Minggu, 17 September 2017

Pernyataan Sikap dari 4 Organisasi Terkait Pembubaran Diskusi Pelurusan Sejarah 1965


17 September 2017 at 09:13

Keterangan Foto: Blokade polisi di depan gerbang kantor YLBHI, Jakarta Pusat, menolak acara seminar Sejarah Pengungkapan Kebenaran 1965/1966 (16/09/2017) / Forum 65

Jakarta, KPonline – Seminar ‘Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66’ di LBH Jakarta, pada Sabtu (16/09), batal diselenggarakan, setelah kepolisian dan sejumlah anggota organisasi mencegah acara berlangsung. Padahal, acara tersebut rencananya diikuti akademisi, pejabat pemerintah, dan beberapa korban peristiwa 1965-1966.

Bahkan, belasan anggota kepolisian merangsek masuk ke gedung LBH Jakarta untuk memastikan acara seminar bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66″ batal dilaksanakan.

Terkait dengan itu, berikut pernyataan sikap dari KPBI, Forum 65, WALHI, dan Gema Demokrasi.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KPBI)

Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia mengecam tindakan kepolisian yang melarang penyelenggaraan diskusi Pelurusan Sejarah 1965 pada Sabtu, 16 September 2017. Kepolisian melarang diskusi dengan membuat blokade dan melarang peserta diskusi untuk hadir ke lokasi di LBH Jakarta.

KPBI mendapat seruan solidaritas dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia soal serbuan sekitar 100an massa anti-komunis yang hendak membubarkan seminar ilmiah tersebut. Perwakilan KPBI datang ke lokasi dan mendapati bahwa kepolisian tidak melindungi kebebasan berkumpul dan berpendapat. Alih-alih, kepolisian malah membenarkan tindakan ormas anti-demokrasi tersebut untuk membatalkan acara diskusi.

Para peserta yang sudah datang, beberapa sudah lanjut usia, bahkan tidak dapat memasuki gedung. Ketika panitia mengambil kursi untuk duduk mereka di luar, polisi bahkan sempat melarang. Setelah bersikukuh, akhirnya para warga senior itu baru bisa duduk.

KPBI menegaskan bahwa seminar apapun, terlebih selama dimaksudkan untuk membedah persoalan dengan kajian yang ilmiah dan objektif untuk meluruskan sejarah bangsa, merupakan kegiatan yang sah. “Siapapun tidak berhak melarang kegiatan tersebut, termasuk kepolisian. Acara tersebut juga tidak membutuhkan izin maupun pelaporan karena tidak dilakukan di muka umum,” ujar Sekretaris Jenderal KPBI Damar Panca Mulya pada Sabtu, 16 September 2017.

Pelarangan diskusi oleh kepolisian merupakan tindakan fasis dan anti-demokrasi. “Dalam masyarakat demokratis, semua warga berhak berkumpul, berserikat, dan bersuara,” imbuhnya. Dengan kata lain, kepolisian di bawah pimpinan Kapolri Tito Karnavian, telah mencederai nilai-nilai demokrasi,.

Tindakan kepolisian sudah bertentangan dengan pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas memberikan hak setiap warga atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Tindakan segelintir orang yang melakukan mobilisasi juga tidak dapat dibenarkan untuk membubarkan diskusi. “Seharusnya negara melalui polisi memastikan hak berkumpul dan berpendapat dengan melindungi warga dari ancaman kelompok preman, bukannya mendukung tindakan anti-demokrasi,” tegas Damar.

KPBI mencatat kepolisian sudah melakukan pola pembubaran serupa di berbagai tempat. Di antaranya adalah upaya pembubaran Belok Kiri Festival, pemutaran film, bedah buku Tan Malaka dan serta diskusi-diskusi lainnya terkait tragedi 1965.

Untuk itu, KPBI mendesak pemerintah mengusut tindakan pembubaran oleh kepolisian tersebut. Kepala Kepolisian Republik Indonesia Tito Karnavian bertanggungjawab penuh terhadap pembubaran diskusi ini.

