Sabtu, 07 Mei 2016

Dongeng Bahaya Laten PKI dan Meludah Ke Udara



SUDAH banyak data inteligen, kabar kawat kedubes negara Barat dan CIA yang sudah bisa diakses oleh publik dan menunjukan kalau G30S itu buatan Barat, bersekongkol dengan Soeharto yang bertujuan menjatuhkan pemerintah sah Soekarno dengan dalih peristiwa G30S.

Tapi seperti yang kita ketahui bersama bahwa, ketika Soeharto sukses dalam kudeta merangkaknya dan menjadi Presiden di kemudian hari, sang Proklamator bangsa, Bung Karno dituduh terlibat Kudeta G30S (Mengkudeta dirinya sendiri?), lalu Bung Karno menjadi tahanan politik di usia senja dengan sakit-sakitan sampai akhir hayatnya.

Setelah peristiwa G30S itu diperkirakan 500 ribu bahkan 3 juta jiwa (dikatakan oleh Sarwo Edhie, mertua SBY) rakyat Indonesia yang dituduh sebagai kader PKI, antek PKI dan Soekarnois dibunuh tanpa pengadilan dan ritual pemakaman yang layak, sementara puluhan ribu lainnya dikirim ke penjara kamp militer di Pulau buru, di mana belasan tahun setelahnya para tahanan politik itu dibebaskan dengan keterangan tidak terlibat dalam pemberontakan.
Mereka dibebaskan tanpa permintaan maaf dari negara, justru didiskriminasi sebagai warga negara kelas dua hingga kini. Bahkan di era Orde Baru sempat dibedakan KTP nya sebagai ET, eks-tapol.

Semua itu dilakukan demi membangun rezim Orde baru yang sama kita ketahui bahwa, itu rezim terbobrok dan terkorup sepanjang sejarah peradaban bangsa Indonesia, dan itu Fakta.

Mari kita gunakan pengandaian sederhana. Taruhlah PKI itu kejam dan bengis, tapi yang menggelitik adalah kenapa begitu mudahnya orang-orang dihilangkan, bimsalabim, hanya dengan ditunjuk hidung sebagai antek PKI? Kemudian mereka bantai dan siksa sedemikian rupa tanpa proses pengadilan?
Sebenarnya yang bahaya laten nan bengis itu PKI atau kaum bodoh yang gampang dihasut?

Sesudah 50 tahun tragedi itu terjadi, para korban yang sudah renta menuntut rehabilitasi nama baiknya dan keadilan. Tapi sayangnya, ‘hantu bahaya laten’ itu masih saja hidup dan menakuti bagi mereka yang tidak peduli atau terlalu malas mencari kebenaran dalam sejarah. Padahal, seperti yang kita ketahui di acara ‘Simposium tragedi 65 dan pelurusan sejarah’ jelas-jelas dicapai kesimpulan bahwa, negara ikut terlibat dalam tragedi ’65, dan harus mengerahkan segala upaya demi pelurusan sejarah.

Apakah itu cukup bagi mereka? Tampaknya tidak. Sesudah diberi fakta dan data-data akan kebenaran dalam tragedi 65, sikap mereka sama, mereka tetap ingkar.

Mungkin benar kata mendiang sastrawan terbaik negeri ini yang sekaligus menjadi tapol Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer: “Melawan pada yang berilmu dan berpengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan (Bumi Manusia).”

Kini kita bisa melihat kualitas seseorang dari bagaimana ia melihat tragedi ’65 dan caranya bersikap pada setiap upaya penggalian fakta dan pelurusan sejarah, mereka yang ingkar cocok rasanya jika kita sebut sebagai gerombolan yang melawan pada ilmu pengetahuan. Padahal banyak penelitian berupa buku dan film yang sudah dihasilkan oleh berbagai pihak dalam upaya penyingkapan tragedi 65.

Mereka yang sibuk berteriak akan bahaya laten PKI, tapi malas membaca dan mencari tahu tentang fakta yang sebenarnya tentang tragedi 65, saya anggap sedang berupaya melawan kebenaran. Mereka berteriak dan meludah ke udara, tidak sadar bahwa ludahnya akan jatuh kembali ke muka tebalnya.

Kini berbagai upaya pelurusan sejarah itu terus dikerjakan oleh para penyintas, oleh para aktivis HAM, dan oleh setiap manusia yang masih membutuhkan kemanusian, dan memercayai bahwa kemanusian itu adalah hak bagi setiap manusia yang waras, pekerjaan itulah yang harus terus dan fokus untuk diperjuangkan.

Biarkan saja gerombolan peludah yang semakin keras menyombongkan kebodohan, dan semakin basah pula akan ludah sendiri, petanda mereka kian dekat akan kehinaan dan menjadi lelucon sejarah bagi masa yang akan datang.

Artikel ini dipublikasikan di, dan dimuat kembali dari akun media sosial penulis.

0 komentar:

Posting Komentar