Selasa, 17/05/2016 13:21 WIB
Adlun Fikri dan Supriyadi Sawai ditetapkan sebagai tersangka penyebar komunisme. (Dok. LBH Maluku Utara)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Direktur lembaga pemerhati hak asasi manusia
Imparsial, Al Araf, mengkritik pembatasan kebebasan berpikir warga oleh
aparat sebagai dampak merebaknya isu kemunculan komunisme.
Penangkapan dan penahanan dua aktivis anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Adlun Fikri dan Supriyadi Sawai, oleh aparat dengan sangkaan menyebar paham komunisme misal, menurut Al Araf tak tepat.
“Kasus di Ternate yang (kaus) kopi itu sebenarnya bukan upaya mengajarkan paham komunisme. Itu kan (yang disita) kaus kopi dan buku,” kata kata Al Araf di Jakarta.
Kaus merah bergambar cangkir kopi bertuliskan ‘Pencinta Kopi Indonesia’ ialah salah satu barang yang disita aparat dalam penangkapan Adlun oleh intelijen Komando Distrik Militer 1501 Ternate di Sekretariat AMAN. Kaus lain yang juga disita ialah kaus bergambar aktivis HAM Munir –yang tewas diracun arsenik dalam penerbangan dari Jakarta ke Amesterdan– bertuliskan ‘Melawan Lupa’.
Sementara beberapa di antara deretan buku yang juga ikut disita berjudul Nalar yang Memberontak: Filsafat Marxisme dan Sains Modern karya Alan Woods dan Ted Grant, Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang, dan Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie.
Al Araf mengatakan konstitusi menjamin masyarakat untuk membaca buku apapun, sebab itu bagian dari kebebasan berpikir warga negara yang tak boleh dibatasi.
“Salah dan keliru kalau memproses hukum seseorang yang membaca buku komunisme, sementara orang yang baca buku Karl Marx di kampus adalah bagian dari kegiatan akademis,” kata dia.
Pun, ujar Al Araf, “Belum tentu orang yang baca buku Karl Marx komunis. Malah bisa jadi dia mau mengkritik ideologi itu. Jadi ini bagian dari kebebasan berpikir yang tidak bisa dikriminalisasi.”
Karl Marx, penulis Manifesto Komunis bersama Friedrich Engels, ialah guru besar sosiologi dan pemimpin gerakan buruh modern yang dijuluki Bapak Komunisme. Ia meyakini kapitalisme akan berakhir dan digantikan oleh komunisme, yakni masyarakat tanpa kelas.
Soal komunisme yang terlarang di Indonesia, Al Araf berpendapat sejumlah
orang di Indonesia terlalu cepat menuding terkait berbagai paham.
“Banyak pejabat, termasuk purnawirawan dan petinggi TNI, mengatakan sistem ekonomi Indonesia dibajak oleh neoliberalisme dan kapitalisme. Mereka mengklaim sebagai antikapitalis. Nah, antineoliberalisme dan antikomunisme itu sebenarnya ideologi marxisme,” kata Al Araf.
Terlepas dari marxisme yang dianut mengalami revisi kekinian seperti yang terjadi pada Partai Sosial Demokratik Jerman, basis pemikiran awalnya ialah marxisme.
“Jadi kalau ada pejabat menolak neoliberalisme, sesungguhnya pemikiran dia berpijak pada alam marxisme. Kalau bilang tidak, jadi bagaimana? Kan paradoks,” ujar Al Araf.
Marxisme yang tercantum dalam Manifesto Komunis ialah dasar
teori komunisme yang berawal dari protes Marx atas kapitalisme. Marx
berpendapat kaum kapital (pemilik modal) meraup kekayaan dengan memeras
kaum proletar (buruh). Sementara kaum proletar bekerja berjam-jam dengan
upah minimum, hasil pekerjaan mereka dinikmati kaum kapitalis.
Berakar dari persoalan tersebut, Marx menyatakan kapitalisme –sistem di mana perdagangan dan industri dikendalikan oleh pemodal swasta untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam ekonomi pasar –harus diganti dengan komunisme.
Ilusi komunisme
Al Araf heran dengan isu kebangkitan komunisme yang kini digembar-gemborkan aparat di Indonesia. Ia merasa hal itu berlebihan karena komunisme telah runtuh usai berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
“Kebangkitan komunisme adalah ilusi. Masyarakat jangan terjebak ilusi tentang kebangkitan komunisme. Komunisme sudah bukan ancaman serius dalam dinamika keamanan negara,” kata Al Araf.
China pun, ujar Al Araf, kini telah bergeser menjadi negara kapitalis meski partai politiknya komunis. Oleh sebab itu ia menilai ketakutan Indonesia akan bayang-bayang komunisme tak masuk akal.
Ia yakin rumor kebangkitan komunisme sengaja dibangun untuk membenamkan
isu pengungkapan kasus dugaan pelanggaran HAM 1965 yang makin gencar
disuarakan sejak Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui
Pendekatan Kesejarahan digelar bulan lalu.
“Setiap ada upaya mengungkap kasus kejahatan 1965, selalu ada konter propaganda terkait kebangkitan komunisme,” kata Al Araf.
Hal serupa sebelumnya dikemukakan Ketua Setara Institute Hendardi, dan Ketua Panitia Pengarah Simposium 1965 Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo.
