Hendi Jo
PAGI baru saja menyeruak di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut,
Jawa Barat. Hawa sejuknya bersanding dengan kehangatan cahaya matahari
yang menyentuh bentangan rerumputan dan pohon-pohon hijau. Di sebuah
sudut, seorang perempuan muda berwajah oriental terpaku di hadapan makam
bernisan kelabu yang bertuliskan: Komaruddin/Yang Chil Sung.
“Tadinya saya tak percaya ada orang Korea yang ikut berjuang demi kemerdekaan Indonesia, tapi inilah buktinya,” ujar Chae-eui Hong, perempuan muda tersebut, seorang jurnalis Korea Selatan. Baginya, sulit membayangkan seseorang rela mati ribuan kilometer dari kampung halamannya demi kemerdekaan bangsa lain.
“Dia pasti punya alasan yang sangat istimewa,” ujarnya.
Datang Sebagai Tentara Jepang
Alkisah, kala Semenanjung Korea dijajah Jepang (1910-1945), banyak pemuda Korea direkrut militer Jepang. Upaya itu kian gencar dilakukan saat Negeri Matahari Terbit menjalankan ekspansi militer ke kawasan Asia Tenggara awal 1942.
Menurut Rostineu, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), ada dua tenaga tempur bangsa Korea yang dimanfaatkan Jepang saat itu: gunsok (tentara pembantu) dan ilbon gunnin (tentara reguler Jepang).
“Sejak Mei 1942 Jepang memobilisasi 3.223 gunsok ke wilayah Asia Tenggara. Mereka ditugaskan sebagai phorokamsiwon (penjaga tawanan perang),” ujar Rostineu mengutip pernyataan Utsumi Aiko dalam buku Aka michi shita no choosonin banran (Pemberontakan Rakyat Joseon di Bawah Garis Khatulistiwa).
Yang Chil Sung, lelaki kelahiran Wanjoo, provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan, pada 29 Mei 1919, datang ke Jawa mengikuti arus pengiriman para phorokamsiwon ini. Namun Rostineu ragu bahwa Chil Sung seorang gunsok atau phorokamsiwon. Indikasinya, tentara jenis ini tidak memiliki kemampuan seperti Chil Sung yang trampil berbahasa dan bagus secara teknis militer (pandai merakit bom dan ahli telik sandi).
“Saya cenderung berpendapat Chil Sung adalah bagian dari ilbon gunnin. Mungkin saja dia ditugaskan membawahi para gunsok tersebut,” ujarnya.
Berbeda dari Rostineu, Korea Broascasting System (KBS) World Radio cenderung berpendapat bahwa Chil Sung merupakan bagian dari phorokamsiwon. Dalam siaran edisi bahasa Indonesia pada 15 Agustus 2015, KBS menyebut, sesampai di Jawa, Yang Chil Sung (saat itu sudah ganti nama berbau Jepang: Yanagawa Sichisci) ditugaskan di sebuah kamp tawanan perang di Bandung. Di sanalah dia bertemu dengan Lience Wenas, perempuan Indonesia, yang tengah menjenguk kakaknya.
Tiap minggu berjumpa kedua insan beda bangsa itu menjalin keakraban dan jatuh cinta. Singkat cerita, “Menikahlah Yang Chil Sung dengan perempuan pribumi itu,” demikian menurut keterangan KBS.
Belum lama Chil Sung-Lience menikah, Jepang takluk kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka. Situasi tersebut membuat masa depan orang-orang Korea yang bekerja untuk militer Jepang, termasuk Chil Sung, suram. Kendati senang terbebas dari kekuasaan Jepang, mereka khawatir akan diperlakukan sebagai penjahat perang oleh Sekutu.
Bergabung dengan Gerilyawan Indonesia
Maret 1946. Bandung dilanda peperangan. Ratusan kelompok pemuda dari penjuru Pasundan berduyun-duyun datang ke sana untuk bertempur melawan Sekutu dan sisa-sisa tentara Jepang. Salah satu kelompok tersebut adalah Pasukan Pangeran Pakpak (PPP) Garut pimpinan Mayor Saoed Moestofa Kosasih.
Nama “Pangeran Papak” mengacu pada seorang bangsawan terakhir dari kerajaan Pajajaran yang dimakamkan dekat markas pasukan tersebut di Wanaraja, Garut. “Bahkan salah seorang keturunan Pangeran Papak, yakni Raden Djajadiwangsa, saat itu berkenan menjadi penasehat sekaligus fasilitator aktivitas sehari-hari PPP seperti penyediaan dapur umum, pengadaan markas, dan lain-lain,” ujar Dadang Koswara (46), salah seorang cucu Raden Djajadiwangsa.