FORUM 65

Serangkaian ancaman, aksi penolakan, dan berita palsu mengenai Seminar Pengungkapan Sejarah 1965/1966 telah disebarkan secara sepihak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Bahkan oleh pihak yang seharusnya mendukung pelurusan sejarah 1965/1966, mulai dari unsur pemerintah, TNI, hingga aparat kepolisian.

Seminar yang bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” yang diselenggarakan Sabtu-Minggu, 16-17 September 2017 di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta telah diboikot oleh kepolisian saat ini dengan melakukan blokade jalan. Polisi mempertanyakan izin dengan dalih keamanan. Sementara itu, ada ancaman kekerasan fisik dari pendemo yang mengatasanamakan kelompok anti komunis.

Tindakan pemboikotan, lebih tepat kami sebut pembungkaman, terhadap segala upaya pelurusan dan pengungkapan kebenaran sejarah 1965/1966 ini telah berlangsung semenjak Forum 65, YKPP65, dan IPT65 melakukan kegiatan untuk menelusuri sejarah 1965 bersama para pakar dan korban.

Pada Selasa 1 Agustus 2017 kemarin di Klender Jakarta Timur, IPT65 menyelenggarakan Lokakarya evaluasi dan perencanaan mengenai langkah bersama untuk memajukan kesadaran umum tentang penyelesaian menyeluruh terhadap kejahatan serius 1965-66. Akan tetapi lokakarya itu dicap sebagai rapat anggota partai komunis.

Tuduhan terhadap korban dan pihak yang peduli pelurusan sejarah 1965/1966 telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Jelas, tuduhan tersebut hanya fitnah belaka. Komunis dijadikan alat untuk bagi pihak yang tidak menginginkan pelurusan sejarah 1965 untuk menghentikan segala kegiatan yang berhubungan dengan hal itu.

Oleh karena itu, Kami dari FORUM 65 menyatakan:
Mendesak Pemerintahan Joko Widodo untuk menegaskan sikapnya mendukung pelurusan Sejarah 1965/1966 dan memerintahkan aparat untuk melindungi para korban dan semua pihak yang terlibat sesuai dengan amanat undang-undang.

Meminta kepada Kepala Polisi Sektor Menteng untuk meningkatkan perlindungan, alih-alih ikut memboikot dengan memblokade jalan, dari pihak-pihak yang melakukan ancaman terhadap peserta seminar. Kapolsek juga seharusnya tidak mempertanyakan izin sebab acara ini tidak berlangsung di tempat umum, melainkan gedung milik YLBHI.

Pelarangan terhadap Seminar Pengungkapan Kebenaran Sejarah 65/66 telah mencoreng nilai demokrasi, terlebih menodai upaya korban dalam memperoleh hak atas kebenaran dan keadilan dari negara.

Kami juga mengingkatkan kepada semua pihak yang menentang pelurusan seminar pengungkapan sejarah 1965/1966 ini bahwa tidak akan ada rekonsiliasi antara para pelaku dan korban jika tidak ada pengungkapan sejarah.

Kami juga meminta Bapak Kepala Polisi RI Tirto Karnavian untuk bertindak tegas dalam memberi perlindungan terhadap warga negaranya dan menjamin demokrasi dijunjung tinggi tanpa terkecuali.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Secara terang-terangan aparat Kepolisian telah melakukan tindakan penyerangan terhadap kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH Jakarta, setelah sebelumnya melarang kegiatan diskusi yang akan membedah peristiwa 65. Apa yang terjadi menggambarkan aparatus negara dalam hal ini aparat kepolisian telah memperlihatkan watak aslinya yakni militeristik dan anti demokrasi.

