Senin, 02/05/2016 17:36 WIB
Wakil Ketua DPR Fadli
Zon menilai pemerintah harus belajar sejarah tentang peristiwa 1965 usai
menerima kehadiran Tim Antikomunis yang dipimpin Mayjen (purn) Budi
Sujana. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia
--
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai pemerintah harus
belajar sejarah tentang peristiwa 1965 usai menerima kehadiran Tim
Antikomunis yang dipimpin Mayjen (purn) Budi Sujana.
Tim Antikomunis terdiri atas kelompok penolak komunisme, punawirawan TNI, ormas Islam dan angkatan 1966. Mereka keberatan dengan langkah pemerintah menggelar Simposium Nasional Tragedi 1965, pada 18-19 April lalu.
Mereka menilai simposium itu sangat tidak seimbang dan hasil akhirnya justru dapat menambah persoalan bangsa terkait dengan masalah sejarah.
"Jadi pemerintah harus belajar sejarah yang benar agar kejadian 1965 tidak dibawa kepada kepentingan-kepentingan politik yang berbeda," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Senin (2/5).
Menurutnya, peristiwa 1965 murni dimulai dari upaya pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. Salah satunya adalah peristiwa pembunuhan para jenderal 30 September 1965 yang dikenal dengan G30S PKI.
"Jelas itu adalah pemberontakan. Karena PKI tidak punya kontribusi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Saya kira di dalam sejarah pergerakan Indonesia peran PKI memang tidak ada," ucapnya.
Fadli menilai, ada upaya seolah-olah menyalahkan pemerintah atas peristiwa pembunuhan massal anggota PKI hingga memunculkan wacana pemerintah harus minta maaf.
Padahal, timbulnya pembalasan berupa pembunuhan terhadap anggota PKI merupakan pembalasan spontan yang dilakukan masyarakat, bukan dikoordinasi negara.
"Saya akan jadi penggugat pertama jika pemerintah meminta maaf. Apa urusannya meminta maaf, karena yang memberontak PKI," ujarnya.
Fadli menuturkan, bakal menyampaikan keberatan tersebut kepada pemerintah. Menurutnya, pemerintah saat ini tidak perlu ikut campur atas peristiwa 1965 dan melakukan upaya rekonsiliasi apapun.
Tim Antikomunis terdiri atas kelompok penolak komunisme, punawirawan TNI, ormas Islam dan angkatan 1966. Mereka keberatan dengan langkah pemerintah menggelar Simposium Nasional Tragedi 1965, pada 18-19 April lalu.
Mereka menilai simposium itu sangat tidak seimbang dan hasil akhirnya justru dapat menambah persoalan bangsa terkait dengan masalah sejarah.
"Jadi pemerintah harus belajar sejarah yang benar agar kejadian 1965 tidak dibawa kepada kepentingan-kepentingan politik yang berbeda," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Senin (2/5).
Menurutnya, peristiwa 1965 murni dimulai dari upaya pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. Salah satunya adalah peristiwa pembunuhan para jenderal 30 September 1965 yang dikenal dengan G30S PKI.
"Jelas itu adalah pemberontakan. Karena PKI tidak punya kontribusi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Saya kira di dalam sejarah pergerakan Indonesia peran PKI memang tidak ada," ucapnya.
Fadli menilai, ada upaya seolah-olah menyalahkan pemerintah atas peristiwa pembunuhan massal anggota PKI hingga memunculkan wacana pemerintah harus minta maaf.
Padahal, timbulnya pembalasan berupa pembunuhan terhadap anggota PKI merupakan pembalasan spontan yang dilakukan masyarakat, bukan dikoordinasi negara.
"Saya akan jadi penggugat pertama jika pemerintah meminta maaf. Apa urusannya meminta maaf, karena yang memberontak PKI," ujarnya.
Fadli menuturkan, bakal menyampaikan keberatan tersebut kepada pemerintah. Menurutnya, pemerintah saat ini tidak perlu ikut campur atas peristiwa 1965 dan melakukan upaya rekonsiliasi apapun.