Suatu hari, dalam suatu pertempuran di Bandung, PPP berhasil menawan lima tentara Jepang. Salah satunya Yanagawa alias Yang Chil Sung. Menurut Basroni Kosasih (60), salah seorang putra Mayor Kosasih, mereka semula akan dibunuh para prajurit PPP, namun segera dicegah Mayor Kosasih. “Selain soal kemanusiaan, ayah saya berpendapat orang-orang asing ini suatu hari pasti berguna buat pasukannya,” ujarnya.
Kelima tentara Jepang itu kemudian dibawa ke Wanaraja. Di sana mereka diperlakukan baik-baik. Setelah sekian lama hidup bersama para anggota PPP dan masyarakat Wanaraja, mereka malah balik bersimpati pada perjuangan Indonesia. Hingga suatu hari, mereka datang menghadap Mayor Kosasih dan menyatakan diri ingin masuk Islam.
Mayor Kosasih lantas membawa mereka menemui Raden Djajadiwangsa yang juga seorang ulama sepuh. Maka, di hadapan Raden Djajadiwangsa, mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengikrarkan diri berjuang bersama PPP. Sejak itulah mereka berganti nama: Hasegawa menjadi Abu Bakar, Aoki jadi Usman, sementara Chil Sung jadi Komarrudin.
“Untuk dua lagi saya lupa nama Jepangnya. Tapi kami memanggil mereka sebagai Umar dan Ali,” ujar Raden Ojo Soepardjo Wigena (88), anggota PPP bagian dapur umum yang juga salah seorang rekan seperjuangan Chil Sung di Wanaraja, Garut.
Menurut Wigena, kelima eks tentara Jepang itu memiliki tugas masing-masing. Umar dan Ali menjadi tenaga kesehatan, sedangkan Abu Bakar, Usman dan Komaruddin selain menjadi pelatih militer Pasukan Pangeran Papak juga terlibat aktif dalam berbagai operasi pertempuran.
Buronan Militer Belanda
Sejak bergabungnya eks tentara Jepang, kesatuan PPP seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi militer Belanda. Berbagai operasi penyerangan, sabotase, dan penghadangan di sekitar Wanaraja kerap mereka lakukan secara sporadis dan militan. Korban pun berjatuhan, bukan saja dari kalangan militer namun juga aparat Recomba (Regerings Commissaris Bestuurs Aangelegenheden) –istilah Belanda untuk pemerintahan darurat yang diinisiasi H.J. Van Mook sebagai prakondisi terbentuknya pemerintahan federal di Indonesia.
Namun tak ada aksi PPP yang paling mengesankan selain penghancuran Jembatan Cimanuk, yang menghubungkan Wanaraja-Garut kota. Ceritanya, pada sekitar 1947, telik sandi PPP menyadap informasi bahwa militer Belanda akan menghajar Wanaraja. Maka, Mayor Kosasih memutuskan: Jembatan Cimanuk harus dihancurkan.
Suatu malam bergeraklah satu tim kecil prajurit PPP menuju Jembatan Cimanuk. Sesampai di sana mereka langsung beraksi. Sementara yang lain berjaga-jaga di sekitar wilayah itu, Komaruddin dengan lincah merayap di bawah jembatan. Secara hati-hati, dia memasang bom di sejumlah titik konstruksi jembatan.
Begitu bahan-bahan peledak selesai ditempatkan, dia segera beranjak kembali ke tempat yang aman. Glaarrr! Beberapa saat kemudian ledakan dasyat memecah malam. Jembatan Cimanuk hancur seketika.
“Putusnya Jembatan Cimanuk menggagalkan upaya militer Belanda menguasai Wanaraja,” ujar Dadang Koswara.
Akibat kejadian itu, Belanda semakin berang. Mereka berpikir keberadaan eks tentara Jepang di PPP tak bisa dibiarkan. Maka dibuatlah rencana operasi perburuan dengan melibatkan satu tim elit buru sergap dari Yon 3-14-RI (Regiment Infanterie), sebuah batalion Angkatan Darat Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel P.W.van Duin.