YLBHI dan LBH Jakarta merupakan organisasi yang dilahirkan dari sebuah kesadaran pentingnya memperjuangkan hak-hak rakyat yang pada masa rezim orde baru mengalami ketidakadilan. YLBHI – LBH adalah rumah demokrasi yang dibangun oleh gerakan rakyat. Tempat dimana rakyat dari berbagai lapisan yang selama ini selalu menjadi korban ketidakadilan hukum dan pembangunan, petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan, kelompok miskin kota dan kelompok marjinal lainnya yang sering kali menjadi jauh mendapatkan keadilan hukum. YLBHI dan LBH Jakarta yang berada di 15 kota di Indonesia merupakan organisasi yang berperan besar dalam pemajuan hak asasi manusia.

Selama ini YLBHI – LBH Jakarta bersama kantor LBH di daerah lainnya telah mengambil peran yang seharusnya itu menjadi tugas negara, memberikan kesadaran kritis bagi rakyat, memberikan bantuan hukum struktural, khususnya bagi kelompok marjinal. Bahkan yang patut diingat oleh aparat Kepolisian bahwa YLBHI dan LBH Jakarta merupakan bagian penting dari gerakan organisasi masyarakat sipil yang mendorong reformasi di sektor keamanan dan momentum kelembagaan kepolisian dilepaskan dari TNI, dengan semangat kepolisian sebagai pengayom bagi masyarakat.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai bagian dari gerakan organisasi masyarakat sipil di Indonesia mengutuk tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap garda demokrasi Indonesia. Ini merupakan preseden buruk dimana negara justru menggunakan kekuasaannya untuk membungkam organisasi masyarakat sipil, membungkam kebebasan berorganisasi, berserikat dan berkumpul sebagaimana yang dijamin oleh Konstitusi.
Rezim ini telah gagal menjalankan amanat reformasi untuk memastikan kekuatan keamanan tidak digunakan untuk membungkam suara rakyat. Terlebih dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia kita terus dihadapkan pada fakta-fakta pelanggaran HAM dan kriminalisasi yang dialami oleh rakyat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, bangsa ini seperti dibawa kembali ke arah rezim orde baru, darurat demokrasi. Ketika suara kritis rakyat dibungkam oleh kekuasaan.

WALHI mengingatkan Presiden untuk segera mengambil tindakan tegas, menghentikan kesewenang-wenangan aparatus keamanannya baik Polisi maupun militer. Presiden juga harus memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan bagi setiap orang untuk bisa melaksanakan hak konstitusionalnya untuk berserikat dan berkumpul yang secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Jika tidak, maka sama artinya Presiden membawa bangsa ini kembali ke masa rezim otoritarian

GEMA DEMOKRASI

Sehari setelah Hari Demokrasi Internasional yang jatuh pada setiap tanggal 15 September, pihak kepolisian mencoreng dan menginjak-injak demokrasi di Indonesia. Hari ini, 16 September 2017, Polsek Menteng melakukan blokade dan penyerbuan terkait kegiatan Seminar Sejarah 65 dengan tema “PENGUNGKAPAN KEBENARAN SEJARAH 1965/66” pada Sabtu-Minggu, 16-17 September 2017 di gedung YLBHI Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta. Ini merupakan pelanggaran serius atas hak berkumpul warga dan hak warga berekspresi tanpa direpresi dan ditakut-takuti. Ini juga kali pertama polisi berani masuk ke dalam gedung YLBHI/LBH Jakarta dan menggeledah tanpa izin di zaman pemerintah Joko Widodo.

