Kamis, 19/05/2016 21:15 WIB | Oleh : Ika Manan
KBR, Jakarta - Selama sekira satu bulan, tim perumus menggarap rekomendasi pasca Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan", yang berlangsung di Hotel Aryaduta, Jakarta pada 18-19 April 2016. Pada Rabu, 18 Mei 2016 tim perumus menyerahkan rekomendasi yang diberikan pada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan. Pada Jumat (19/05) ini, Menteri Luhut akan menyampaikan tanggapan pemerintah atas isi rekomendasi tersebut.
Bagaimana rekomendasi disusun dan bagaimana perdebatan di dalam, reporter KBR, Ika Manan berbincang dengan Ketua Panitia yang juga menjadi anggota perumus Simposium Tragedi 65, Suryo Susilo.
Apa saja yang dikumpulkan atau didapat tim perumusan untuk akhirnya menghasilkan rekomendasi?
Tentunya kita mencoba mengumpulkan hasil-hasil simposium ini, yang sebenarnya sifatnya akademis karena memang tarikan-tarikan politik kuat oleh karenanya. Kita mencoba fokus pada topik atau tema simposium untuk membedah tragedi 65 dari pendekatan kesejarahan, dan tim perumus dibentuk oleh panitia dari berbagai unsur. Ada dari Wantimpres Sidarto Danusubroto, ada dari Komnas HAM, ada dari korban kiri dan kanan, keluarga korban maksudnya. Ada dari unsur akademisi, termasuk dari luar kota juga ada. Akademisi tuh temen-temen dari pusat kajian demokrasi dan HAM Romo Baskoro, sama dari Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia Mas Eko.
Jadi Simposium ini kan diselenggarakan intinya adalah dari akademisi, ada dari Fisipol UGM, kemudian dari Fisip Udayana, kemudian dari Pusat Studi Ham UIN, UN Sunan Kalijaga, juga dari Civil Society ada institute for peace and democracy itu yang pak Hasan Wirajuda, kemudian dari Universitas Syahada Bangsa, bekerjasama dengan 3 institusi itu komnas HAM kemudian kita ada kementerian Polhukam, sama dari Dewan Pers.
Dari kegiatan 2 hari itu sangat banyak sekali bahan, bagaimana tim perumus menyeleksi bahan-bahan itu? apa saja yang dibahas?
Ya, kita kan punya semua materi dari para narasumber kemudian kita peras. Tentunya dalam tim perumus ini kita membagi di dalam proses alur jarak sebelum tragedi 65 dan setelah 65. jadi itu kita masukan ke situ.
Jadi dibagi periode 48, 65, 65 dan setelahnya?
Iya
Setelah selesai simposium dan tim perumus berkumpul, sudah ada gambaran besar penyelesaian?
Ya ada ada, poin-poin temuan-temuan yang tadi kan disebutkan yang tidak terungkap cuman misalkan dari Komnas HAM, dia membawa informasi tambahan terungkap didalam simposium. Kita juga melibatkan dari unsur pers kan, ada Dewan Pers ada informasi baru yang terungkap dalam simposium kita masukin. tim perumus ini berusaha agar hasilnya komprehensif, makanya perlu waktu
Apa yang dibahas di perumusan itu?
Ya proses terjadinya, kenapa sih terjadi peristiwa ini 65, kita tidak mencari siapa yang salah tapi mencari apa yang salah kan, jadi kita mencoba melihat ini secara objektif. Jadi kita kaya motret gitu, kira-kira apa sih yang terjadi pada bangsa ini, apa sih kejadian 48, apa aja sih, karena apa yang terjadi di 65 setelahnya kan tidak terlepas dari sebelumnya.
Berarti di situ ada temuan bahwa sebab akibat?
Iya betul, ada korelasinya lah secara benang merah itu ditemukan korelasi nya yang tentunya ini semua kita ungkapkan ya sebagai suatu fakta ya sejarah yang perlu diungkapkan, jadi di sini kita bebas dari kepentingan politik.
Saat simposium disebut soal 65 adalah akibat 48, lalu ada yang keberatan dengan pernyataan itu karena menurut yang keberatan tidak bisa dikaitkan, karena 48 sudah diselesaikan Soekarno, di tim perumus ada argumen semacam itu?