“Yang paling utama satuan ini harus meringkus Abubakar alias Hasegawa, bekas salah satu penjaga kamp tawanan perang di Flores yang terkenal sangat kejam,” demikian keterangan yang dilansir Het Genootschap voor het Nationaal Archief (Arsip Nasional Belanda).
Tertangkap di Gunung Dora
Awal Februari 1948, sesuai kesepakatan Perjanjian Renville, Divisi Siliwangi harus meninggalkan kantong-kantong mereka di seluruh Jawa Barat. Sebagai basis baru mereka ditempatkan di sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun tidak semua personil Divisi Siliwangi berangkat hijrah.
“Sebagai bom waktu, diam-diam kami meninggalkan satuan-satuan kecil untuk bertahan di Jawa Barat,” ujar Kolonel R.H. Eddie Soekardi, sesepuh Divisi Siliwangi, dalam buku Hari Juang Siliwangi.
PPP melakukan taktik tersebut. Menurut Basroni, seluruh personil PPP sempat hijrah ke Yogyakarta namun Mayor Kosasih kemudian mengintruksikan sebagian pasukan pimpinan Letnan Djoehana untuk kembali dan meneruskan perang gerilya di Wanaraja. “Bersama eks tentara-tentara Jepang pimpinan Abubakar dan Komaruddin, Pak Djoehana menuruti instruksi ayah saya dengan terus menyusun perlawanan terhadap Belanda di Garut dan sekitarnya,” ujarnya.
Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa yang disusun Dinas Sejarah Kodam VI Siliwangi disebutkan, sebagian personil PPP ditempatkan di bawah Brigade Tjitaroem pimpinan Letnan Kolonel Soetoko. Selain bertugas mengganggu posisi Belanda di Garut, mereka mengondisikan upaya penyusupan prajurit Divisi Siliwangi dari wilayah Republik ke Garut dan Tasikmalaya. “Merekalah yang harus menyambut dan menyediakan tempat aman untuk pasukan-pasukan yang dirembeskan itu,” tulis Siliwangi dari Masa ke Masa.
Suatu malam pada Agustus 1948, PPP mengadakan pertemuan di Desa Parentas yang merupakan wilayah kaki Gunung Dora (perbatasan Garut-Tasikmalaya). Mereka membahas pengkondisian pasukan penyusup serta taktik melawan pasukan Negara Pasundan dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Trio eks tentara Jepang, Abubakar, Usman dan Komaruddin, turut hadir.
Tanpa sepengetahuan mereka, tim buru sergap Yon 3-14-RI diam-diam mengepung rumah panggung tempat rapat itu. Rupanya telik sandi militer Belanda sudah mengendus keberadaan para gerilyawan. “Ada mata-mata orang Garut asli yang membocorkan tempat pertemuan itu kepada Belanda,” ujar Raden Ojo Soepardjo.
Lewat tengah malam, terdengar tembakan bersahutan. Sadar sudah terkepung, Letnan Djoehana, Usman, Abubakar, dan Komaruddin memutuskan menyerah. Dokumen Arsip Nasional Belanda mengabadikan foto-foto mereka beberapa saat usai ditangkap. Tampak Abubakar, Usman dan Komaruddin dengan tangan dan leher terikat seutas tali tersenyum dalam wajah yang tenang.
“Bersama ditangkapnya Abubakar dan kawan-kawan, disita pula sejumlah dokumen penting dan catatan-catatan hasil rapat yang belum selesai itu,” tulis buku Siliwangi dari Masa ke Masa.
Militer Belanda lantas membuat pengadilan militer kilat. Hasilnya, Komaruddin, Usman, dan Abubakar divonis hukuman mati. Sedangkan Letnan Djoehana dihukum penjara seumur hidup di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta. Menurut Yoyo Dasrio, Letnan Djoehana yang pandai berbahasa Belanda itu sempat melakukan pembelaan diri hingga lolos dari hukuman mati.
“Namun hingga menjelang wafat, Pak Djoehana selalu merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan Usman, Abubakar dan Komaruddin di depan pengadilan, kendati tentu saja itu bukan salahnya,” ujar Yoyo Dasrio, jurnalis yang pernah mewawancarai Letnan Djoehana.
Berpenampilan Merah Putih
Senin, 9 Agustus 1948. Selepas magrib, seorang lebe (penghulu) disertai perwira Belanda menemui Komaruddin, Usman, dan Abubakar di sebuah ruangan dalam Penjara Garut. Kepada sang lebe, ketiganya menyampaikan pesan terakhir agar setelah meninggal, jenazah mereka dimakamkan secara Islam. Permintaan itu langsung diamini.
