Oleh: Arlian Buana - 28 Juni
2016
Komandan kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima
judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal, di Kodim
0712 Tegal, Jawa Tengah, Tabu (11/5). Kodim 0712 Tegal mengamankan sebanyak 90
buku PKI dari stand buku pada pameran di salah satu mal, karena dinilai
melanggar hukum di Indonesia. antara foto/oky lukmansyah/ama/16
Isu kiri ini berlalu lagi untuk kemudian suatu hari nanti
dibangkitkan lagi dan hilang lagi dan muncul lagi dan terbang lagi tanpa
penyelesaian berarti. Tanpa penyembuhan luka-luka sejarah. Tanpa pemahaman yang
utuh mengenai segala yang kiri. tirto.id - Adlun Fiqri harus berurusan dengan
polisi lagi.
Belum sampai setahun setelah ia bikin gara-gara pertama
dengan korps berbaju cokelat muda itu, kali ini mereka dengan senang hati
mencocoknya dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme. Adlun menghadapinya
dengan santai, ia menikmati bermain-main dengan aparat negara. Di profil
Facebook, ia mencantumkan "Mantan Tahanan" di "Kepolisian
Republik Indonesia" sebagai profesi di kolom pekerjaan.
Pada 10 Mei 2016 malam, seperti biasa Adlun menghabiskan
waktu di Sekretariat AMAN Maluku Utara. Dua orang bertubuh tegap masuk tanpa
mengetuk pintu. Adlun saat itu sedang berselancar di depan laptopnya di kamar
paling belakang.
"Kamu Adlun? Ikut kami," kata salah satu dari
mereka.
"Ada apa ini?" tanya Adlun.
"Pokoknya ikut kami," kata orang itu.
Dengan sepeda motor Adlun dibawa ke kantor Kodim. Di sana
ia ditanyai tentang kaos yang sehari sebelumnya ia pamerkan di Instagram dan
Facebook. Kaos itu bergambar palu-arit yang tercelup di cangkir kopi dan
bertuliskan “Pecinta Kopi Indonesia”.
Tahulah Adlun bahwa ia dicokok karena ribut-ribut kiri.
Adlun bilang, kaosnya ada di kamar kontrakannya. Mereka meminta Adlun untuk
kembali ke sana bersama mereka dan mengambil barang yang dimaksud. Adlun patuh.
Bukan satu kaos yang dianggap bermasalah itu saja yang diamankan. Beberapa
helai kaos yang dianggap "membahayakan kedaulatan NKRI" juga disita,
berikut beberapa judul buku koleksi Adlun.
Penangkapan Adlun adalah satu dari sekian banyak aksi
yang diterjemahkan dari perintah Presiden Joko Widodo untuk menertibkan segala
yang berbau komunis.
Menurut laporan majalah Tempo, instruksi untuk menindak
“sesuai aturan hukum” semua yang dianggap berbau PKI itu bermula pada rapat
terbatas presiden bersama Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung M
Prasetyo, Kepala BIN Sutiyoso, dan KASAD Jenderal Mulyono.
Setelah pertemuan itu, pada Senin, 9 Mei 2015, Jenderal
Badrodin segera menggelar jumpa pers.
“Sekarang kalau kamu lihat lambang palu-arit, apa
pandanganmu?” kata Badrodin kepada wartawan.
Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan arahan presiden
untuk menangani masalah peredaran atribut-atribut kiri yang merebak di
masyarakat. Ini diduga sebagai ancaman yang dapat melahirkan kembali komunisme
dan Partai Komunis Indonesia.
“Tadi presiden katakan, gunakan pendekatan hukum,” kata
Badrodin.
Dasar hukum yang dipakai antara lain TAP MPRS No XXV
tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme
dan Leninisme; dan UU 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
“Makanya jangan main-main. (Ini masalah) Serius. Baca
saja UU itu,” katanya.
Menyusul kemudian razia atribut PKI oleh aparat
kepolisian dan tentara di berbagai daerah. Aparat bergerak memburu pemakai atribut kiri di berbagai
tempat umum.
Di Gunung Kidul, Yogyakarta. Kodim 0730 menggeledah
beberapa perusahaan sablon rumahan. Kodim 733/BS Semarang merazia toko barang
antik di Pasar Klitikhan, mereka menyita satu topi dan dua set pin berlambang
bintang kuning berlatar merah yang dianggap kekomunis-komunisan.
Di Blok M, Jakarta, Di Grobogan, Jawa Tengah, polisi
menyita buku-buku tentang sejarah dan tokoh-tokoh PKI dari berbagai toko buku.
