2.150 orang tewas), Bali 1 lokasi (11 orang tewas), Kalimantan Timur 1 lokasi, dan Sulawesi 1 lokasi.

Penelitian YPKP 1965-1966 juga memperkuat hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk Tragedi 1965-1966, yakni adanya 9 unsur kejahatan kemanusiaan serius yang terjadi, yaitu: pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, kerja paksa atau perbudakan, pemerkosaan massal, pemindahan tempat tinggal secara paksa, perampasan, dan pembatasan kemerdekaan atau kebebasan berekspresi.

Dalam tragedi 1965-1966, berdasarkan temuan yayasan tersebut, juga terdapat unsur genosida, yaitu menghancurkan orang atau kelompok tertentu atau orang-orang yang memiliki keyakinan atau ideologi politik yang berbeda. Ada banyak versi perkiraan jumlah sesungguhnya manusia yang dibunuh, antara ratusan ribu hingga jutaan orang.

Sari Dewi Sukarno, istri Presiden Sukarno, menyebutkan,sekurang-kurangnya 2 juta manusia dibunuh. Amnesty Internasional menyebutkan 1 juta manusia dibunuh. Badan Intelijen Amerika Serikat, CIA, dalam laporannya menyebut angka korban dibunuh 500 ribu.

Sarwo Edhie Wibowo yang pada masa itu menjabat Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elite yang ditugasi menumpas orang-orang yang dituduh komunis, menyebut angka sekurang-kurangnya 3 juta manusia dibunuh.

Sehingga bukan tanpa dasar jika laporan Komnas HAM, seperti dikatakan Bonnie, menyebut operasi penumpasan oleh militer Orde Baru itu sebagai “Crimes Against Humanity”. Bonnie mengatakan kejahatan itu digolongkan sebagai hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia). Untuk kejahatan semacam ini, tegas dia, tak dikenal masa kedaluwarsa.

IPT 1965 (Foto: Flickr/@International People's Tribunal Media)

Penelitian ilmiah mengenai peristiwa 1965-1966 masih terus dilakukan meski sederet hasil kajian sudah dipublikasikan. Begitu pun dengan upaya-upaya hukum dan ikhtiar untuk membiasakan mengisi ruang publik dengan diskusi atau seminar tentangnya. Tentu, deretan usaha ini tak pernah absen ditentang kelompok-kelompok tertentu.

Pada Agustus 2015 misalnya, YPKP 1965-1966 menggelar Pertemuan Nasional Korban di kota Salatiga, Jawa Tengah. Namun acara itu kemudian ditunda menyusul ancaman pembunuhan terhadap anggota panitia penyelenggara serta ancaman perusakan atau pembakaran tempat berlangsungnya pertemuan.
“Kami hanya ingin kejelasan, kepastian hukum, dan pengakuan oleh negara atas kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh negara. Kami perlu tahu di mana keluarga kami diculik. Pencarian korban yang telah hilang harus dilakukan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka untuk memperoleh keadilan. Pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk untuk memberikan pelajaran dan efek jera bagi pelaku, sehingga pelanggaran serupa tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang,” tulis Bedjo.
Berikutnya, kelompok pegiat demokrasi dan HAM bekerja sama dengan eksil 1965 dan para akademisi menggagas diadakannya International People’s Tribunal 1965. IPT ‘65 akhirnya berlangsung 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda. Sebuah momentum merengkuh keadilan terhadap korban dan keluarga korban pembantaian massal 50 tahun silam.

Lalu pada 20 Juli 2016, keputusan final IPT ‘65 dibacakan oleh Hakim Ketua Zac Yacoob asal Afrika Selatan. Tragedi 1965-1966 dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Pemerintah Republik Indonesia harus minta maaf kepada semua korban, melakukan rehabilitasi, serta memberikan ganti rugi secara layak. 
IPT 1965 (Foto: Facebook/@IPT1965)

Majelis Hakim IPT ‘65 menyatakan kejahatan kemanusiaan dan genosida yang terjadi pada 1965-1966 didalangi dan dilakukan oleh militer melalui sistem komando. Karenanya, menurut Zac Jacoob, Negara Indonesia harus bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan kemanusiaan tersebut.
“Dari hasil penelitian terungkap adanya komando dan petunjuk yang mengaitkan tindakan itu dengan tindak kriminal di wilayah Indonesia lain, dan menunjukkan adanya rantai komando koheren dari Jakarta ke jajaran yang lebih rendah,” ujar Zac Jacoob.
Rekomendasi IPT ‘65 Den Haag juga menemukan bukti keterlibatan pemerintah Amerika Serikat, Australia, dan Inggris dalam memasok senjata, peralatan komunikasi, serta dukungan finansial untuk membantu pembunuhan massal di Indonesia pada periode 1965-1966.

