Kamis, 19 Mei 2016 | 22:05 WIB
Partai Golkar tampaknya tak pernah surut memperjuangkan pemberian
gelar pahlawan nasional kepada bekas presiden Soeharto. Dalam penutupan
Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, Rabu
lalu, usul itu menjadi keputusan dan pekerjaan rumah bagi Ketua Umum
Partai Golkar yang baru, Setya Novanto. Sejatinya, kontroversi gelar
pahlawan nasional untuk Presiden RI kedua itu bukan sekali ini terjadi.
Setelah Soeharto meninggal dunia pada Januari 2008, sejumlah
politikus dari Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Golkar ramai-ramai
mengajukan penguasa Orde Baru itu sebagai pahlawan nasional. Usul
tersebut membumbui euforia pemberitaan tentang berpulangnya "Bapak
Pembangunan" itu dengan segala jasa-jasanya.
Masyarakat terbelah dalam pro dan kontra. Beberapa politikus dan
sejarawan balik mempertanyakan iktikad pengusulan itu sebagai politik
balas budi bagi Keluarga Cendana yang masih memegang peranan ekonomi dan
politik. Putri Soeharto, Siti Hediati, misalnya, kini menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar. Adapun putra bungsu
Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, kerap didengungkan
sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar, bahkan bakal calon presiden pada
Pemilu 2019. Tommy ikut hadir pada Munaslub Golkar di Bali.
Terlepas dari semua itu, faktanya, ada banyak persoalan yang
harus dijernihkan sebelum menyematkan gelar pahlawan nasional buat
Soeharto. Dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, Soeharto memang
menemukan korban para jenderal yang dibantai di Lubang Buaya. Tapi ada
kesan Soeharto membiarkan pembantaian tersebut terjadi. Padahal saat itu
dia menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat yang bertanggung
jawab atas keselamatan pemerintahan dan presiden. Pasca-Gerakan 30
September 1965, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang
dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia. Semuanya tanpa proses
peradilan, justru di saat Soeharto menjadi presiden.
Persoalan besar juga muncul atas kebijakan pemerintah Orde Baru
yang berpihak kepada kolega dan keluarga Soeharto. Ibu Negara Siti
Hartinah alias Ibu Tien mendapat gelar pahlawan pada 1996, tanpa ada
yang berani mempertanyakan kepantasannya. Belum lagi kasus korupsi yang
membelit keuangan negara yang tak pernah tuntas diusut.
Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto rasanya belum menjadi
prioritas. Yang lebih penting adalah meluruskan sejarah dan memberi
kepastian hukum atas semua sangkaan yang dilakukan Soeharto dan
kroninya. Apalagi Kementerian Sosial sudah mempunyai prosedur ihwal
pengajuan seseorang menjadi pahlawan, serta ada Dewan Gelar, Tanda Jasa,
dan Tanda Kehormatan. Biarkan dewan itu yang akan menimbang
kelayakannya tanpa perlu didesak. Pahlawan tentu tidak boleh ternoda
oleh perbuatan yang membuat cacat perjuangannya.
https://www.tempo.co/read/opiniKT/2016/05/20/12342/bukan-prioritas-soeharto-pahlawan
Kamis, 19 Mei 2016
Bukan Prioritas Soeharto Pahlawan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar