Selasa, 17 Mei 2016 | 07:17 WIB
Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Wisma Atlet Hambalang pada Jumat
18 Maret 2016. Jokowi meninjau beberapa gedung yang pembangunannya
mangkrak. Salah satunya gedung Sport Science.
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi memandang perbedaan sikap Presiden Joko Widodo
dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu terkait pembongkaran kuburan
massal menunjukkan bahwa pemerintah belum satu suara dalam memandang
persoalan peristiwa 1965.
Dia menilai Ryamizard melihat upaya pengungkapan kebenaran dan hak pemulihan bagi korban 1966 sebagai ancaman bagi ketahanan negara.
"Karena itu, tindakan represif penanganan 'kebangkitan PKI' yang jadi pilihan kebijakannya," ujar Hendardi saat dihubungi Kompas.com, Senin (16/5/2016).
Sedangkan, lanjut Hendardi, Presiden Jokowi lebih melihat dimensi kemanusiaan ketika memerintahkan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan untuk memverifikasi data kuburan massal korban 1965.
Oleh karena itu, Hendardi meminta Presiden Jokowi tetap menjadi pemegang komando dalam upaya penyelesaian kasus Peristiwa 1965.
Untuk membantu pemerintah menjalankan kewajiban pengungkapan kebenaran, Presiden Jokowi bisa membentuk Komisi Kepresidenan yang langsung berada di bawah kendalinya.
"Saya kira Jokowi perlu memimpin upaya-upaya ini sehingga tidak berbelok. Jokowi bisa membentuk Komisi Kepresidenan yang langsung di bawah kendalinya. Inilah yang dijanjikan Jokowi dalam Nawacita," ungkap Hendardi.
Penolakan Menhan
Sebelumnya diberitakan Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu tak menyetujui rencana pembongkaran kuburan massal korban peristiwa 1965. Ia mengkhawatirkan, jika dilakukan, hal tersebut justru menimbulkan konflik baru.
"Justru itu. Bongkar-bongkar kuburan kalau semuanya marah? Berkelahi semua," ujar Ryamizard di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Jumat (13/5/2016).
Ia mengingatkan agar semua pihak tidak memprovokasi dan mengundang terciptanya pertumpahan darah. Pembongkaran kuburan massal itu dianggap Ryamizard bukannya membangun negara, justru merusak negara.
"Saya sebagai Menhan tentunya menginginkan negara ini tidak ada ribut-ribut, damai," tutur Ryamizard.
"Kalau Menhan mengajak ribut-ribut, berarti Menhan enggak benar itu," kata mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu.
Sementara, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965.
Kuburan massal itu, kata Luhut, untuk pembuktian sekaligus meluruskan sejarah terkait isu pembantaian pengikut PKI setelah tahun 1965 silam.
"Presiden tadi memberi tahu, disuruh cari saja kalau ada kuburan massalnya," ujar Luhut seusai bertemu Presiden di Istana, Jakarta, Senin (25/4/2016).
"Sebab, selama ini berpuluh-puluh tahun kita selalu dicekoki bahwa ada sekian ratus ribu orang yang mati. Padahal, sampai hari ini belum pernah kita temukan satu kuburan massal," kata dia.
Dia menilai Ryamizard melihat upaya pengungkapan kebenaran dan hak pemulihan bagi korban 1966 sebagai ancaman bagi ketahanan negara.
"Karena itu, tindakan represif penanganan 'kebangkitan PKI' yang jadi pilihan kebijakannya," ujar Hendardi saat dihubungi Kompas.com, Senin (16/5/2016).
Sedangkan, lanjut Hendardi, Presiden Jokowi lebih melihat dimensi kemanusiaan ketika memerintahkan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan untuk memverifikasi data kuburan massal korban 1965.
Oleh karena itu, Hendardi meminta Presiden Jokowi tetap menjadi pemegang komando dalam upaya penyelesaian kasus Peristiwa 1965.
Untuk membantu pemerintah menjalankan kewajiban pengungkapan kebenaran, Presiden Jokowi bisa membentuk Komisi Kepresidenan yang langsung berada di bawah kendalinya.
"Saya kira Jokowi perlu memimpin upaya-upaya ini sehingga tidak berbelok. Jokowi bisa membentuk Komisi Kepresidenan yang langsung di bawah kendalinya. Inilah yang dijanjikan Jokowi dalam Nawacita," ungkap Hendardi.
Penolakan Menhan
Sebelumnya diberitakan Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu tak menyetujui rencana pembongkaran kuburan massal korban peristiwa 1965. Ia mengkhawatirkan, jika dilakukan, hal tersebut justru menimbulkan konflik baru.
"Justru itu. Bongkar-bongkar kuburan kalau semuanya marah? Berkelahi semua," ujar Ryamizard di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Jumat (13/5/2016).
Ia mengingatkan agar semua pihak tidak memprovokasi dan mengundang terciptanya pertumpahan darah. Pembongkaran kuburan massal itu dianggap Ryamizard bukannya membangun negara, justru merusak negara.
"Saya sebagai Menhan tentunya menginginkan negara ini tidak ada ribut-ribut, damai," tutur Ryamizard.
"Kalau Menhan mengajak ribut-ribut, berarti Menhan enggak benar itu," kata mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu.
Sementara, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965.
Kuburan massal itu, kata Luhut, untuk pembuktian sekaligus meluruskan sejarah terkait isu pembantaian pengikut PKI setelah tahun 1965 silam.
"Presiden tadi memberi tahu, disuruh cari saja kalau ada kuburan massalnya," ujar Luhut seusai bertemu Presiden di Istana, Jakarta, Senin (25/4/2016).
"Sebab, selama ini berpuluh-puluh tahun kita selalu dicekoki bahwa ada sekian ratus ribu orang yang mati. Padahal, sampai hari ini belum pernah kita temukan satu kuburan massal," kata dia.
Penulis | : Kristian Erdianto |
Editor | : Sabrina Asril |
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/17/07170001/Pemerintah.Belum.Satu.Suara.Soal.Peristiwa.1965.Presiden.Diminta.Pegang.Komando.Pengungkapan.Kebenaran?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
0 komentar:
Posting Komentar