Keputusan IPT ‘65 itu dibacakan oleh Zac Jacoob dari Den Haag dan disiarkan secara langsung ke lima negara. Keputusan ini oleh para pegiat demokrasi dan HAM dinilai memiliki arti penting karena setidaknya telah membuktikan bahwa memang telah terjadi kejahatan HAM berat di Indonesia.

Keputusan IPT ‘65, seperti diduga, tak begitu dipedulikan oleh pemerintah Republik Indonesia sendiri, malahan gelaran IPT ‘65 pun tidak diakui dan secara tegas ditolak seluruh hasilnya oleh pemerintah Indonesia.

Menurut aktivis HAM yang juga keluarga korban tragedi 1965-1966, Soe Tjen Marching, hal tersebut karena wacana yang dilanggengkan Soeharto selama 32 tahun berkuasa sudah terlalu dalam mengakar dan merasuk ke alam pikir masyarakat maupun pejabat negara.

Para pendukung Orde Baru, kata dia, masih memunculkan ketakutan-ketakutan di kalangan korban yang mengalami trauma mendalam. Dan itu tak redup meski rezim berganti.
“Ketakutan untuk mengungkap kebenaran sejarah justru akan semakin melanggengkan kekuasaan Orba yang telah mengakar di negeri ini”, kata Soe Tjen Marching dilansir situs resmi YPKP 1965-1966.
IPT 1965 (Foto: Flickr/@International People's Tribunal Media)

Dampak tragedi 1965 memang menyisakan trauma sangat mendalam, terutama bagi korban. Dan oleh kalangan tertentu, peristiwa ‘65 dianggap sekadar masa lalu yang tak perlu diungkit lagi. Pun meski di kemudian hari terungkap, tragedi yang dikategorikan sebagai kejahatan genosida ini menyimpan manipulasi sejarah dan membawa dampaknya hingga kini.

Sejarawan yang tekun di jalan pengungkapan kasus ini, Asvi Warman Adam, berpendapat setidaknya ada lima babakan narasi sejarah dari peristiwa yang dikenal dengan sebutan G30S (Gerakan 30 September)--awal tragedi kelam 1965.

Pada episode pertama, seperti ditulis Asvi dalam “50 Tahun Studi G30S 1965”, yang diperdebatkan adalah siapa dalang G30S 1965? Buku pertama mengenai peristiwa ini, “40 Hari Kegagalan G30S: 1 Oktober-10 November 1965”, terbit 27 Desember 1965 atas prakarsa Jenderal AH Nasution, yang menugasi beberapa pengajar sejarah Universitas Indonesia untuk menyusunnya.

Walaupun belum menggunakan label “G30S/PKI”, menurutnya, buku ini sudah menyinggung keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam percobaan kudeta tersebut. Akan tetapi, pandangan berbeda diajukan ilmuwan AS, Ben Anderson dan Ruth McVey, yang melihat keterlibatan Angkatan Darat. Laporan itu, yang kemudian dikenal sebagai “Cornell Paper”, terungkap keberadaannya lewat Washington Post edisi 5 Maret 1966.

Tahun 1967, Guy Pauker dari Rand Corporation yang dianggap dekat dengan CIA memberi tahu Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad, tentang keberadaan Cornell Paper dan menyarankan agar ditulis buku tandingan. Soewarto kemudian mengirim Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh, seorang jaksa dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa, untuk melakukan penulisan di Amerika Serikat.

Dengan bantuan Guy Pauker, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, berhasil membuat buku “The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia”. Buku ini dibagikan kepada peserta Kongres Sejarawan Asia di Kuala Lumpur pada 1968.