Ya ada, karena kan 48 itu memang sudah ada yang dihukum, tapi ada yang tidak terlepas, ada yang tidak ketangkep lah atau apa yang kemudian bangkit lagi membentuk kekuatan lagi, jadi PKI pada 48 itu tidak semuanya selesai, jadi kita cari benang merah nya dari referensi yang ada, dari buku-buku untuk mencari benang merahnya.
Jadi perbedaan argumen itu?
Ya, pasti termasuk ya karena kita kan pengen ini betul-betul objektif, tentunya juga semua berhak untuk bisa mengkritisi pendapat yang lain. Sebenarnya sebelum 65 kan juga bukan cuman 48 ada sebelum lagi 62, 63, misalnya peristiwa bandar betsy, kemudian peristiwa pembunuhan ulama itu kan bukan 48 tapi mendekati 65. karena itu semua kan membuat suasana mencekam, 65 itu kan memang sebenarnya suasananya mencekam, mungkin kalo untuk generasi yang lahir setelahnya tidak memahami, makanya di panitia ini ada orang tua segala macem.
Dalam konteks ini, yang jadi perdebatan saat itu? Ada jalan tengah?
Hanya istilah saja, artinya, apakah itu mau dimasukkan apa tidak? Beberapa teks tiap peristiwa. Kedua juga mengenai pelanggaran HAM berat, jadi apakah sebelum 65 juga disebut pelanggaran HAM berat? Setelah 65 bagaimana? Ini semua merupakan bahan diskusi. Akhirnya ada informasi dari Komnas HAM juga, bahwa kejadian 65 itu bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat, tapi karena belum melalui proses, karena pelanggaran HAM berat ini kan yudisal. Belum melewati proses yudisial, penyelidikan segala macem sehingga belom bisa diomongin seperti itu. Karena apa? ternyata yang pasca 65 pun juga walaupun sudah dikatakan pelanggaran HAM berat, tapi masih diduga, diduga pelanggaran HAM berat. yang pra kita pakai istilah lain, yang pra itu disebut terjadi tindakan kekerasan secara masif, sebetulnya itu pelanggaran HAM berarti tapi karena belum diselidiki.
Kalau temuan itu akan berakibat apa? Akan dikaitkan dengan hasil perumusan?
Tentunya ini kan akan jadi masukan ke dalam pemerintah, konsep penyelesaian itu terserah pemerintah. Karena kan pemerintah itu kan tukang masak nih.
Berarti unsur-unsur penyelesaian ya?
Betul, sekaligus juga usulan, mau sampai dimana dulu kan karena semuanya membutuhkan suasana yang kondusif.
Sekarang belum kondusif?
Menjadi tidak kondusif karena ada bias di luar. Ada bias yang saya pikir memang lebih banyak karena mungkin kurang komunikasi.
Jadi, bumbu yang diusulkan tim perumus itu misalnya apa?
Ya, itu tadi cerita itu, jadi kejadian-kejadian ini bukan hal yang terjadi sendiri, itu satu. Kedua, bagaimana pemerintah memang saat kejadian ini, pemerintah Indonesia kan masih muda, dia masih belum punya pengalaman untuk menyelesaikan konflik. Begitu juga masyarakatnya. Jadi tahun 48 itu kan masih baru 3 tahun merdeka, masih usia muda lah. Sampai tahun 65 pemerintah tuh masih sibuk dengan politiknya, jadi belum bisa membangun sinergi yang solid diantara pemerintah sendiri untuk menghadapi situasi konflik di masyarakat. Kemudian juga ada hal hal yang sifatnya itu belum dianggap final. Misalnya sampai tahun 59 undang-undang kan berubah terus, dari UUD 45 menjadi UU sementara 50, kemudian kembali ke UUD 45. Hal yang membuat konflik di masyarakat, termasuk antara partai politik, jadi tejadi konflik antara PKI dan masyumi misalnya, PKI dengan Orba gitu, dengan PSI. Dan kita juga belum pengalaman waktu itu untuk menyelesaikan perbedaan pendapat, khususnya pandangan politik, belum ada pengalaman. Dan Bung Karno kan juga saat itu fokusnya kepada persatuan, belum membangun, mengatur birokrasi, ketatanegaraan, belum itu. Sehingga beliau mengeluarkan konsep nasakom, tapi tidak sesuai kan dengan UUD 45. Akhirnya improvisasi ini secara tidak sadar, menabrak pancasila juga yang beliau juga (yang rumuskan).