“Eskalasi isu (komunisme) ini dalam waktu relatif singkat meningkat tajam. Dari situ bisa disimpulkan, kemungkinan besar ada kaitannya dengan Simposium,” kata Agus.
Secara terpisah, Hendardi menyebut isu komunisme di Indonesia sebagai “hantu gentayangan” yang dipakai rutin untuk menakut-nakutii masyarakat ketika ada upaya dan aspirasi kuat dalam mendorong penyelesaian kasus 1965.
(agk)
Penangkapan dan penahanan dua aktivis anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Adlun Fikri dan Supriyadi Sawai, oleh aparat dengan sangkaan menyebar paham komunisme misal, menurut Al Araf tak tepat.
“Kasus di Ternate yang (kaus) kopi itu sebenarnya bukan upaya mengajarkan paham komunisme. Itu kan (yang disita) kaus kopi dan buku,” kata kata Al Araf di Jakarta.
Kaus merah bergambar cangkir kopi bertuliskan ‘Pencinta Kopi Indonesia’ ialah salah satu barang yang disita aparat dalam penangkapan Adlun oleh intelijen Komando Distrik Militer 1501 Ternate di Sekretariat AMAN. Kaus lain yang juga disita ialah kaus bergambar aktivis HAM Munir –yang tewas diracun arsenik dalam penerbangan dari Jakarta ke Amesterdan– bertuliskan ‘Melawan Lupa’.
Kaus
merah bergambar cangkir kopi bertuliskan ‘Pencinta Kopi Indonesia’ yang
disita dalam penangkapan aktivis AMAN Adlun Fikri.
(Instagram/@adlunfiqri)
|
Al Araf mengatakan konstitusi menjamin masyarakat untuk membaca buku apapun, sebab itu bagian dari kebebasan berpikir warga negara yang tak boleh dibatasi.
“Salah dan keliru kalau memproses hukum seseorang yang membaca buku komunisme, sementara orang yang baca buku Karl Marx di kampus adalah bagian dari kegiatan akademis,” kata dia.
Pun, ujar Al Araf, “Belum tentu orang yang baca buku Karl Marx komunis. Malah bisa jadi dia mau mengkritik ideologi itu. Jadi ini bagian dari kebebasan berpikir yang tidak bisa dikriminalisasi.”
Karl Marx, penulis Manifesto Komunis bersama Friedrich Engels, ialah guru besar sosiologi dan pemimpin gerakan buruh modern yang dijuluki Bapak Komunisme. Ia meyakini kapitalisme akan berakhir dan digantikan oleh komunisme, yakni masyarakat tanpa kelas.
|
“Banyak pejabat, termasuk purnawirawan dan petinggi TNI, mengatakan sistem ekonomi Indonesia dibajak oleh neoliberalisme dan kapitalisme. Mereka mengklaim sebagai antikapitalis. Nah, antineoliberalisme dan antikomunisme itu sebenarnya ideologi marxisme,” kata Al Araf.
Terlepas dari marxisme yang dianut mengalami revisi kekinian seperti yang terjadi pada Partai Sosial Demokratik Jerman, basis pemikiran awalnya ialah marxisme.
“Jadi kalau ada pejabat menolak neoliberalisme, sesungguhnya pemikiran dia berpijak pada alam marxisme. Kalau bilang tidak, jadi bagaimana? Kan paradoks,” ujar Al Araf.
|
Berakar dari persoalan tersebut, Marx menyatakan kapitalisme –sistem di mana perdagangan dan industri dikendalikan oleh pemodal swasta untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam ekonomi pasar –harus diganti dengan komunisme.
Ilusi komunisme
Al Araf heran dengan isu kebangkitan komunisme yang kini digembar-gemborkan aparat di Indonesia. Ia merasa hal itu berlebihan karena komunisme telah runtuh usai berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
“Kebangkitan komunisme adalah ilusi. Masyarakat jangan terjebak ilusi tentang kebangkitan komunisme. Komunisme sudah bukan ancaman serius dalam dinamika keamanan negara,” kata Al Araf.
China pun, ujar Al Araf, kini telah bergeser menjadi negara kapitalis meski partai politiknya komunis. Oleh sebab itu ia menilai ketakutan Indonesia akan bayang-bayang komunisme tak masuk akal.
|
“Setiap ada upaya mengungkap kasus kejahatan 1965, selalu ada konter propaganda terkait kebangkitan komunisme,” kata Al Araf.
Hal serupa sebelumnya dikemukakan Ketua Setara Institute Hendardi, dan Ketua Panitia Pengarah Simposium 1965 Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo.
“Eskalasi isu (komunisme) ini dalam waktu relatif singkat meningkat tajam. Dari situ bisa disimpulkan, kemungkinan besar ada kaitannya dengan Simposium,” kata Agus.
Secara terpisah, Hendardi menyebut isu komunisme di Indonesia sebagai “hantu gentayangan” yang dipakai rutin untuk menakut-nakutii masyarakat ketika ada upaya dan aspirasi kuat dalam mendorong penyelesaian kasus 1965.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160517094607-20-131223/imparsial-baca-buku-karl-marx-belum-tentu-komunis/
0 komentar:
Posting Komentar