Penyitaan buku berlanjut di Kediri dan Tegal dan Cirebon. Di Gresik, sebuah
bazar buku dilarang oleh pemerintah kota. Di Bandung, para penjual buku diinterogasi.
Di Yogyakarta, dua penerbit dan satu toko buku didatangi
petugas. Selasa, 10 Mei 2016, sekitar pukul 10.00, tiga orang berpakaian
berbadan tegap mendatangi Toko Buku Budi di kawasan Caturtunggal. Mereka
bertanya-tanya tentang buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula
terbitan Ultimus. Olihin, penjaga Toko Budi menjawab tidak ada. Sorenya
harinya, tiga orang berbeda, dan keesokan harinya lima orang lain lagi, datang
dengan pertanyaan yang sama.
“Orangnya beda-beda, tapi mobil yang dipakai sama,” kata
Olihin.
Di hari yang sama, sekitar pukul 12:00, dua orang yang
mengaku dari intel Polda Yogyakarta mendatangi Penerbit Narasi. Hasnul Arifin,
pemimpin redaksi penerbit Narasi menerima keduanya. Mereka memberitahukan bahwa
hari itu ada aksi dari sekelompok massa di kantor Polda DIY yang mengancam akan
merazia buku-buku Kiri.
Demi menghindari aksi ricuh bila massa menuju alamat
penerbit, kedua polisi itu menyampaikan niat baik mereka untuk mengamankan.
Kedua intel itu tak lupa bertanya seputar buku-buku yang diterbitkan Narasi,
termasuk buku Peristiwa 1 Oktober 1965: kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H.
Nasution (2012) dan Komunisme ala Aidit: Kisah Partai Komunis Indonesia di
Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965.
Khusus dua buku
itu, keduanya menuntut penjelasan kepada Hasnul. Dengan tenang Hasnul
mengatakan bahwa dua buku itu adalah buku sejarah. Sebelum pulang, mereka
meminta sampel dua judul buku , masing-masing satu eksemplar.
“Untuk dipelajari oleh atasan,” kata Hasnul menirukan
permintaan mereka. Selepas kepergian dua petugas, Hasnul segera meminta
bawahannya untuk mengecek demonstrasi di depan Polda DIY. Jarak antara kantor
Narasi dan Polda DIY hanya 7 menit dengan kendaraan bermotor. Tapi tidak ada
tanda-tanda atau bekas-bekas aksi massa hari itu.
Rabu, 11 Mei 2016, sekitar pukul 09:30, dua orang yang
mengaku dari Polsek Sleman datang ke penerbit Narasi membawa motif yang sama
dengan dua petugas sebelumnya. Mereka langsung bertanya soal buku Komunisme ala
Aidit. Aksi aparat ini memicu protes berbagai kelompok masyarakat sipil.
Terutama kecurigaan dan penyitaan terhadap buku-buku, ini dianggap sebagai
kemunduran besar. Pemberangusan pengetahuan hanya akan melahirkan kebodohan
satu ke kebodohan lainnya.
“Buku kiri diterbitkan untuk dibaca luas dan dipelajari,
untuk memajukan peradaban manusia, bukan untuk dilarang negara,” kata Bilven
Sandalista.
Pada 17 Mei 2016, bertepatan dengan peringatan Hari Buku
Nasional, Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY) yang terdiri dari insan-insan
perbukuan Yogyakarta menyampaikan 7 maklumat:
SATU. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat di hadapan orang banyak lewat berbagai media, termasuk persamuan
seni-budaya dan penerbitan buku, adalah amanat Reformasi dan Konstitusi yang
mesti dijaga dan dirawat bersama dalam kerangka kebhinnekaan sebagai bangsa.
DUA. Setiap perselisihan pendapat atas pikiran yang
berbeda hendaknya diselesaikan dengan jalan dialog dan/atau mimbar-mimbar
perdebatan untuk memperkaya khasanah pengetahuan dan keilmuan.
TIGA. Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan
produk-produk akal budi seyogyanya dilakukan pihak-pihak yang berwewenang atas
seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum perundangan yang berlaku dengan
mengedepankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan
keadilan.
Prosedur hukum yang dimaksud salah satunya seperti
termaktub dalam Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelarangan Buku
Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
EMPAT. Mendesak kepada lembaga Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI) untuk membuka secara bebas arsip-arsip negara yang terkait
dengan tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari upaya
kita belajar dan memperkaya khasanah pengetahuan kesejarahan.