Menjelang subuh keesokan harinya, dengan memakai kampret (sejenis baju koko) putih dan sarung merah Tjap Padi, ketiga eks tentara Jepang itu diangkut ke Lapangan Kerkhoff yang terletak di seberang Sungai Cimanuk (sekarang, Gedung Gelora). Tepat pukul 06.00, terdengar beberapa kali letusan senjata. Komaruddin dan kedua kawan Jepangnya gugur seketika.
“Menurut seorang saksi yang pernah saya wawancarai, Komaruddin masih sempat meneriakkan kata ‘merdeka’ sebelum peluru menembus kepalanya,” ujar Yoyo.
Jasad Abubakar (Hasegawa), Usman (Aoki) dan Komaruddin (Yang Chil Sung) lantas dikebumikan di Pemakaman Pasirpogor. Duapuluhtujuh tahun kemudian, kerangka mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, tempat yang secara resmi menabalkan mereka sebagai pahlawan kemerdekaan Indonesia.
“Tadinya saya tak percaya ada orang Korea yang ikut berjuang demi kemerdekaan Indonesia, tapi inilah buktinya,” ujar Chae-eui Hong, perempuan muda tersebut, seorang jurnalis Korea Selatan. Baginya, sulit membayangkan seseorang rela mati ribuan kilometer dari kampung halamannya demi kemerdekaan bangsa lain.
“Dia pasti punya alasan yang sangat istimewa,” ujarnya.
Datang Sebagai Tentara Jepang
Alkisah, kala Semenanjung Korea dijajah Jepang (1910-1945), banyak pemuda Korea direkrut militer Jepang. Upaya itu kian gencar dilakukan saat Negeri Matahari Terbit menjalankan ekspansi militer ke kawasan Asia Tenggara awal 1942.
Menurut Rostineu, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), ada dua tenaga tempur bangsa Korea yang dimanfaatkan Jepang saat itu: gunsok (tentara pembantu) dan ilbon gunnin (tentara reguler Jepang).
“Sejak Mei 1942 Jepang memobilisasi 3.223 gunsok ke wilayah Asia Tenggara. Mereka ditugaskan sebagai phorokamsiwon (penjaga tawanan perang),” ujar Rostineu mengutip pernyataan Utsumi Aiko dalam buku Aka michi shita no choosonin banran (Pemberontakan Rakyat Joseon di Bawah Garis Khatulistiwa).
Yang Chil Sung, lelaki kelahiran Wanjoo, provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan, pada 29 Mei 1919, datang ke Jawa mengikuti arus pengiriman para phorokamsiwon ini. Namun Rostineu ragu bahwa Chil Sung seorang gunsok atau phorokamsiwon. Indikasinya, tentara jenis ini tidak memiliki kemampuan seperti Chil Sung yang trampil berbahasa dan bagus secara teknis militer (pandai merakit bom dan ahli telik sandi).
“Saya cenderung berpendapat Chil Sung adalah bagian dari ilbon gunnin. Mungkin saja dia ditugaskan membawahi para gunsok tersebut,” ujarnya.
Berbeda dari Rostineu, Korea Broascasting System (KBS) World Radio cenderung berpendapat bahwa Chil Sung merupakan bagian dari phorokamsiwon. Dalam siaran edisi bahasa Indonesia pada 15 Agustus 2015, KBS menyebut, sesampai di Jawa, Yang Chil Sung (saat itu sudah ganti nama berbau Jepang: Yanagawa Sichisci) ditugaskan di sebuah kamp tawanan perang di Bandung. Di sanalah dia bertemu dengan Lience Wenas, perempuan Indonesia, yang tengah menjenguk kakaknya.
Tiap minggu berjumpa kedua insan beda bangsa itu menjalin keakraban dan jatuh cinta. Singkat cerita, “Menikahlah Yang Chil Sung dengan perempuan pribumi itu,” demikian menurut keterangan KBS.
Belum lama Chil Sung-Lience menikah, Jepang takluk kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka. Situasi tersebut membuat masa depan orang-orang Korea yang bekerja untuk militer Jepang, termasuk Chil Sung, suram. Kendati senang terbebas dari kekuasaan Jepang, mereka khawatir akan diperlakukan sebagai penjahat perang oleh Sekutu.