Ya itu, jadi yang jelas kita ingin peristiwa yang terjadi pada masa itu tidak terulamg lagi. Dan generasi penerus bisa memahami secara objektif, tidak melihat secara kanan atau kiri. Jadi sebagai perjalanan bangsa yang ada sisi gelapnya ada sisi terangnya, jadi bisa dipilah-pilah.
Berarti memang harus diakui bahwa dulu ada pembunuhan massal?
Sebenarnya mengakui nya gini, mengakui nya adalah terjadi kekerasan yang negara sendiri tidak bisa handle , tidak bisa mengendalikan. Kan di UUD 45 kan disebut negara melindungi segenap tumpah darah dari segenap bangsa, itu belum mampu pada saat itu ya itu kan negara ini kan bisa diwakili sekarang. Bahwa negara belum. (Seperti dikatakan pak Luhut?) Iya karena memang belum mampu. termasuk jaman pak Soeharto kan belum tertata, sehingga terjadi hal-hal seperti itu. Termasuk juga, karena barangkali komunisme ini betul-betul merusak tatanan ya itu kan disebut bahaya laten lah, ini di indkotrinasi sehingga kita bener-bener pada waktu itu terindoktrinasi lah. Sampai ada ketentuan tahun 81 mengenai bersih lingkungan, itu yang sebetulnya yang selama ini selalu diperjuangkan temen-temen aktivis HAM. Itu harus dicabut karena kita peru melakukan rehabilitasi umum.
Berarti itu masuk kedalam rekomendasi juga?
Iya, termasuk juga ya kuat sekali ada rekomendasi pemerintah melakukan rehabilitasi umum.
Bentuk rehabilitasi umum seperti apa?
Ya nanti seluruh yang jadi korban baik sebelum 65, maupun setelah 65. (Sebelum 65 emang masih ada?) ya saya tidak tahu, tapi mungkin kan itu sebelum 65, ada kejadian pemerintah juga tidak bisa menjaga warga negaranya bentrok kan perlu direhabilitasi. Termasuk juga pemerintah membubarkan PSI misalnya, kan perlu direhabilitasi juga kenapa dibubarkan. Sebelum orde baru kan juga Masyumi dibubarkan itu kan perlu direhabilitasi juga.
Kalau ada rehabilitasi umum, nanti siapa yang mendata?
Kalau tim gabungan kan yang menangani Yudisial, kalo ga salah ada 7 salah satunya 65. Nah peristiwa 65 ini termasuk juga oleh komnas HAM, untuk di luar yudisial, makanya rekonsiliasi.
Yang menggarap siapa? Kalau dulu kan ada KKR?
Itu terserah pemerintah, kita memberikan rekomendasi seperti ini nanti pemerintah mau membuat seperti apa ya monggo.
Kenapa harus rehabilitasi umum? Apakah ada yang dirugikan atau dihilangkan hak hak nya sehingga membutuhkan ini?
Ya itu kan keliatan sekali. Misal sebelum 65 anak-anak PSI, Masyumi mengalami kesulitan. Setelah 65 juga anak anak PKI mengalami kesulitan, bahkan setelah 65 Soekarnois disamakan dengan PKI. Nah ini yang perlu direhabilitasi.
Dengan cara apa sih rehabilitasinya? Apa dengan pengembalian nama baik saja atau gimana?
Teknis nya mungkin pemerintah ya, yang lebih paham ya, payung hukumnya juga pemerintah ya. Apakah mau membentuk tim khusus, apa mau melalui menkopolhukam yang akan menemani.
Kalau selama ini kan yang mengemuka adalah yang menjadi korban adalah yang pasca 65, artinya PKI atau simpatisan PKI. Kalau dalam hal ini berarti tim perumus melihat lebih luas ya?