Asvi menjelaskan, dalam kunjungan ke AS, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh membawa berbagai dokumen, termasuk berkas perkara Mahmilub terhadap Heru Atmojo yang melampirkan visum et repertum jenazah enam jenderal yang jadi korban G30S. Dokumen ini sempat terbaca oleh Ben Anderson, yang selanjutnya menulis artikel menggemparkan bahwa tak benar terjadi pencungkilan mata dan penyiletan kemaluan para jenderal.

Episode kedua narasi G30S adalah sosialisasi versi tunggal penguasa oleh Nugroho Notosusanto melalui penerbitan buku Sejarah Nasional Indonesia tahun 1975, terutama jilid 6 yang melegitimasi rezim Orde Baru. Nugroho juga memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai Arifin C. Noer, 1984. Film itu wajib tayang di layar televisi setiap malam tanggal 30 September.

Sejak 1967, menurut Asvi, dilakukan desukarnoisasi dalam sejarah Indonesia. Selanjutnya, dengan berhentinya Soeharto sebagai presiden pada Mei 1998 menandai episode ketiga narasi G30S. Korban mulai bersuara. Sejarah lisan pun dikerjakan, yang menonjol di antaranya “1965: Tahun yang Tidak Pernah Berakhir”. Persatuan Purnawirawan AURI juga menerbitkan “Menguak Kabut Halim”.

Episode keempat narasi G30S ditandai penerbitan buku John Roosa, “Dalih Pembunuhan Massal”, tahun 2008. Bila semula yang diperdebatkan siapa dalang kudeta 1965, tulis Asvi, kini fokusnya beralih: siapa dalang pembantaian 1965. Roosa menganggap aksi G30S itu dijadikan dalih melakukan pembunuhan massal.

Film The Act of Killing (Foto: Flickr/@theglobalpanorama)

Film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer menandai episode kelima narasi G30S. Bila sebelumnya para korban berbicara, kini pelaku bersaksi. Film ini meraih penghargaan dalam berbagai festival film di mancanegara dan dinominasikan sebagai film dokumenter terbaik Piala Oscar 2014.

Gambaran secara hidup pembantaian terhadap masyarakat Sumatera Utara pasca-G30S itu mendekonstruksi narasi yang disosialisasikan Orde Baru. Pada 10 Desember 2014, film Senyap (The Look of Silence) melengkapi film Jagal yang beredar sebelumnya.

Jika diperhatikan, karya yang beredar pada episode ketiga, yakni sejak Era Reformasi, terlihat bahwa G30S itu mencakup lima aspek. Pertama, peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 yang menyebabkan tewasnya enam jenderal. Kedua, pembunuhan massal setelah peristiwa itu, yang memakan korban sekitar 500 ribu jiwa. Ketiga, pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru, 1969-1979.

Asvi mengungkapkan, bila ketiga hal itu lebih bersifat kekerasan fisik, dua unsur berikutnya lebih bersifat kekerasan mental yakni, unsur keempat, dicabutnya kewarganegaraan ribuan pemuda Indonesia yang sedang belajar di mancanegara tahun 1966. Kelima, stigma dan diskriminasi yang diberlakukan terhadap korban dan keluarganya. Isi instruksi Menteri Dalam Negeri tahun 1981 antara lain melarang anak-anak korban menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan anggota ABRI.

IPT 1965 (Foto: Facebook/@IPT1965)

Dari semua itu, maka terbaca dan terbentang jelas bahwa upaya melawan narasi sejarah 1965-1966 versi Orde Baru memang memerlukan napas panjang. Negara, atau ia yang lebih berkuasa darinya, selalu punya alat yang lebih mumpuni untuk menciptakan dan mendistribusikan wacana.

Namun, bersamaan dengan kelompok yang ingin terus menutup-nutupi periode sejarah mengerikan itu, selalu ada sebagian lainnya yang hendak mencari tahu kebenaran bagi mereka yang ada dalam gelap kuburan massal, serta menyingkap mendung trauma bagi penyintas dan wajah muram keadilan-hak asasi manusia bagi republik ini.

0 komentar:

Posting Komentar