Bergabung dengan Gerilyawan Indonesia
Maret 1946. Bandung dilanda peperangan. Ratusan kelompok pemuda dari penjuru Pasundan berduyun-duyun datang ke sana untuk bertempur melawan Sekutu dan sisa-sisa tentara Jepang. Salah satu kelompok tersebut adalah Pasukan Pangeran Pakpak (PPP) Garut pimpinan Mayor Saoed Moestofa Kosasih.
Nama “Pangeran Papak” mengacu pada seorang bangsawan terakhir dari kerajaan Pajajaran yang dimakamkan dekat markas pasukan tersebut di Wanaraja, Garut. “Bahkan salah seorang keturunan Pangeran Papak, yakni Raden Djajadiwangsa, saat itu berkenan menjadi penasehat sekaligus fasilitator aktivitas sehari-hari PPP seperti penyediaan dapur umum, pengadaan markas, dan lain-lain,” ujar Dadang Koswara (46), salah seorang cucu Raden Djajadiwangsa.
Suatu hari, dalam suatu pertempuran di Bandung, PPP berhasil menawan lima tentara Jepang. Salah satunya Yanagawa alias Yang Chil Sung. Menurut Basroni Kosasih (60), salah seorang putra Mayor Kosasih, mereka semula akan dibunuh para prajurit PPP, namun segera dicegah Mayor Kosasih. “Selain soal kemanusiaan, ayah saya berpendapat orang-orang asing ini suatu hari pasti berguna buat pasukannya,” ujarnya.
Kelima tentara Jepang itu kemudian dibawa ke Wanaraja. Di sana mereka diperlakukan baik-baik. Setelah sekian lama hidup bersama para anggota PPP dan masyarakat Wanaraja, mereka malah balik bersimpati pada perjuangan Indonesia. Hingga suatu hari, mereka datang menghadap Mayor Kosasih dan menyatakan diri ingin masuk Islam.
Mayor Kosasih lantas membawa mereka menemui Raden Djajadiwangsa yang juga seorang ulama sepuh. Maka, di hadapan Raden Djajadiwangsa, mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengikrarkan diri berjuang bersama PPP. Sejak itulah mereka berganti nama: Hasegawa menjadi Abu Bakar, Aoki jadi Usman, sementara Chil Sung jadi Komarrudin.
“Untuk dua lagi saya lupa nama Jepangnya. Tapi kami memanggil mereka sebagai Umar dan Ali,” ujar Raden Ojo Soepardjo Wigena (88), anggota PPP bagian dapur umum yang juga salah seorang rekan seperjuangan Chil Sung di Wanaraja, Garut.
Menurut Wigena, kelima eks tentara Jepang itu memiliki tugas masing-masing. Umar dan Ali menjadi tenaga kesehatan, sedangkan Abu Bakar, Usman dan Komaruddin selain menjadi pelatih militer Pasukan Pangeran Papak juga terlibat aktif dalam berbagai operasi pertempuran.
Buronan Militer Belanda
Sejak bergabungnya eks tentara Jepang, kesatuan PPP seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi militer Belanda. Berbagai operasi penyerangan, sabotase, dan penghadangan di sekitar Wanaraja kerap mereka lakukan secara sporadis dan militan. Korban pun berjatuhan, bukan saja dari kalangan militer namun juga aparat Recomba (Regerings Commissaris Bestuurs Aangelegenheden) –istilah Belanda untuk pemerintahan darurat yang diinisiasi H.J. Van Mook sebagai prakondisi terbentuknya pemerintahan federal di Indonesia.
Namun tak ada aksi PPP yang paling mengesankan selain penghancuran Jembatan Cimanuk, yang menghubungkan Wanaraja-Garut kota. Ceritanya, pada sekitar 1947, telik sandi PPP menyadap informasi bahwa militer Belanda akan menghajar Wanaraja. Maka, Mayor Kosasih memutuskan: Jembatan Cimanuk harus dihancurkan.
Suatu malam bergeraklah satu tim kecil prajurit PPP menuju Jembatan Cimanuk. Sesampai di sana mereka langsung beraksi. Sementara yang lain berjaga-jaga di sekitar wilayah itu, Komaruddin dengan lincah merayap di bawah jembatan. Secara hati-hati, dia memasang bom di sejumlah titik konstruksi jembatan.
Begitu bahan-bahan peledak selesai ditempatkan, dia segera beranjak kembali ke tempat yang aman. Glaarrr! Beberapa saat kemudian ledakan dasyat memecah malam. Jembatan Cimanuk hancur seketika.
