Minggu, 08 Mei 2016

Ingatan Tragedi 1965 Seiring Perubahan Jaman*

Minggu, 08 Mei 2016 

Oleh: Yosef Djakababa Ph.D**


Aksi-aksi untuk menegakkan kedaulatan yang menentang Amerika Serikat yang menjadi penyebab kejatuhan Presiden RI, Soekarno lewat sebuah kudeta militer 1965 (Ist)



Peristiwa 1965 atau tragedi 1965 adalah sebuah episode sejarah kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia. Peristiwa politik yang terjadi di tengah gejolak global perang dingin ini mengakibatkan perubahan drastis struktur politik dan sosial masyarakat Indonesia yang terus berkelanjutan sampai saat ini. Yang terjadi antara Oktober 1965-1966 bukan hanya perubahan politik namun juga memicu sebuah tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan dalam konteks hubungan dengan perseteruan ideologi antara komunis dan anti-komunis. 
Perseteruan di tingkat nasional Indonesia ini tidak bisa dipungkiri mempunyai hubungan dengan situasi panas politik global perang dingin dimana dunia terbagi menjadi dua polar (bipolar), yang satu dipimpin oleh Amerika Serikat sebagai pembela demokrasi dan ide kapitalisme melawan ideologi komunisme yang dipimpin oleh Uni Soviet

Tragedi 1965-1966 pada hakekatnya memiliki banyak dimensi yang ditafsirkan ke dalam berbagai kepentingan. Namun ada fakta-fakta yang tidak dipungkiri yaitu: adanya ketegangan politik antara kelompok komunis dan anti-komunis sebelum tanggal 1 Oktober 1965 (prolog), adanya penculikan dan pembunuhan para Jendral petinggi Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia (aksi 1) dan ada pembersihan massal dalam bentuk pembunuhan, penangkapan dan diskriminasi yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa pada ribuan (bahkan ada yang menyebut angka jutaan) warga negara Indonesia yang berujung pada penghancuran Partai Komunis Indonesia sebagai sebuah kekuatan sosial politik (aksi 2).


Ingatan Kolektif Dan Sejarah

Di dalam konteks pembahasan ingatan kolektif mengenai tragedi 1965, ada baiknya kita membedakan apa yang dimaksud dengan ingatan dan sejarah. Ingatan (Nora) adalah fenomena aktual yang pada umumnya mempunyai kecenderungan intensitas yang tinggi karena disebabkan antara lain pengalaman yang dialami/dilihat sendiri. Namun kelemahannya ingatan cenderung sangat fragmented (terpecah-pecah). Ingatan pribadi dan kolektif dalam masyarakat mengenai sebuah peristiwa itu bisa berbeda namun bisa hidup bersama-sama. Meskipun dalam masyarakat ada pertentangan perbedaan tafsiran masa lalu dan pendiaman sebuah aspek sejarah untuk mengikuti kepentingan tertentu.

Sedangkan sejarah adalah representasi dari masa lalu yang dalam bentuk idealnya adalah upaya untuk menampilkan masa lalu dengan merekonstruksi dan menafsirkan sebuah peristiwa sejarah secara utuh dengan menggunakan data-data primer maupun sekunder yang sahih, metodologi yang baik sehingga tulisan tersebut bisa ditampilkan dan dipertanggungjawabkan.

Ingatan kolektif mengenai tragedi 1965-1966 pun bisa berbeda-beda sesuai dengan perubahan jaman tergantung kepentingan dan juga kecenderungan jamannya. Namun ada kecenderungan kompleksitas dan berbagai dimensi peristiwa 1965-1966 tidak terefleksi dengan baik pada ingatan-ingatan kolektif yang muncul dengan berbagai alasan yang antara lain sudah disebutkan diatas yaitu soal kepentingan dan kecenderungan jaman.

Sedangkan untuk menuntaskan konflik ideologi dan masalah kemanusiaan yang timbul dari tragedi ini menurut hemat saya diperlukan paling tidak keterbukaan pandangan untuk berusaha memahami dan mempelajari kompleksitas tragedi ini secara menyeluruh dan tidak sebagian-sebagian.

