Jumat, 06 Mei 2016

Pembunuhan Massal 1965: Sebuah Catatan Psikoanalitis*

Jumat, 06 Mei 2016

Oleh : Dr. dr. Limas Sutanto, Sp.K.J. (K.), M.Pd.**

Keluarga Presiden Soeharto sedang latihan menembak diawal kekuassannya (Ist)




Pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965 layaknya merebakkan rasa marah, takut, dan sedih. Layaknya pula, ketiga afek primer itu tidak melahirkan tindak lanjut berupa pergerakan kelompok-kelompok warga membunuhi sesama mereka, karena sesungguhnya perasaan marah yang asli dan langsung merebak di hadapan fakta, akan membimbing manusia untuk membereskan masalah dengan baik, menegaskan sikap yang benar, melawan ketidak-adilan dengan tepat; sementara emosi takut yang primer bakal menuntun orang buat mengatasi bahaya atau ancaman secara efektif, atau berbuat menyelamatkan diri dari bahaya dan ancaman itu, misalnya dengan menjauhkan diri dari keduanya; dan afek sedih yang asli akan membimbing manusia untuk melepaskan sesuatu yang sudah hilang dan perlu dilepaskan.

Ketika yang kemudian ternyata terjadi adalah perburuan dan pembunuhan yang luas, kita pun teringat pada afek-afek turunan (yang sekunder, tersier, dan seterusnya) dari emosi-emosi primer (takut, sedih, dan marah), yang terutama berupa rasa benci, cemas, rendah diri, dan putus asa. Semua perasaan turunan itu memang tidak membimbing kita menuju kehidupan yang lebih baik: rasa benci melahirkan kekerasan ujaran dan kekerasan fisis (di dalamnya bisa saja tercakup pembunuhan terhadap manusia); afek cemas membuat orang bingung dan tak berdaya; rasa rendah diri membuahkan rasa sakit yang dalam; keputus-asaan bisa berujungkan bunuh diri.

Rasa-rasanya, itulah yang terjadi. Perasaan-perasaan primer yang asli dan langsung merebak di hadapan pengalaman faktual pembunuhan para jenderal, justru disangkali secara nirsadar, being defended, lantas mereka bertransformasi menjadi afek-afek turunan yang begitu merusak kehidupan: kebencian, kecemasan, rasa rendah diri, dan keputus-asaan. Dan mungkin proses-proses politis bahkan kian menggelorakan afek-afek itu sehingga menjelmakan budaya kebencian. Tak pelak, kekerasan verbal dan kekerasan fisis merajalela, pembantaian terjadi, dan ketegaan serta kekejaman terhadap sesama manusia, sungguh menjadi kenyataan.

Tetapi seandainya bangsa ini sudah memiliki keberdayaan umum untuk mengelola afek-afek primer yang berhakikat baik itu – rasa marah, takut, dan sedih – propaganda politik pun tidak akan begitu digdaya efeknya. Sejak masa amat panjang pra-Kemerdekaan, hidup kita begitu sarat dengan peresapan penindasan dan kekerasan. Keduanya adalah kekuatan utama yang tidak mengijinkan manusia mengalami rasa takut, sedih, dan marah primer, apalagi untuk kemudian menindak-lanjuti afek-afek primer itu dengan alamiah dan baik. Maka kita lalu menjadi miskin pengalaman mengelola perasaan-perasaan yang baik itu dengan cara yang alamiah, bebas, dan efektif.

Dan agaknya memang pada masa-masa seputar Tragedi 1965 itu bangsa ini berada dalam kedudukan emosional yang lebih dekat dengan kebencian, kecemasan, kerendah-dirian, dan keputus-asaan; maka proses-proses politis pun seperti sedemikian lancar mendorong banyak warga bangsa dan banyak kelompok orang untuk secara tidak sepenuhnya sadar mengejawantahkan kebencian ke dalam kekerasan ujaran dan kekerasan fisis, serta pembunuhan. Waktu itu, kita memang belum berada sebagai bangsa yang cukup berdaya mengelola amarah, ketakutan, dan kesedihan dengan alamiah, merdeka, baik, dan efektif.

Lima puluh tahun kemudian, sudahkah kita berdaya dalam keberadaban? Dengan berbungkuskan intoleransi terhadap perbedaan, terutama ketidak-samaan agama dan ras atau suku, kekerasan demi kekerasan masih saja terjadi. Di negeri ini, bisa saja sekelompok orang yang bukan petugas keamanan negara berbuat “menertibkan” sesama mereka yang kebetulan menyelenggarakan kegiatan yang tidak disukai atau tak disetujui oleh kelompok itu.

Dan bisa saja negara seperti tidak berbuat apa-apa, membiarkan (dapat pula terbaca sebagai mengijinkan) kekerasan-kekerasan itu berlangsung. Ucapan-ucapan manusia elite, yang seperti ini, sungguh tidak sepele: “Kalau terbukti saya korupsi, gantung saya di Monas!”; “Jika nanti pengumpulan KTP itu memenuhi jumlah untuk majunya orang itu sebagai calon pemimpin, saya akan terjun bebas dari puncak Monas!”; “Iris telinga saya jika orang itu berani menggugat BPK!” Ucapan-ucapan itu membenamkan kekerasan yang nyata sebagai kekerasan yang tersembunyi. Kita seyogianya tidak kehilangan kepekaan untuk merasakan betapa “gantung saya”, “terjun dari puncak Monas”, dan “memotong telinga”, adalah kekerasan, kendati lebih simbolik, tetapi kandungan kejamnya berbobot berat.

