Fariz Fardianto & Mawa Kresna | 5:59 PM, May 17, 2016
Isu kebangkitan komunis merupakan modus lama dari rezim Orde Baru untuk meneror warga
SEMARANG/YOGYAKARTA, Indonesia – Protes terhadap razia buku
yang dianggap mempromosikan komunisme, marxisme, dan leninisme dan
atribut Partai Komunis Indonesia mulai bermunculan di tanah air.
Puluhan aktivis Aliansi
Masyarakat Semarang Sayang Pancasila menggelar unjuk rasa di depan
Markas Polda di Semarang, Jawa Tengah pada Selasa, 17 Mei, menuntut TNI/Polri menghentikan penertiban buku-buku dan simbol yang dianggap berbau Partai Komunis Indonesia (PKI).
Aksi unjuk rasa itu sempat mendapat perlawanan dari
polisi yang melarang pendemo menggelar aksi di depan Mapolda. Pendemo
mengalah dan menggeser lokasi aksi mereka ke seberang Jalan Pahlawan
yang berjarak 500 meter dari Mapolda.
Aliansi Masyarakat Semarang merupakan gabungan dari
LBH Semarang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), PBHI, Rumah Buku
Simpul, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Satjipto Raharjo
Institute, Komunitas Payung, aktivis literasi, pegiat anti korupsi
KP2KKN LRC-KJHAM hingga BEM Undip.
"Hal-hal tersebut (penertiban buku dan atribut palu arit) sebenarnya merupakan isu untuk mengaburkan hasil simposium nasional tragedi 1965 di Jakarta yang menginginkan upaya rekonsiliasi antara keluarga penyintas, korban, dan pelaku dalam peristiwa tersebut," kata Abdul Ghofur.
Ia meminta negara mengakui keterlibatan dalam tragedi
berdarah yang merenggut nyawa puluhan ribu, dan mungkin juga jutaan,
pada 1965 silam. "Soal hasil simposium yang menyebut negara terlibat
dalam peristiwa itu harus dituntaskan," kata Abdul Ghofur.
Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah Semarang Yunantyo Adi
berpendapat apa yang telah dilakukan aparat penegak hukum dengan
meniupkan isu kebangkitan komunis merupakan modus lama dari rezim Orde
Baru untuk meneror warga.
"Termasuk saat rapat-rapat RT tersiar kabar bahwa basis PKI
baru ada di Tugu. Padahal itu hoax. Itu yang bermain tangan-tangan dari
Jakarta yang akhirnya memprovokasi Kesbangpolinmas, intelkam hingga
petugas kecamatan," katanya.
"Jadi, si pengacau ini kepentingannya tidak mencari salah
dan benarnya tapi membuat masyarakat bingung sehingga menimbulkan saling
curiga dan mengganggu ketentraman warga," sambungnya.
Soal pemakaian baju maupun penjualan atribut palu arit, ia
menganggap hal itu hanya sebatas barang seni atau koleksi yang didapat
dari kolega negara lain. "Makanya itu tidak ada ideologinya," bebernya.
Ia melihat upaya yang paling berbahaya saat ini yakni ada
tangan-tangan jahil sengaja memanas-manasi aparat di tiap daerah dengan
menyebarkan atribut palu arit. Itu sengaja dibuat aparat untuk
mengacaukan keamanan di daerah terutama Semarang.
"Ini bentuk teror kepada Presiden Jokowi yang menyetujui
simposium dimana isinya ada proses rehabilitasi terhadap korban,
penyintas dan pelaku 65 serta menginventarisir kuburan massal. Yang
melakukan aparat negara yang menolak simposium lalu memprovokasi
publik," terangnya.
Maklumat buku dari Yogyakarta
Sementara itu, Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY)
mengeluarkan maklumat buku sebagai perlawanan terhadap pemberangusan
buku di berbagai kota di Indonesia belakangan ini. Maklumat itu dibaca
secara bersama-sama di kantor LBH Yogyakarta pada Selasa, 17 Mei.
