Rappler.com | 11:34 AM, May 05, 2016
"Pelaksanaan yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi kedailan dan kemanusiaan hanyalah pemanis belaka," demikian tulis mereka di siaran pers, yang Rappler terima Kamis pagi, 5 Mei.
Mereka menduga pelaksanaan ALF bertujuan mendukung penyebaran paham komunis dan mempromosikan isu Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ).
Tujuan tersebut terlihat dari agenda acara yang memang memuat diskusi dengan topik seperti yang disebutkan. Untuk itu, massa berencana untuk menyampaikan aksi unjuk rasa penghentian kegiatan.
Adapun tiga tuntutan mereka adalah:
- Stop menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berbau penyebaran paham/ajaran komunisme, termasuk penyelenggaraan ALF. Menurut mereka, hal ini tidak dibenarkan di Indonesia.
- Serukan persatuan bagi masyarakat Papua dalam bingkai NKRI. Tolak segala bentuk separatisme.
- Berhenti menyebarkan paham-paham pembenaran terhadap LGBT karena tidak sesuai dengan fitrah manusia dan budaya Indonesia.
Sementara itu, novelis sekaligus salah satu pengisi acara, Leila S. Chudori, mengatakan ada paksaan dari aparat untuk membatalkan acara diskusi.
"Sampai hari ini polisi memaksa panitia untuk membatalkan acara-acara diskusi sastra 1965 dan acara diskusi sastra LGBT dibatalkan," kata dia melalui pernyataan tertulis.
Panitia ALF masih bertahan untuk menyelenggarakan kegiatan yang digelar dari Kamis, 5 Mei, hingga Minggu, 8 Mei, ini. Beberapa pemberi materi sudah hadir di Jakarta, termasuk pemberi opening speech Jose Ramos-Harto, seorang penerima Nobel Perdamaian.
Keputusan berada di pihak Taman Ismail Marzuki (TIM) selaku pemilik tempat. Namun, Leila tak terlalu optimistis lantaran pihak ini cenderung tunduk pada polisi.
Acara yang berbau komunis dan LGBT
Pantauan Rappler, acara diskusi yang menyinggung kedua topik ini berjumlah sedikit. Dalam sehari, bisa hanya ada satu, atau bahkan tak ada sama sekali.
Pertama-tama, pada Jumat, 6 Mei, ada diskusi oleh kelompok Ingat '65 dengan tema "Remembering 1965 through digital storytelling."
Lalu pada Sabtu, 7 Mei, ada diskusi "On LGBT, Sexuality, Freedom of Expression." Juga diskusi panel "Refugee and exile stories" serta "Papua and Timor Leste Stories."
Pada sorenya ada peluncuran buku tentang korban peristiwa 1965; juga pertunjukan monolog "Nyanyi Sunyi Kembang Genjer-Genjer."
Sisanya, lebih banyak workshop tentang terjemahan sastra, maupun perkembangan dunia literatur di seluruh kawasan ASEAN. —Rappler.com
0 komentar:
Posting Komentar