Kita pun merasakan pada akhir-akhir ini, begitu gampang dan bebasnya orang (terutama sebagian dari elite) mencerca, menyerang pribadi, dan memfitnah sesamanya di hadapan publik dan media. Kita seperti lupa bahwa semua itu adalah wujud-wujud dari kekerasan ujaran, yang batasnya dengan kekerasan fisis (dan nantinya pembunuhan terhadap sesama manusia) adalah begitu tipisnya. Negara pun seperti membiarkannya, maka kenekatan orang untuk melontarkan kekerasan verbal bisa jadi merupakan kebanggaan, dan diartikan atau disamakan dengan keberanian. Pada konteks demikian, melakukan kekerasan verbal seperti begitu membanggakan dan menandai eksistensi pemberani.

Kebencian, setidaknya dalam perspektif psikoanalisis kontemporer (ini sudah jauh melampaui Freud), bukanlah sesuatu yang asli melekat pada keberadaan kita. Aslinya, kita bukan pembenci. Yang lebih asli menandai keberadaan kita adalah rasa takut, sedih, dan marah. Maka pemberadaban niscaya mencakup pemberdayaan bangsa kita untuk mampu mengelola (mengalami dan menindak-lanjuti) perasaan-perasaan primer itu dengan alamiah, bebas (dari penindasan dan kekerasan), baik, dan efektif – tanpa penyangkalan. Dengan demikian, afek-afek asli itu tidak bertransformasi secara nirsadar menjadi kebencian, ansietas, kerendah-dirian, maupun keputus-asaan, yang semuanya menyakitkan, buruk, problematis, psikopatologis. Rasa-rasanya pemberadaban itu sampai kini pun masih niscaya terus berlangsung.

Tentu kita ingin mengatasi keterbengkalaian. Kita perlu mengakui penindasan dan kekerasan yang telah terjadi di masa lampau, dengan jelas, terang, terperinci, lengkap, tanpa penyangkalan, justru demi menghalau penghalang bagi kita untuk dapat secara alamiah, merdeka, baik, dan efektif belajar mengalami dan menindak-lanjuti amarah, ketakutan, dan kesedihan primer sampai rampung, buat mewujudkan kehidupan yang lebih baik.

Para korban Tragedi 1965 yang sintas perlu diberi ruang untuk mengungkap perasaan dan cita-cita baik mereka, dan bangsa serta negara perlu mendengarkan dengan saksama. Penindasan dan kekerasan terhadap mereka, yang berupa diskriminasi dan stigmatisasi, niscaya diakhiri.  Kita pun memerlukan pemimpin, elite, dan negara yang tidak membiarkan penindasan dan kekerasan berlangsung. Justru mereka niscaya menyatakan bahwa setiap penindasan atau kekerasan, yang mana pun dan yang kapan pun terjadinya, adalah salah, dan tidak boleh diulang. Tanpa pernyataan verbal dan perbuatan aktual tentang hal-hal itu, tersebarlah pesan bahwa penindasan dan kekerasan adalah boleh, dan bisa-bisa saja diulang, kapan saja.

Kita juga membutuhkan pemimpin dan elite yang hidup sebagai teladan nyata yang nir-kekerasan, nir-penindasan, membela warga yang menjadi korban kekerasan atau korban penindasan yang mana pun dan yang kapan pun terjadinya;jujur dalam maknanya yang hakiki, yaitu berucap dan berbuat hanya sungguh berdasarkan fakta, mengelola artikulasi kepentingan dengan segala perasaan yang termaktub di dalamnya dengan baik dan adil.

Dan kita pun mulai menyaksikan betapa kejujuran begitu berimpit dengan hidup yang nir-kekerasan dan nir-penindasan. Kita memang sudah mengalami banyak perbaikan, kemajuan, pemercanggihan, dalam berbagai hal. Maka tiada alasan untuk pesimis. Tetapi, kita yang masih perlu terus mengalami pemberadaban itu, jelas sekali punya prioritas untuk memiliki pemimpin dan elite yang jujur, karena dari merekalah kita bisa sungguh terbantu untuk menjadi kian beradab.

Dan, sebetulnya sederhana juga, pemimpin dan elite yang jujur hanyalah mereka yang menafsirkan sejarah hanya berdasarkan fakta, yang berkata dan berbuat sungguh berdasarkan fakta, tidak lebih dari itu.

 *Penulis adalah Psikiater dan ahli Psikoanalisis
 **Tulisan ini berjudul asli “Pemberadaban itu Masih Berlangsung: Sebuah Catatan Psikoanalitis” disampaikan oleh penulis dalam Simposium Nasional, “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”, di Jakarta, 18-19 April 2016.
 
http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/3320-pembunuhan-massal-1965-sebuah-catatan-psikoanalitis.html

0 komentar:

Posting Komentar