"Apalagi rekonsiliasi sudah berjalan dengan sendirinya secara alamiah," tuturnya.
Simposium 1965 Sudah Direncanakan
Ketua Penggalangan dan Aksi Gerakan Bela Negara Yakub Kudori mengatakan, simposium yang digelar pemerintah di Hotel Aryaduta itu sudah direncanakan untuk menampung kepentingan kelompok komunis.
"Kami tolak mentah-mentah simposium. Itu tidak mencari kebenaran sejati tapi kebenaran menurut mereka (komunis. Yang kami tuntut adalah kebenaran objektif," kata Yakub usai menemui Fadli Zon.
Dia mengaku pernah diminta untuk ikut dalam gelaran Simposium 1965. Namun menolak lantaran panitia tidak merubah rangkaian acara yang telah dibentuk.
"Karena kami anggap sudah didesign. Kami minta tornya diubah, judulnya dan pembicaranya juga diubah. Ternyata itu tak dilaksanakan akhirnya kami walkout," ucapnya.
Dia akan membentuk simposium lanjutan agar kebenaran yang diungkap tidak hanya memihak pada kelompok komunis. "Simposium yang kami gelar nanti berdasarkan ideologi Pancasila. Mulai dari pendekatan kesejahteraan, antropologi dan lain-lain," tuturnya.
Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 digagas Forum Silaturahmi Anak Bangsa ini berlangsung atas dukungan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
Simposium yang digelar dua hari itu untuk mempertemukan korban tragedi 1965, sejarawan, mantan jenderal TNI, dan sejumlah tokoh lembaga yang berada di pusaran peristiwa berdarah tersebut.
Lewat simposium, pemerintah berharap konflik dapat diurai dan trauma masa lalu bisa dipulihkan. Setidaknya, peristiwa 1965 dapat diletakkan dengan benar dalam perspektif sejarah. (bag)
Simposium 1965 Sudah Direncanakan
Ketua Penggalangan dan Aksi Gerakan Bela Negara Yakub Kudori mengatakan, simposium yang digelar pemerintah di Hotel Aryaduta itu sudah direncanakan untuk menampung kepentingan kelompok komunis.
"Kami tolak mentah-mentah simposium. Itu tidak mencari kebenaran sejati tapi kebenaran menurut mereka (komunis. Yang kami tuntut adalah kebenaran objektif," kata Yakub usai menemui Fadli Zon.
Dia mengaku pernah diminta untuk ikut dalam gelaran Simposium 1965. Namun menolak lantaran panitia tidak merubah rangkaian acara yang telah dibentuk.
"Karena kami anggap sudah didesign. Kami minta tornya diubah, judulnya dan pembicaranya juga diubah. Ternyata itu tak dilaksanakan akhirnya kami walkout," ucapnya.
Dia akan membentuk simposium lanjutan agar kebenaran yang diungkap tidak hanya memihak pada kelompok komunis. "Simposium yang kami gelar nanti berdasarkan ideologi Pancasila. Mulai dari pendekatan kesejahteraan, antropologi dan lain-lain," tuturnya.
Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 digagas Forum Silaturahmi Anak Bangsa ini berlangsung atas dukungan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
Simposium yang digelar dua hari itu untuk mempertemukan korban tragedi 1965, sejarawan, mantan jenderal TNI, dan sejumlah tokoh lembaga yang berada di pusaran peristiwa berdarah tersebut.
Lewat simposium, pemerintah berharap konflik dapat diurai dan trauma masa lalu bisa dipulihkan. Setidaknya, peristiwa 1965 dapat diletakkan dengan benar dalam perspektif sejarah. (bag)
http://www.cnnindonesia.com/politik/20160502171737-32-128141/dpr-minta-pemerintah-belajar-sejarah-tentang-peristiwa-1965/
0 komentar:
Posting Komentar