Hadir dalam deklasi maklumat tersebut adalah perwakilan dari sejumlah penerbit buku di Yogyakarta dan sejumlah tokoh perbukuan.
Pegiat Radio Buku Faiz Ashole mengatakan maklumat
tersebut sebagai respon atas teror oleh aparat dan ormas yang sudah
berjalan selama ini.
Di Yogyakarta sendiri, sudah ada dua penerbit dan
satu toko buku yang disambangi aparat kepolisian dan TNI, yakni penerbit
Narasi, Resist, dan Toko Budi.
"Apa yang terjadi di Narasi, Resist dan Toko Budi
adalah bentuk teror. Mereka didatangi, kemudian ditanya-tanyai seperti
intimidasi. Ini yang kami respon," kata Faiz pada Rappler usai pembacaan
maklumat.
Aparat intel kepolisian dan babinsa telah mendatangi Penerbit Narasi, Resist, dan Toko Buku Budi masing-masing tiga kali untuk mencari buku 'kiri' dan/atau mengecek kalau mereka menerbitkan 'buku' kiri.
"Apa yang dilakukan ini aneh dan kami anggap sebagai teror," kata Faiz.
7 maklumat buku dari Yogyakarta
Maklumat buku mengandung tujuh poin:
1. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat di hadapan orang banyak lewat berbagai media,
termasuk penerbitan buku merupakan amanat reformasi dan konstitusi yang harus dijaga dan dirawat bersama dalam kerangka kebhinnekaan sebagai bangsa.
2. Setiap
perselisihan pendapat atas pikiran yang berbeda hendaknya diselesaikan
dengan jalan dialog dan/atau mimbar-mimbar perdebatan untuk memperkaya
khasanah pengetahuan dan keilmuan.
3. Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan
produk-produk akal budi seyogyanya dilakukan pihak-pihak yang
berwewenang atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum
perundangan yang berlaku dengan mengedepankan aspek penghormatan pada
hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan.
4. Mendesak lembaga Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk membuka secara bebas
arsip-arsip negara yang terkait dengan tragedi 1965 dan pelanggaran HAM
berat lainnya sebagai bagian dari upaya kita belajar dan memperkaya
khasanah pengetahuan kesejarahan.
5. Mendorong pemerintah, baik pusat dan daerah,
menciptakan iklim perbukuan yang sehat, kompetitif, dan memberi
perlindungan pada kerja penerbitan, diskusi buku, dan gerakan literasi
yang inovatif sebagaimana diamanatkan preambule UUD 1945, yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa.
6. Asas, kerja umum, dan kegiatan harian ekosistem
perbukuan membutuhkan aturan main yang jelas dan mengikat semua
ekosistem yang bernaung di dalamnya. Oleh karena itu, mendesak
Pemerintah dan DPR RI untuk menggodok dan segera mengesahkan UU Sistem
Perbukuan Nasional yang demokratis.
7. Mendesak Ikatan
Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagai salah satu dari asosiasi penerbit
buku yang menjadi mitra pemerintah dan sudah berpengalaman dalam sejarah
panjang perbukuan nasional senantiasa mengambil peran yang signifikan
dan aktif-responsif untuk membangun komunikasi yang sehat dengan
elemen-elemen masyarakat yang plural.
Penyitaan buku tak ada dasar hukum
Sementara itu, Direktur
LBH Yogyakarta Hamzal Wahyudin menegaskan teror dan intimidasi terhadap
penerbit dan toko buku tidak memiliki dasar hukum setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 4, 1963 pada 2010.
LBH Yogyakarta berkomitmen
untuk mendukung MLY dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk
pelarangan buku. LBH Yogya juga siap mendampingi jika ada kasus yang
terjadi di Yogyakarta.
"Kita berkomitmen untuk mendukung gerakan ini, buku tidak bisa dilarang, disita atau diberangus," katanya. – Rappler.com
0 komentar:
Posting Komentar