|
SUDAH banyak data inteligen, kabar kawat
kedubes negara Barat dan CIA yang sudah bisa diakses oleh publik dan
menunjukan kalau G30S itu buatan Barat, bersekongkol dengan Soeharto
yang bertujuan menjatuhkan pemerintah sah Soekarno dengan dalih
peristiwa G30S.
Tapi seperti yang kita ketahui bersama
bahwa, ketika Soeharto sukses dalam kudeta merangkaknya dan menjadi
Presiden di kemudian hari, sang Proklamator bangsa, Bung Karno dituduh
terlibat Kudeta G30S (Mengkudeta dirinya sendiri?), lalu Bung Karno
menjadi tahanan politik di usia senja dengan sakit-sakitan sampai akhir
hayatnya.
Setelah peristiwa G30S itu diperkirakan 500 ribu bahkan 3 juta jiwa (dikatakan oleh Sarwo Edhie, mertua SBY)
rakyat Indonesia yang dituduh sebagai kader PKI, antek PKI dan
Soekarnois dibunuh tanpa pengadilan dan ritual pemakaman yang layak,
sementara puluhan ribu lainnya dikirim ke penjara kamp militer di Pulau
buru, di mana belasan tahun setelahnya para tahanan politik itu
dibebaskan dengan keterangan tidak terlibat dalam pemberontakan.
Mereka dibebaskan tanpa permintaan maaf
dari negara, justru didiskriminasi sebagai warga negara kelas dua hingga
kini. Bahkan di era Orde Baru sempat dibedakan KTP nya sebagai ET,
eks-tapol.
Semua itu dilakukan demi membangun rezim
Orde baru yang sama kita ketahui bahwa, itu rezim terbobrok dan
terkorup sepanjang sejarah peradaban bangsa Indonesia, dan itu Fakta.
Mari kita gunakan pengandaian sederhana.
Taruhlah PKI itu kejam dan bengis, tapi yang menggelitik adalah kenapa
begitu mudahnya orang-orang dihilangkan, bimsalabim, hanya dengan ditunjuk hidung sebagai antek PKI? Kemudian mereka bantai dan siksa sedemikian rupa tanpa proses pengadilan?
Sebenarnya yang bahaya laten nan bengis itu PKI atau kaum bodoh yang gampang dihasut?
Sesudah 50 tahun tragedi itu terjadi,
para korban yang sudah renta menuntut rehabilitasi nama baiknya dan
keadilan. Tapi sayangnya, ‘hantu bahaya laten’ itu masih saja hidup dan
menakuti bagi mereka yang tidak peduli atau terlalu malas mencari
kebenaran dalam sejarah. Padahal, seperti yang kita ketahui di acara
‘Simposium tragedi 65 dan pelurusan sejarah’ jelas-jelas dicapai
kesimpulan bahwa, negara ikut terlibat dalam tragedi ’65, dan harus
mengerahkan segala upaya demi pelurusan sejarah.
Apakah itu cukup bagi mereka? Tampaknya
tidak. Sesudah diberi fakta dan data-data akan kebenaran dalam tragedi
65, sikap mereka sama, mereka tetap ingkar.
Mungkin benar kata mendiang sastrawan
terbaik negeri ini yang sekaligus menjadi tapol Pulau Buru, Pramoedya
Ananta Toer: “Melawan pada yang berilmu dan berpengetahuan adalah
menyerahkan diri pada maut dan kehinaan (Bumi Manusia).”
Kini kita bisa melihat kualitas
seseorang dari bagaimana ia melihat tragedi ’65 dan caranya bersikap
pada setiap upaya penggalian fakta dan pelurusan sejarah, mereka yang
ingkar cocok rasanya jika kita sebut sebagai gerombolan yang melawan
pada ilmu pengetahuan. Padahal banyak penelitian berupa buku dan film
yang sudah dihasilkan oleh berbagai pihak dalam upaya penyingkapan
tragedi 65.
Mereka yang sibuk berteriak akan bahaya
laten PKI, tapi malas membaca dan mencari tahu tentang fakta yang
sebenarnya tentang tragedi 65, saya anggap sedang berupaya melawan
kebenaran. Mereka berteriak dan meludah ke udara, tidak sadar bahwa
ludahnya akan jatuh kembali ke muka tebalnya.
Kini berbagai upaya pelurusan sejarah
itu terus dikerjakan oleh para penyintas, oleh para aktivis HAM, dan
oleh setiap manusia yang masih membutuhkan kemanusian, dan memercayai
bahwa kemanusian itu adalah hak bagi setiap manusia yang waras,
pekerjaan itulah yang harus terus dan fokus untuk diperjuangkan.
Biarkan saja gerombolan peludah yang
semakin keras menyombongkan kebodohan, dan semakin basah pula akan ludah
sendiri, petanda mereka kian dekat akan kehinaan dan menjadi lelucon
sejarah bagi masa yang akan datang.
Artikel ini dipublikasikan di, dan dimuat kembali dari akun media sosial penulis.
0 komentar:
Posting Komentar