Misalnya, periodisasi sejarah tragedi 1965-1966 itu ada tiga yaitu: yang pertama kejadian dan dinamika masyarakat lokal dan global sebelum 1 Oktober 1965 (Peristiwa Lubang Buaya). Kedua, peristiwa 1 Oktober 1965 itu sendiri (Penculikan dan pembunuhan para Jendral) dan yang ketiga, peristiwa sesudah 1 Oktober 1965 dimana terjadi pembantaian, penangkapan dan diskriminasi massal.

Berikut ini akan saya paparkan perkembangan narasi ingatan tragedi 1965 dan upaya pemeliharaanya, cara penyebarannya sampai konsekuensi narasi mengikuti perubahan jaman.


Periode Orde Baru

Pada periode Orde Baru penekanan adalah membuat narasi tragedi 1965 sebagai sebuah cara untuk memberikan legitimasi kepada sebuah rezim yang baru. Karena itu diperlukan sebuah pembangunan narasi yang mudah ditangkap/dicerna masyarakat tidak hanya untuk mendapatkan legitimasi tapi juga untuk menjamin kelangsungan hidup rezim tersebut.

Pada periode orde baru fokus utama periodisasi untuk pembentukan ingatan kolektif adalah pada peristiwa 1 Oktober 1965 (penculikan dan pembunuhan para Jendral AD). Disitu siapa yang menjadi protagonis dan antagonisnya jelas terlihat, yaitu PKI sebagai pelaku pembunuhan/penculikan para Jenderal). Pembentukan dan penyebaran mainstream narrative ini dilakukan dengan sangat intensif oleh negara/rezim orde baru melalui penulisan buku sejarah resmi tragedi lubang buaya, hari kesaktian Pancasila, museum, pembuatan dan pemutaran film “Pengkhianatan G30S/PKI”, kurikulum sekolah.

Sifatnya sangat intensif, dibuat dan disponsori oleh pemerintahan Orde Baru. Negara pada saat itu memastikan hanya versi resmi Orde Baru yang boleh muncul, bukan yang lainnya. Sifat narasi sangat centralized dan bipolar (Komunis versus anti komunis) yang secara tidak langsung merefleksikan situasi politik dunia di era Orde Baru yaitu perang dingin antara blok timur melawan blok barat.

Dalam pembangunan ingatan kolektif di era ini dilakukan melalui cara-cara yang telah disebutkan di atas ada juga kesenyapan sejarah (silence), yaitu soal tragedi kemanusiaan yang terjadi setelah 1 Oktober 1965 sama sekali tidak disebutkan, diakui apalagi dibahas. Dampaknya adalah generasi yang tumbuh dan besar di era Orde Baru banyak yang tidak mengetahui adanya tragedi kemanusiaan tersebut.


Pasca Orde Baru

Perkembangan naratif yang berpengaruh terhadap ingatan kolektif tragedi 1965-1966 pasca orde baru tidak terlepas dari perkembangan politik global dimana perang dingin usai di awal tahun 1990-an dan dimenangkan oleh blok barat seiring dengan keruntuhan negara-negara komunis di blok timur Eropa dan pecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara baru yang berdaulat dan memeluk demokrasi.

Di era pasca Orde Baru demokratisasi menyebar luas di seantero dunia termasuk akhirnya di Indonesia membuat dunia tidak lagi terbagi dalam bipolar seperti halnya pada era perang dingin. Pada era ini yang terjadi adalah multipolar dan seiring dengan itu isu-isu yang menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sangat populer di 

Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi yang pesat membuat akses dan penyebaran informasi yang dulunya sulit atau tidak mungkin didapat menjadi sangat mudah. Jaringan internet saat ini sudah masuk ke dalam tingkat personal dan bergerak (mobile). Berbagai informasi menyebar dengan cepat, walau kadang akurasi informasi yang menyebar itu kerap mesti dipertanyakan.

Dengan situasi politik yang berubah dalam konteks perkembangan narasi tragedi 1965-1966 di era pasca-Orde Baru mulai kemudian muncul narasi-narasi mengenai tragedi kemanusiaan yang terjadi setelah tanggal 1 Oktober 1965. Perlu juga dicatat, dari sudut pandang Perang Dingin, peristiwa 1965-1966, khususnya pasca 1 Oktober 1965 di Indonesia bisa ditafsirkan sebagai: a) kemenangan melawan komunisme, atau dengan kata lain, b) kekalahan komunisme dan berkuasanya kapitalisme di Indonesia.

