KUBURAN MASSAL. Anggota Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 menyerahkan rangkuman dokumen kuburan massal korban tragedi 1965 kepada Menkopolhukam Luhut Panjaitan di kantornya, di Jakarta, pada 9 Mei 2016.Foto oleh Rosa Bean/Antara
JAKARTA, Indonesia — Bejo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), memulai pembicaraan dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan terkait penyerahan data kuburan massal, di ruangan mantan Kepala Staf Kepresidenan itu, pada Senin pagi, 9 Mei.
Bejo tak sendiri, ia bersama dengan enam korban tragedi 1965 dan sejumlah anggota panitia International People's Tribunal (IPT), Reza Muharam, Dolorosa Sinaga, dan Sri Lestari Wahyuningrum.
Feri Kusuma dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Zico Mulia dari Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Masing-masing perwakilan dari komunitas menyampaikan pesannya. Intinya senada, mau dikemanakan data kuburan massal setelah ini? Apakah ada jaminan keamanan?
Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Bejo.
“Sebelum saya menyerahkan, saya minta jaminan kepada bapak Menkopulhukam agar kami, YPKP 65, beserta saksi pelaku dan juga korban, dijamin keamanannya dalam rangka menunjukkan kuburan massal tersebut,” kata Bejo.
“Supaya (kuburan) tidak digusur, tidak dirusak, tidak dipindahkan, bahkan dihilangkan dengan sengaja oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab,” pintanya.
Luhut pun menyanggupi permohonan Bejo. “Luhut menjawab dengan lugas, bahwa pemerintah akan menjamin keamanan, akan menelepon pada Kodam dan Kodim,” aku Bejo.
Komunitas ini juga mempertanyakan siapa saja pihak yang terlibat. Dan apakah pemerintah sudah mempersiapkan payung hukum untuk mengkaji data ini. Pertanyaan itu disampaikan oleh Feri dari KontraS.
“Penggalian kuburan atau exhumation (penggalian kuburan) itu harus sesuai prosedur yang melibatkan tim forensik, Komnas HAM, dan lembaga terkait karena ini menyangkut barang bukti," kata Feri.
"Ya, nantinya bisa digunakan untuk pembuktian bahwa kerangka dari kuburan itu adalah korban dari pelanggaran HAM berat pada 1965,” tutur Feri.
Luhut pun menimpali Feri dengan janji bahwa ia akan melakukan itu.
'Jangan gaduh'
Namun dalam pertemuan itu, Luhut juga berpesan agar komunitas tak gaduh di media. “Jangan gaduh,” kata Reza dari IPT 1965 menirukan Luhut saat ditemui wartawan usai pertemuan.
Seorang sumber Rappler yang lain juga menyatakan hal yang sama. Tepatnya Luhut meminta semua pihak tak perlu larut dalam euforia setelah Simposium Nasional tentang tragedi 1965 yang digelar di Jakarta beberapa pekan yang lalu.
Dalam rapat itu, Luhut juga meminta agar penyelesaian kasus 1965 diselesaikan di kementeriannya. “Nanti presiden di akhir saja,” kata sumber tersebut, menirukan pesan Luhut.
Meski, perintah mendata kuburan massal itu, klaim Luhut, adalah perintah dariPresiden Joko “Jokowi” Widodo.
“Presiden tadi memberitahu bahwa memang disuruh cari aja kalau ada kuburan massalnya itu. Jadi selama ini berpuluh-puluh tahun kita selalu dicekoki bahwa sekian ratus ribu yang mati. Padahal sampai hari ini belum pernah kita menemukan satu kuburan massal,” ujar Luhut.
Dalam pertemuan dengan komunitas siang ini, Luhut juga menyatakan ia tak mau didikte oleh pihak manapun dalam penyelesaian kasus 1965.
Setelah pernyataan Luhut tersebut, komunitas menyerahkan data kuburan massal, namun tak sedetil yang diinginkan Luhut. “Data yang dimaksud hanya resume dari penelitian YPKP 1965,” kata Reza.
Data yang dimaksud antara lain adalah jumlah kuburan massal di 12 provinsi. Dari data itu, kuburan massal terbanyak terdapat di Jawa Tengah (44 titik), Jawa Timur (38 titik), dan Sumatera Barat (21 titik).
Ada juga data kuburan massal di pulau Sulawesi, Kalimantan, dan Bali. Rappler berusaha menghubungi Luhut kembali setelah pertemuan, namun pesan kami belum dibalas.
Di bawah bayang-bayang intimidasi aparat
Namun penyerahan data tersebut diwarnai cerita tentang intimidasi yang dialami oleh anggota YPKP asal Pati, Jawa Tengah, yang bernama Handoyo Triatmoko.
Handoyo, yang juga Kepala Desa Jetak, Kecamatan Wedarijaksa, mengaku sempat didatangi oleh tiga oknum Komando Daerah Militer dan Koman Resort Militer wilayah Pati pada Minggu malam, 8 Mei.
“Mereka mendatangi rumah adik saya dengan alasan mencari atribut palu dan arit,” kata Handoyo pada Rappler, Senin sore.
Ia pun sempat mempertanyakan tujuan ketiga oknum militer tersebut. “Untuk apa mencari barang itu di sini?” katanya.
Hingga ia kemudian bertolak ke Jakarta pada malam itu juga. Lalu ia mendapat kabar dari tetangganya bahwa oknum militer tersebut bertanya tentang aktivitas Handoyo di Jakarta nanti. “Ini kan namanya teror,” ujarnya.
Insiden intimidasi ini juga disampaikan oleh Bejo kepada Luhut di kantornya siang ini. “Saya terangkan bahwa teman-teman di daerah masih mendapat intimidasi, bahkan ketika datang kemari pun masih ditanya,” katanya.
Apa reaksi Luhut? “Bapak Luhut dengan tegas menyatakan, 'Ya, akan saya telepon Kodamnya untuk tidak melakukan tekanan-tekanan terhadap korban '65',” ujar Bejo.
Bentuk tim khusus
Sementara itu, usai menemui komunitas, Luhut menjawab pertanyaan media seputar tindak lanjut isi rapat.
Ia mengatakan akan membuat tim untuk melakukan pengkajian terhadap contoh kuburan massal di Pati dan Wonosobo, Jawa Tengah.
“Kita mau siapkan tim untuk melihat beberapa kuburan massal, seperti yang dilaporkan,” katanya. —Rappler.com
0 komentar:
Posting Komentar