Kamis, 05 Mei 2016

Kisah Saksi Hidup Gemetar Kuburkan Korban Peristiwa 1965


Amal Nur Ngazis - Kamis, 5 Mei 2016 | 16:03 WIB

Mbah Sukar, saksi peristiwa 1965 di Semarang

VIVA.co.id – Bagi Mbah Sukar, usia bukanlah hambatan untuk bisa mengingat kejadian puluhan tahun silam. Di usianya yang kini menginjak 83 tahun, ia masih hafal betul tentang asal muasal kuburan massal 1965 di hutan Plumbon, Kelurahan Wonosari, Ngaliyan, Semarang.

Siang itu, mata Mbah Sukar berbinar. Ia terlihat menerawang jauh kejadian yang tak mungkin terlupa sepanjang hidupnya. Sukar bercerita kejadian tragis pembantaian massal tragedi 1965 (G30S) di kawasan hutan Plumbon, tak jauh dari rumahnya.

Pada hari yang sudah tak diingatnya, peristiwa berdarah itu terjadi. Namun pastinya pada 1965. Sukar yang kala itu masih berusia 33 tahun dikagetkan dengan suara mobil meraung-raung melewati depan rumahnya di kampung Plumbon.
"Ada empat mobil datang malam itu. Kondisinya hujan deras di tengah malam. Mobil yang datang pertama jip, lalu dua truk dan jip lagi, warnanya kuning," kata Sukar saat ditemui VIVA co.id di kampung Plumbon, Semarang, Kamis, 5 Mei 2016.
Sukar mengatakan masih ingat betul momentum itu. Keempat mobil itu berisi para petugas berseragam lengkap dengan menenteng senapan laras panjang. Sementara penumpang lain berisi puluhan warga sipil yang diikat berjajar serta ditutup matanya.
"Ada 24 orang yang dibawa. Satu perempuan, lainnya laki-laki. Tapi tangannya diikat tali dan digandeng satu sama lain " ujar kakek lima cucu itu.
Sukar yang kala itu adalah seorang warga pengangguran biasa, hanya bisa melihat dari lubang kecil tembok rumah dan tak berani keluar. Apalagi saat itu hujan mengguyur dengan begitu derasnya. Tepat pada pukul 01.00 dinihari, suara tembakan terdengar. Suara itu berasal dari hutan yang merupakan lokasi pembantaian berdarah itu.
"Suaranya nyaring sekali. Kampung sini banyak yang dengar tapi tak berani keluar. Apalagi hujan kan deras banget," tuturnya.

Sendirian kubur 24 jenazah

Keesokan harinya, Sukar pun dipanggil oleh Radhi (sudah meninggal), pejabat desa setempat yang masih kerabat dengannya. Ia diminta untuk menguburkan puluhan korban yang diduga warga yang berafiliasi di Partai Komunis Indonesia (PKI) itu.
"Jam 08.00 pagi Mbah Radhi bilang begini, Kang, kono nguruk kuburan PKI neng alas. Nggoleko konco. (Sana kuburkan orang PKI di hutan, carilah teman)," ungkap Sukar menirukan perkataan Radhi.
Saat menguburkan 24 korban, Sukar ditemani oleh tiga teman kampungnya, yakni Muharmain, Sarwani dan Sarimin. Dari ketiga temannya yang masih hidup, hanya Sukar dan Muharmain yang kini sudah pikun.
"Sampai di hutan ada tiga lubang, tapi yang diisi mayat hanya dua lubang. Darah bercecer di sekitar lubang itu. Tapi tiga teman saya enggak kuat melihat dan memutuskan pulang. Tinggal saya sendiri," ujar Sukar.
Mau tidak mau, Sukar pun menutup lubang ke 24 mayat yang bergelimpangan itu sendirian. Mesti harus melawan rasa takut, Sukar menguruk satu persatu liang itu dengan tubuh gemetar. Ia pun menandai dua liang itu dengan pohon Jarak.

Kuburan massal korban tragedi 1965 di hutan Plumbon, Semarang

Sejak saat itu, Sukar bahkan masih rutin membersihkan lokasi kuburan massal itu agar terawat. Beberapa kali, Sukar bahkan mendapati ada keluarga korban berziarah ke lokasi secara sembunyi-sembunyi.

Barulah pada 2015, kuburan massal di hutan Plumbon, Kelurahan Wonosari, Ngaliyan, Semarang, ini secara resmi dinisankan oleh para aktivis HAM Semarang. Dari 24 korban yang ada, nisan itu baru ditulis 8 nama. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dan pengakuan keluarga korban.

Kedelapan korban yang diketahui identitasnya itu adalah Mutiah (dulunya guru TK), Soesatjo (dulunya pejabat teras Kendal), Sachroni, Darsono, Yusuf (carik), Kandar (carik), Dulkhamid, dan Surono. Mereka merupakan warga Kabupaten Kendal yang sebelumnya ditahan di tawanan Kawedanan, Kaliwungu, Kendal.

0 komentar:

Posting Komentar