Pertentangan ideologi dan ekonomi politik selama periode ini melahirkan perilaku politik dan tujuan kekuasaan zero sum game: Jika satu pihak menang, pasti ada pihak lain yang kalah. Oleh sebab itu, ingatan kolektif mengenai pihak yang dianggap kalah tidak pernah dibangun pada jaman Orde Baru. Ingatan mengenai pembunuhan massal secara tidak langsung ditekan dan disenyapkan oleh berbagai kebijakan pemerintah mengenai mereka yang terlibat PKI dan stigma sosial terhadap pendukung PKI.

Sesudah Perang Dingin selesai, paham demokrasi termasuk pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi tema dominan politik global. Generasi muda yang tidak pernah memiliki ingatan kolektif mengenai peristiwa pembunuhan massal tersebut mulai mendapat paparan dan akses ke berbagai ingatan pribadi penyintas yang muncul ke permukaan. Dari sudut pandang HAM, apa yang terjadi setelah 1 Oktober 1965 adalah sebuah tragedi kemanusiaan terlepas dari konteks sosial politik masa itu.

Sehingga yang muncul pada periode pasca Orde Baru adalah tantangan terhadap narasi resmi rejim Orde Baru dan lebih memfokuskan pada periode setelah 1 Oktober 1965 dimana pembantaian, penangkapan dan diskriminasi terhadap sesama warga negara Indonesia itu terjadi dan dijalankan atas nama sebuah pergolakan global yang kemudian juga terjadi dalam level lokal.

Pada periode ini kisah-kisah korban dan penyintas memenuhi narasi tragedi 1965, ditambah dengan maraknya isu HAM di dunia internasional tragedi kemanusiaan ini juga mendapatkan sorotan tajam para aktivis dan penggiat HAM dalam rangka membela keadilan bagi orang-orang yang terkena dampak dari pelanggaran HAM yang masif ini. Isi dari substansi narasi yang pelan-pelan menjadi sebuah ingatan kolektif kekinian ini adalah pengantagonisan rejim Orde Baru terutama Suharto, berfokus pada aspek HAM dan pengabaian terhadap narasi resmi dan ingatan kolektif yang dibangun selama era Orde Baru.

Pola penyebaran informasi dan narasi ini pun mengalami perubahan yang cukup mendasar. Caranya tidak lagi terkonsentrasi pada pemerintah (tidak top-down). Mendapatkan data melalui internet, media, buku-buku, diskusi-diskusi, informasi yang ada menjadi sangat terpecah-pecah (fragemented) dan kerap jadinya membingungkan. Pengajaran di sekolah (jika pun ada ) tidak seintensif seperti waktu jaman Orde Baru, bahkan ada kecenderungan mata pelajaran sejarah digeser dan tidak menjadi mata pelajaran penting saat ini.

Empat (4) macam perspektif secara umum mengenai bagaimana tragedi 1965 ini dilihat oleh masyarakat saat ini yaitu, kelompok pertama yang masih sangat meyakini versi narasi resmi orde baru dimana PKI adalah pihak yang bertanggung jawab karena mereka melakukan pemberontakan sehingga mereka ditumpas dan dikalahkan. Terlepas alasan kenapa harus mempercayainya.

Kelompok kedua adalah yang melihat tragedi 1965 dari perspektif korban dan penyintas. Dimana dalam peristiwa ini ada pelanggaran HAM yang sangat massif, baik itu pembunuhan, pemenjaraan, penyiksaan dan juga diskriminasi.
Kelompok ketiga yang menjadi bingung karena banyaknya informasi yang beredar dan kerap kali informasi mengenai tragedi 1965 itu bertolak belakang.
Kelompok keempat yang pada dasarnya tidak peduli dengan tragedi 1965 (ignorance), mungkin karena usia, tidak pernah tahu dan tidak bisa melihat relevansi bagaimana pengaruh pertarungan ideologi pada jaman perang dingin. Kelompok ini mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana orang bisa dalam politik saling membenci dan membunuh karena sebuah ide/ideologi. 
Buat mereka tragedi 65 itu merupakan soal yang sudah jauh dari kepentingan mereka saat ini dan tidak melihat ada hubungan dengan keseharian mereka.