LIMA. Mendorong pemerintah, baik pusat dan daerah,
menciptakan iklim perbukuan yang sehat, kompetitif, dan memberi perlindungan
pada kerja penerbitan, diskusi buku, dan gerakan literasi yang inovatif
sebagaimana diamanatkan preambule UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa.
ENAM. Asas, kerja umum, dan kegiatan harian ekosistem
perbukuan membutuhkan aturan main yang jelas dan mengikat semua ekosistem yang
bernaung di dalamnya. Oleh karena itu, mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk
menggodok dan segera mengesahkan UU Sistem Perbukuan Nasional yang demokratis.
TUJUH. Mendesak Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagai
salah satu dari asosiasi penerbit buku yang menjadi mitra pemerintah dan sudah
berpengalaman dalam sejarah panjang perbukuan nasional senantiasa mengambil
peran yang signifikan dan aktif-responsif untuk membangun komunikasi yang sehat
dengan elemen-elemen masyarakat yang plural. Sekretaris MLY Muhidin M Dahlan
menilai, sweeping terhadap yang kiri-kirian ini soal laten. Reguler, tiap tahun
mesti saja ada. Entah sampai kapan terus dipelihara, dan tahun ini diperparah
lagi dengan keterlibatan perangkat negara.
“Dua unsur masyarakat yang selalu senewen sama komunis:
di sudut agama ada masyumi dan kelompok yang memiliki ikatan batiniah
dengannya. Wah, Masyumi dan PKI ini dulu tiada hari tanpa berantem di koran.
Nyaris tiap hari PKI memaki-maki Masyumi. Dendam, tho? Nah, unsur kedua tentu
saja Angkatan Darat dan laskar-laskar pemuda yang deket dengan AD di mana
Soeharto dianggap sebagai The Godfather,” kata Muhidin.
“Dua unsur itu, Ya Tuhan, sengitnya abadi, Bung!”
Kedua
kelompok antikomunis itu, menurut Muhidin, hingga saat ini masih belum bisa
membuka mata mereka mengenai upaya pelurusan sejarah peristiwa 1965, usaha
rekonsiliasi nasional, dan Marxisme sebagai ilmu. Bahkan hingga di era ketika
informasi sudah demikian terbuka ini, mereka masih termakan mentah-mentah
propaganda orde baru bahwa semua yang kiri itu busuk dan harus dibuang
jauh-jauh.
Di media sosial, razia sambung-menyambung yang dilakukan
oleh aparat ini mendapat perhatian cukup luas oleh netizen. Mereka menjadikan
aksi aparat yang main berangus itu sebagai olok-olok dengan macam-macam meme,
dan banyak yang mengomentari rezim Jokowi sebagai orde baru gaya baru.
Mendapati reaksi netizen yang terpantau melalui iPad-nya, Presiden Jokowi tidak
bisa tidak resah. Komentar yang menyebut bahwa pemerintahannya represif seperti
orde baru sangat mengganggu perasaan presiden.
“Ada sebagian aparat yang dianggap kebablasan dalam
menerjemahkan perintah Presiden,” kata juru bicara presiden Johan Budi. Kamis,
18 Mei 2016, presiden Jokowi memangil beberapa orang kepercayaannya untuk
diajak bicara tentang perkembangan terakhir dan langkah yang harus diambil.
Setelah mendengar masukan dari orang-orang dekatnya itu,
Jokowi segera menghubungi Kapolri Badrodin Haiti dan Panglima TNI Gatot
Nurmantyo. Beliau meminta tindakan berlebihan yang dilakukan aparat agar segera
dihentikan.
“Presiden meminta aparat menghormati kebebasan
berpendapat,” kata Johan. “Kami kira Panglima TNI dan Kapolri bisa
menerjemahkan itu dengan baik.”
Maka demikianlah, isu kiri ini berlalu lagi untuk
kemudian suatu hari nanti dibangkitkan lagi dan hilang lagi dan muncul lagi dan
terbang lagi tanpa penyelesaian berarti. Tanpa penyembuhan luka-luka sejarah.
Tanpa pemahaman yang utuh mengenai segala yang kiri. Musim paranoia itu belum
berlalu.
Indonesia belum sepenuhnya bebas dari stigma dan
prasangka khas orde baru. Pelarangan acara-acara berbau kiri dan pemberangusan
buku-buku kiri kemungkinan masih akan berulang lagi di waktu mendatang.
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah
Pramisti
Presiden Jokowi minta ada
pendekatan hukum untuk peredaran hal-hal yang berbau kiri.