Jerome Wirawan
Wartawan BBC Indonesia
17 Mei 2016
Penyelenggaraan
Simposium Tragedi 1965 dan perintah Presiden Joko Widodo kepada
Menkopolhukam Luhut Panjaitan untuk mencari kuburan massal korban
peristiwa 1965 menimbulkan kritik dari Menteri Pertahanan Ryamizard
Ryacudu.
“Apa yang disampaikan menteri pertahanan kontraproduktif dan tidak sejalan dengan agenda presiden. Karena, realitasnya, pemerintahan ini kan ingin menyelesaikan peristiwa 1965 dengan rekonsiliasi."
"Menjadi berbahaya sebuah pemerintahan ketika instruksi presiden tidak dijalankan menterinya tapi justru dibantah di publik dan melakukan kontra terhadap sikap politik presiden,” tambah Al Araf.
Perbedaan sikap di tubuh pemerintah ditanggapi berbeda oleh Effendi Simbolon, anggota Komisi 1 DPR dari PDI P. Menurutnya, soal peristiwa 1965 seharusnya dituntaskan menggunakan pendekatan hukum ketimbang rekonsiliasi .
“Gelar dalam pengadilan HAM ad-hoc agar di pengadilan itu terbukti atau tidak, terbuka aksesnya oleh masyarakat. Tapi kalau dibuat secara mediasi, akhirnya menjadi sangat tergantung pada selera. Nah, selera ini kan macam-macam,” katanya.
Pertumpahan darah
Dalam suatu acara purnawirawan TNI, Jumat (13/05), Ryamizard secara gamblang menolak Simposium Tragedi 1965 yang digelar April lalu oleh pemerintah bersama Komnas HAM, akademisi, dan lembaga penyintas. Saat itu, dia memperingatkan potensi pertumpahan darah.“Saya sebagai menteri pertahanan menginginkan negara ini tidak ada ribut-ribut, damai. Kalau menteri pertahanan mengajak ribut-ribut, itu menteri pertahanan nggak bener. Saya tidak ingin ada ribut-ribut, apalagi ada pertumpahan darah."
"Tapi kalau cara-cara sebelumnya, ada pertemuan lain-lain, menghasut sana, menghasut sini, nanti timbul pertumpahan darah ini, lebih bahaya dari 1965,” ujarnya, merujuk Simposium Tragedi 1965.
Ihwal pencarian dan pembongkaran kuburan massal peristiwa 1965, Menhan Ryamizard juga angkat bicara.
“Sudahlah, yang dulu-dulu, sudahlah. Mari kita hidup ke depan, membangun bangsa, membangun negara. Ini orang ribut nggak membangun negara, merusak negara,” katanya.
Pembongkaran makam massal
Pengungkapan kuburan massal, menurut juru bicara Kementerian Pertahanan, Brigjen Jundan Eko Bintoro, akan menimbulkan ‘benturan’ di kalangan masyarakat.“Pak Menhan sudah menyampaikan, nggak ada itu hal-hal seperti itu. Itu nanti akan menimbulkan benturan. Karena banyak juga yang mejadi korban PKI yang dikuburkan, jadi kita nggak mendukung hal-hal yang seperti itu,” ujar Jundan.
Ketika ditanya mengapa sikap Menhan Ryamizard berbeda dengan sikap Menkopolhukam Luhut Panjaitan, Jundan sontak menyela. “Jangan membenturkan dengan Pak Luhut. Jadi, lebih baik tanyakan ke Pak Luhut seperti apa.”
BBC Indonesia telah berupaya menghubungi Menkopolhukam Luhut Panjaitan soal sikap Menhan, namun tak kunjung meresponsnya.
Bagaimanapun pada April lalu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan Presiden Joko Widodo memerintahkannya untuk mencari kuburan massal korban peristiwa 1965 dan lanjutannya.
Luhut menegaskan pemerintah 'baru bisa meminta maaf' kepada korban peristiwa 1965 'jika ditemukan mass grave atau kuburan massalnya'.
Untuk memverifikasi laporan temuan kuburan massal di sejumlah wilayah di Jawa dan Sumatra, Luhut mengaku pemerintah akan membentuk tim terpadu.
Luhut juga meminta lembaga swadaya masyarakat yang kerap meminta pemerintah untuk meminta maaf atas persitiwa 1965, untuk memberikan informasi jika mengetahui adanya kuburan massal yang dimaksud.
Hal ini ditanggapi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) '65 dengan menyerahkan laporan temuan kuburan massal. Laporan itu mencakup rincian 122 titik kuburan massal di wilayah Jawa dan Sumatra yang diperkirakan menampung sedikitnya 12.999 jasad korban.
Keterlibatan negara
Pemerintah menggelar Simposium tragedi 1965, yang menyimpulkan adanya keterlibatan negara dalam peristiwa kekerasan terhadap orang-orang yang dituduh anggota atau simpatisan PKI pada pasca September 1965.Namun, sejumlah ormas menolak hasil simposium itu, seperti Burhan 'Kampak', pemimpin Front Anti-Komunis Indonesia (FAKI) di Yogyakarta.
Burhan mengatakan, "Pemerintah tidak bersalah. Pemerintah saat itu ingin menyelamatkan NKRI dari coup berdarah orang komunis. Kita-kita ini yang ingin menyelamatkan NKRI kok dianggap melanggar HAM?"
Sejak penyelenggaraan simposium tersebut, polemik mengenai komunisme dan peristiwa 1965 marak.
Sekelompok massa beratribut Front Pembela Islam mendatangi kampus Istitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, pada 10 Mei lalu, menuntut pembubaran 'Sekolah Marx,' sebuah program pendalaman seni melalui filsafat Karl Marx, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Daunjati.
Aparat 'kebablasan'
Aparat juga sudah melakukan penyitaan buku-buku yang membahas soal peristiwa 65 dan tokoh PKI di Tegal. Selain itu di Ternate, polisi dan tentara mengamankan dua aktivis yang mengenakan kaus PKI atau Pecinta Kopi Indonesia.Polisi juga menahan dua orang di Bandar Lampung dan Malang karena mengenakan kaus band rock yang ada gambar palu aritnya.
Begitu pula di Jakarta, seorang penjaga toko kaus band metal sempat ditahan polisi karena salah satu barang jualannya, kaus band metal Kreator, ada lambang palu aritnya.
Aparat menggunakan landasan hukum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Pada pasal 107 c disebutkan:
"Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisnie/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun".
Presiden Jokowi sempat memberi instruksi pada Kapolri, Panglima TNI yang diwakili KSAD, Jaksa Agung dan Kepala BIN untuk menggunakan pendekatan hukum dalam menyikapi maraknya atribut berlambang palu arit.
Namun, dua hari kemudian, dia mengingatkan agar aparat tidak kebablasan dan melanggar kebebasan berekspresi di masyarakat.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160516_indonesia_menhan_1965
0 komentar:
Posting Komentar