Ya lebih luas. Itu tadi karena pertama, kejadian itu tidak berdiri sendiri, ada sebab akibat, juga di kedua belah pihak ada korban. baik korban fisik ya itu, dulu kan pejabat pemerintah dibunuh sebelum 65 ya. Ada lurah ada camat yang tidak sesuai dengan garis partai dibunuh, ada TNI juga, termasuk puncaknya ya Oktober 65 itu 1 Oktober.
Itu tapi masih ada yang tidak setuju kalau konsep ini dilakukan, jadi rehabilitas umum ini apakah sudah disetujui oleh semuanya atau ada juga perdebatan?
Kalau rehabilitasi umum ini tim perumus sepakat ga ada masalah. (Yang agak alot yang 48, 65 ini?) Ya ada juga istilahnya, permohonan maaf, itu juga alot. Memang akhirnya kita sepakat tidak perlu, cukup penyesalan, permohonan maaf. Sebenarnya tidak hanya itu, tapi sebelumnya juga, jadi pemerintah meminta maaf kepada seluruh korban, baik setelah 65 maupun sebelum, ya tapi kemudian sepertinya kita hanya mengarah pada penyesalan.
Tapi itu dari yang ingin memberikan permintaan maaf, sampai jadi penyesalan saja itu prosesnya seperti apa?
Ya itu hasil diskusi kita, jalan tengahnya dari hasil diskusi kita. (Lama itu menyatukan jalannya?) Ya sebenarnya ga lama, tim perumus solid kok. kita hanya saling mengingatkan bahwa dalam bekerja ini harus objektif dan seimbang, jadi kita mengingatkan aja.
Anda mendapatkan tekanan? Ada orang yang kenal dengan pak Suryo misalnya? Kalau pak Agus itu kan tekanannya terang-terangan “Saya mendapatkan banyak komentar”, kalau Anda sendiri seperti apa?
Kalau saya pribadi ngga, mungkin mereka sudah tahu siapa saya dan bagaimana kami di FSAB (Forum Silaturahmi Anak Bangsa). Karena di FSAB ini lebih ngeri lagi, artinya bukan seram ya. Tapi di FSAB berkumpul dari yang paling kiri luar sampai kanan luar. Kita ada anaknya Kartosuwirjo, kemudian ada cucunya Daud Bereuh, anaknya Aidit. Jadi kiri sama kanan kita ada semua, putrinya pak Panjaitan, putri nya Ahmad Yani juga ada.
Kalau pertemuan total ada 8 berarti?
Ya kurang lebih ya, kita tim perumus agak sering ketemu, yaitu tadi untuk kita menjaga, apalagi sekarang ini dengan kesalahpahaman ataupun situasi yang tidak kondusif ini kita ngerem juga kan, kita lebih hati-hati dalam merumuskan.
Isu diluar memang berpengaruh dengan jalannya perumusan ini?
Iya karena kan kita istilahnya harus memiliki kepekaan juga. Bahwa memang masih ada juga seperti itu (penolakan--Red) ya kan, pro kontra masih kuat. Makanya kita pengen, kalau kita mau rekonsiliasi ini, kita pertama harus ikhlas. Kita terima bangsa ini pernah mengalami masa kelam, kita mesti berdamai dengan diri kita sendiri, kita berdamai dengan diri sendiri, dengan masa lalu melalui perdamaian, jadi kalau dalam istilah jawa Sing Wis Yo Wis, yang berlalu yasudahlah, memikirkan bagaimana ke depannya. Apa sih yang salah dari bangsa ini sehingga saling membunuh.
Tapi itu kan yang ditolak oleh korban Sing Wis Yo Wis itu?
Sing wis yo wis itu kan dari Pak Djoko Pekik. Tapi sebenarnya gini loh, itulah kita ini kadang-kadang sangat terpaku pada norma, yang internasional ya tentang rekonsiliasi mesti gini gini gini kan? Kadang kadang kita juga kurang menggali, bagaimana bangsa kita ini dengan budayanya bisa melakukan rekonsiliasi, atau perdamaian kalau titik kita kan sebenarnya perdamaian kaya di Maluku, kemudian di Sumbar, dan di Jawa, itu kan sebenarnya perdamaian.
Yang di Palu itu juga jadi contoh baik ya?