Blokade telah dilakukan sejak pukul 07.00 WIB dengan pengerahan sekitar 30 Brimob dan 1 peleton Sabhara yang diturunkan di mulut jalan Mendut, pintu masuk ke arah kantor YLBHI. Selanjutnya kepolisian menggembok pintu YLBHI dan membentuk pagar manusia di depan YLBHI. Tindakan kepolisian ini semula diduga untuk melindungi kegiatan Seminar Sejarah 65 dengan tema “PENGUNGKAPAN KEBENARAN SEJARAH 1965/66” yang telah lebih dulu diberitahukan kepada pihak kepolisian dari Mabes Polri, Polda Metro Jaya, hingga Polsek Menteng pada Jumat, 15 September 2017 sore hari, setelah sebelumnya beredar broadcast berisi ajakan menolak kegiatan yang dituding menyebarkan komunisme. Namun ternyata, pada hari Sabtu, 16 September 2017 aksi gembok pintu dan pagar manusia berubah menjadi blokade terhadap peserta diskusi yang terdiri dari para korban ’65/’66 dan akademisi.
Blokade dinyatakan berlaku tanpa pemberitahuan dan sekalipun panitia sudah menjemput para peserta diskusi dan menunjukkan telah ada kesepakatan dengan pihak kepolisian, Kapolsek Menteng Rudolf Purba bersikap keras kepala dengan menyatakan tidak ada perintah untuk membolehkan orang masuk ke gedung YLBHI.

Setelah tindakan blokade, kepolisian juga tidak melakukan tindakan perlindungan terhadap para peserta diskusi saat rombongan massa anti-komunisme berdatangan ke depan kantor YLBHI. Jumlah mereka pada saat datang sekitar 50 orang dengan pelbagai seruan yang menolak penyebaran komunisme.

Pada pukul 15.00 WIB, saat massa anti-komunisme telah bubar dan orang mulai masuk ke dalam gedung YLBHI, tiba-tiba polisi menyerbu masuk dan naik ke lantai 4 Gedung YLBHI. Kapolsek Menteng Rudolf Purba dan anak buahnya melakukan pencopotan spanduk dan membubarkan sejumlah peserta diskusi dan panitia yang sedang duduk-duduk untuk evaluasi situasi.
 Alasannya bahwa sudah ada kesepakatan tidak ada acara dan karenanya ia melarang orang-orang yang berkumpul di lantai 4 untuk sekedar duduk untuk mengevaluasi situasi.

Ini ironis! Perlindungan atas hak berkumpul dan menyuarakan pendapat sudah jelas dinyatakan dalam konstitusi negara Indonesia yaitu pasal 28 UUD 1945. Dan bilamana ada upaya untuk membatasi kebebasan tersebut, maka pihak yang melakukan upaya pembatasan perlu membawa perintah pengadilan.

Blokade dan penyerbuan ke gedung YLBHI terkait kegiatan itu juga menunjukkan posisi negara yang tidak ingin sejarah diluruskan, padahal sudah benderang ada persoalan pelanggaran kemanusiaan yang fatal pada awal masa Orde Baru tersebut yang terlalu lama dibiarkan dan para pelakunya mendapat impunitas.

Atas sikap arogan, tidak mematuhi hukum, dan sikap anti-demokrasi disertai dengan perilaku tidak profesional kepolisian, Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (GEMA DEMOKRASI) yang terdiri lebih dari 80 organisasi masyarakat sipil dan individu yang mendukung demokrasi menyatakan PROTES KERAS dan mendesak:

1.   Kepolisian Republik Indonesia melakukan evaluasi diri atas sikap, tindakan dan perilaku jajarannya di gedung YLBHI yang nyata jelas anti-demokrasi, melanggar konstitusi, dan menyepelekan hak warga untuk berkumpul dan berekspresi.

2.   Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk memberi tindakan tegas kepada Kapolsek Menteng Rudolf Purba yang tidak menghargai demokrasi dan bersikap berlebihan dalam menjalankan tugas.

3.   Komnas HAM untuk melakukan perlindungan dan advokasi kepada panitia dan peserta Seminar Sejarah 65 dengan tema “PENGUNGKAPAN KEBENARAN SEJARAH 1965/66” yang telah dilanggar hak berkumpul dan berekspresinya.

4.   Menyerukan kepada seluruh elemen pro-demokrasi untuk merapatkan barisan dan mulai tegas dan berani menyikapi tindakan rezim pemerintahan Joko Widodo yang telah terang-terangan kebablasan bersikap untuk membungkam demokrasi kita.

0 komentar:

Posting Komentar