Konstruksi Ingatan Masyarakat.

Kebanyakan kisah-kisah pribadi yang beredar saat ini berfokus pada periode pasca G30S dari para korban/penyintas. Namun baik pada periode Orde Baru maupun periode pasca Orde Baru ada juga beberapa kemiripan seperti apa narasi itu muncul.

Penyederhanaan naratif yaitu protagonist dan antagonis dari  jaman Orde Baru yaitu PKI sebagai penyebab masalah. Sedangkan Pasca Orde Baru, antagonis adalah pelaku/Suharto/dan kelompok anti komunis yang bertanggung jawab.
Menurut hemat saya tragedi 65 pada hakekatnya adalah tragedi yang sangat kompleks dan terbangun dari sebuah proses ketegangan politik yang terjadi sebelum 1 Oktober 1965. Berbagai dimensi penyebab ketegangan politik ini baik lokal maupun internasional menyumbang pada meledaknya tragedi 1965 ini.

Ada narasi yang senyap, tetapi dengan aktor dan isi narasi yang berbeda. Jaman Orde Baru, kisah pembantaian massal dan lainnya senyap. Namun pada era pasca Orde Baru, kisah pembunuhan para Jenderal menjadi senyap. Didalam TOR (Term of Reference acara ini sudah tertulis korban aksi pertama maupun kedua,-- dua-duanya merupakan korban tragedy 65!

Kesamaan narasi Orde Baru dan pasca Orde Baru, keduanya tidak lengkap dan ada kesenyapan terhadap salah satu komponen narasi besar mengenai 1965! Ada kecenderungan fokus pada salah satu periode saja, either periode aksi dan sesudah aksi. Jarang yang menyentuh prolog.

Namun untuk mendapatkan narasi tragedi 65 yang lengkap masih sulit karena banyak bukti/informasi yang belum muncul dan harus terus dilengkapi seiring dengan munculnya bukti/informasi baru. Ditambah dengan kecenderungan global seperti berakhirnya perang dingin dan juga isu HAM yang menjadi sangat populer di dunia yang membuat fokus dan pada hakekatnya setiap jaman mempunyai kepentingan yang berbeda-beda  terhadap narasi ini. Ada kecenderungan ingatan kolektif biasanya diteruskan, dan sangat berpihak.


Usulan Dan Kesimpulan

Diupayakan pembelajaran mengenai tragedi 1965 harus dilakukan secara menyeluruh dan berusaha dilakukan selengkap mungkin dengan menggunakan fakta dan kaidah-kaidah keilmuan yang valid. Karena ingatan kolektif itu diteruskan, marilah kita semua dalam proses pembelajaran dan pemahaman mengenai tragedi 65 ini membuka pikiran dan hati kita untuk membangun sebuah ingatan kolektif baru yang lebih menyeluruh dan jujur.

Karena kepentingan kita semua saat ini sebagai satu bangsa adalah sama yaitu kita harus mengakui dalam perjalanan sejarah kita telah terjadi sebuah konflik politik yang keras sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan periode diskriminasi selama bertahun-tahun yang dialami oleh sesama warga atau lebih penting lagi hal tersebut dialami oleh sesama manusia, manusia Indonesia. Diharapkan dari pembelajaran dan pemahaman yang lebih baik kita semua sebagai bangsa harus mengupayakan agar tragedi seperti tragedi 1965 jangan sampai terulang kembali.

* Tulisan ini sebelumnya tanpa judul disampaikan oleh penulis dalam Simposium Nasional, “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”, di Jakarta, 18-19 April 2016.
** Penulis adalah Direktur dari The Center for Southeast Asian Studies-Indonesia, menyelesaikan studi Sejarah Asia Tenggara di University of Wisconsin-Madison, USA, 2009

http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/3323-ingatan-tragedi-1965-seiring-perubahan-jaman.html

0 komentar:

Posting Komentar