Iya, ini kan kalau istilah Sing Wis Yo Wis itu kan oke ini sudah selesai kita bicara ke depan, bukan berarti melupakan. Termasuk juga kita merekomendasikan negara ini benar-benar hadir, mereformasi diri, memberikan jaminan supaya tidak terulang, dalam arti kata diskriminasi tidak berulang. Termasuk yang mba tadi katakan, pencabutan peraturan diskriminatif harus dihapuskan, ya ini memang harus dihapuskan, reformasi birokrasi juga.
Reformasi birokrasi tuh maksudnya lembaga yang direformasi?
Apa ya? Ya untuk apa namanya, reformasi kelembagaan untuk meningkatkan akuntabilitas ya, supaya patuh pada hukum, bukan patuh pada politik tapi pada hukum.
Tapi tidak diperinci ya di tim perumus itu apakah lembaga yang direformasi itu lembaga apa?
Ngga, ngga. Tapi memang diperlukan untuk semua lembaga dan mindset kita juga, mindset kita ya harus mindset hukum.
Kalau tentang pencabutan peraturan diskriminatif itu, peraturannya juga berarti bukan langsung ditunjukkan?
Ngga pemerintah tahu kok, paling ngga yang sampe sekarang masih ada yang menyangkut bersih lingkungan itu.
Untuk meredam, tadi Anda bilang, bagaimanapun lingkungan eksternal itu kan berpengaruh. Untuk meredam gejolak itu gimana?
Saya pikir apa yang dilakukan Pak Luhut itu sudah baik. Pak Luhut tuh bicara menjelaskan keliling dan menjelaskan pada TNI, menjelaskan pada purnawirawan yang seangkatan, itu cukup ya, selebihnya kita tidak bisa menolak bahwa misalnya ada yang mengadakan simposium anti-PKI, itu kan tidak bisa ditolak. Walaupun sebenarnya ya itu untuk apa lagi, kan memang komunisme masih belum dicabut larangannya. Tinggal memberikan pemahaman pada generasi muda yang sekarang, itu yang kurang, apa sih sebenarnya bahaya marxis-leninisme, kenapa itu dilarang?
Itu ga pernah ada penjelasannya kan ga pernah dijelasin apa bahayanya? Sekarang itu kalah dengan narasi yang bersifat kemanusiaan, kasihan sama korban, ya itu oke tapi narasi mengenai bahaya marxis-leninisme juga harus diberikan pada generasi muda.
Bahayanya apa?
Yang jelas itu tidak sesuai dengan nilai pancasila, nilai kemanusiaan kemudian nilai keadilan.
Ada yang bilang pancasila itu dari orang-orang kiri?
Ya bisa karena mungkin karena sosialismenya ya, karena kiri kan dekat dengan sosialis. Tapi Marxisme sendiri kan kita baca kan memang, itu kan sangat revolusioner, ini tidak sesuai dengan pancasila.
Untuk pertemuan besok (Jumat, 20 Mei Menkopolhukam akan memberikan tanggapan atas rekomendasi yang disampaikan tim perumus) itu semua tim perumus ikut?
Ngga biasanya diwakili aja, tim perumus kan sekitar 16 orang.
Nanti itu akan seperti apa, misalnya sudah ada gambaran itu bentuknya makalah, atau rekomendasi per poin, atau apa?
Ya seperti makalah. Makalah rekomendasi penyelesaian untuk pemerintah.
Tapi itu bisa diungkap ke publik?
Setelah diserahkan tentunya bisa ya, saya gatau itu tergantung pemerintah ya. Sudah kita serahkan pada pemerintah, kan tergantung pemerintah mau go publik atau ngga. Istilahnya kita mengadakan simposium ini kan kerjasama dengan pemerintah, kita menghargai semua pihak.
Saat ini berarti rekomendasi dari tim perumus sudah final?
Ya, sudah final dari tim perumus.
Rekomendasi itu nanti kan ujungnya kebijakan, tapi apakah ada kekhawatiran jika ini tidak dibuka ke publik, nanti misalnya Menko Luhut tidak nyaman dengan rekomendasi itu, misalnya tim rekomendasi telah diberikan poin poin A,B,C,D ada kemungkinan itu tidak digunakan pa Luhut?
Kan kita juga tidak bisa memaksakan, tapi sejauh yang kita pahami, dari diskusi yang kemarin, pemerintah akan menghargai hal itu, karena kan pemerintah juga ingin. Kan Pak Luhut juga mengatakan tidak ingin menjadi tawanan masa lalu terus kan, tidak ingin ada beban hutang gitu, masalah masalah yang bisa diselesaikan saat ini kenapa tidak saat ini.
Kekhawatirannya kan, jangan-jangan tim perumus sudah punya rekomendasi yang bagus, tapi pemerintah punya jalan sendiri misalnya?
Sejauh ini ngga kaya misalnya, rehabilitasi umum itu dikasih jalan. Terjadi pelanggaran HAM itu kan juga realita, jadi yang prinsip-prinsip sih sudah diterima, tinggal kan ini karena ini simposium jadi sifatnya akademis jadi kan butuh komprehensif, satu. Kedua, simposium ini juga baru pertama kali diadakan melibatkan semua pihak, biasa penyintas-penyintas saja, yang anti-anti saja, yang semuanya tidak ada tindaklanjutkan tapi ini semua pihak ada, dari akademisi ada, penyintas ada, TNI juga ada, pemerintah ada, Komnas HAM ada, jadi ini lengkap, mungkin tidak sempurna tapi ini awal yang baik untuk menyelesaikan permasalahan masa lalu.
Tapi rekonsiliasi ini tidak menepikan yudisialkan?
Tidak tidak rekonsiliasi tetap berjalan.
Anda tidak khawatir saat rekomendasi keluar tim perumus akan dibilang pro PKI kalau rekomendasinya berpihak ke korban?
Nyatanya ngga sih, itu kan pernyataan sepihak, kalau dibacakan rekomendasi memang tidak demikian, kita tidak pro siapa-siapa.
Nanti mungkin diserang lagi dari blok korban? kayaknya ini sangat kompromistis, tidak pro korban, itu gimana pak?
Jadi memang ini kiri kanan diserang, gak apa apa deh mba, demi bangsa, demi perbaikan kok.
Tapi kalo di dalam sangat adem ya tak seperti di luar?
Ngga adem kok, ya diskusi keras, debat keras, tapi ya kita makin kompak
Berapa lama kalau pertemuan?
Kemarin pertemuan hanya 2 jam.
Siapa yang biasa menengahi?
Pak Agus. Pak Agus sama Pak Sidarto lah. Keduanya. Pak Agus yang paling bisa, beliau kadang ini, di luar dipikir bagaimana padahal di dalam (tim perumus) dia keras membela TNI. Walaupun di luar diserang juga oleh purnawirawan. Tapi di dalam (tim perumus) dia membela TNI.
Di dalam tim perumus berarti bertentangannya sama perwakilan keluarga korban, Mas Bonnie misalnya atau Mas Stanley--yang sering menyuarakan hak korban?
Ya tidak bertentangan, masing-masing menyampaikan argumennya saja. Bukan perdebatan bagaimana, tapi ya menyampaikan argumennya. Ini perlu dimasukkan dan itu tidak. Jadi Mas Bonnie misalnya yang paling tahu pasca 65 kemudian menyampaikan argumennya, lalu yang lain melengkapi yang tahu soal pra 65.
Yang memberi masukan pra 65 itu Siapa?
Putut Tri Husodo, wartawan senior pernah di Tempo, Gatra, FK. Kemudian ada romo Baskoro sejarawan. Ini yang memberikan latar belakang.
Apa yang diharapkan setelah kerja tim perumus memberikan rekomendasi?
Ya kita seperti membuka jalan untuk paling tidak pemerintah tahu apa yang harus dilakukan kepada warga negaranya supaya tidak melakukan hal-hal yang sifatnya diskriminatif, penekanan. Kepada kita juga apa ya kalau kita bicara politik pastinya kan pancasila, kita tidak bisa ngotot untuk ada di luar itu, yang ketiga segala perselisihan meski diselesaikan secara hukum, dulu kan ada otot sekarang tidak bisa lagi, kita makin konstitusional lah dan taat hukum.
Editor: Rony Sitanggang
http://kbr.id/05-2016/_wawancara__simposium_tragedi_65__ini_rekomendasi_tim_perumus_pada_pemerintah/81462.html
0 komentar:
Posting Komentar