“Putusnya Jembatan Cimanuk menggagalkan upaya militer Belanda menguasai Wanaraja,” ujar Dadang Koswara.
Akibat kejadian itu, Belanda semakin berang. Mereka berpikir keberadaan eks tentara Jepang di PPP tak bisa dibiarkan. Maka dibuatlah rencana operasi perburuan dengan melibatkan satu tim elit buru sergap dari Yon 3-14-RI (Regiment Infanterie), sebuah batalion Angkatan Darat Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel P.W.van Duin.
“Yang paling utama satuan ini harus meringkus Abubakar alias Hasegawa, bekas salah satu penjaga kamp tawanan perang di Flores yang terkenal sangat kejam,” demikian keterangan yang dilansir Het Genootschap voor het Nationaal Archief (Arsip Nasional Belanda).
Tertangkap di Gunung Dora
Awal Februari 1948, sesuai kesepakatan Perjanjian Renville, Divisi Siliwangi harus meninggalkan kantong-kantong mereka di seluruh Jawa Barat. Sebagai basis baru mereka ditempatkan di sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun tidak semua personil Divisi Siliwangi berangkat hijrah.
“Sebagai bom waktu, diam-diam kami meninggalkan satuan-satuan kecil untuk bertahan di Jawa Barat,” ujar Kolonel R.H. Eddie Soekardi, sesepuh Divisi Siliwangi, dalam buku Hari Juang Siliwangi.
PPP melakukan taktik tersebut. Menurut Basroni, seluruh personil PPP sempat hijrah ke Yogyakarta namun Mayor Kosasih kemudian mengintruksikan sebagian pasukan pimpinan Letnan Djoehana untuk kembali dan meneruskan perang gerilya di Wanaraja. “Bersama eks tentara-tentara Jepang pimpinan Abubakar dan Komaruddin, Pak Djoehana menuruti instruksi ayah saya dengan terus menyusun perlawanan terhadap Belanda di Garut dan sekitarnya,” ujarnya.
Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa yang disusun Dinas Sejarah Kodam VI Siliwangi disebutkan, sebagian personil PPP ditempatkan di bawah Brigade Tjitaroem pimpinan Letnan Kolonel Soetoko. Selain bertugas mengganggu posisi Belanda di Garut, mereka mengondisikan upaya penyusupan prajurit Divisi Siliwangi dari wilayah Republik ke Garut dan Tasikmalaya. “Merekalah yang harus menyambut dan menyediakan tempat aman untuk pasukan-pasukan yang dirembeskan itu,” tulis Siliwangi dari Masa ke Masa.
Suatu malam pada Agustus 1948, PPP mengadakan pertemuan di Desa Parentas yang merupakan wilayah kaki Gunung Dora (perbatasan Garut-Tasikmalaya). Mereka membahas pengkondisian pasukan penyusup serta taktik melawan pasukan Negara Pasundan dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Trio eks tentara Jepang, Abubakar, Usman dan Komaruddin, turut hadir.
Tanpa sepengetahuan mereka, tim buru sergap Yon 3-14-RI diam-diam mengepung rumah panggung tempat rapat itu. Rupanya telik sandi militer Belanda sudah mengendus keberadaan para gerilyawan. “Ada mata-mata orang Garut asli yang membocorkan tempat pertemuan itu kepada Belanda,” ujar Raden Ojo Soepardjo.
Lewat tengah malam, terdengar tembakan bersahutan. Sadar sudah terkepung, Letnan Djoehana, Usman, Abubakar, dan Komaruddin memutuskan menyerah. Dokumen Arsip Nasional Belanda mengabadikan foto-foto mereka beberapa saat usai ditangkap. Tampak Abubakar, Usman dan Komaruddin dengan tangan dan leher terikat seutas tali tersenyum dalam wajah yang tenang.
“Bersama ditangkapnya Abubakar dan kawan-kawan, disita pula sejumlah dokumen penting dan catatan-catatan hasil rapat yang belum selesai itu,” tulis buku Siliwangi dari Masa ke Masa.
Militer Belanda lantas membuat pengadilan militer kilat. Hasilnya, Komaruddin, Usman, dan Abubakar divonis hukuman mati. Sedangkan Letnan Djoehana dihukum penjara seumur hidup di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta. Menurut Yoyo Dasrio, Letnan Djoehana yang pandai berbahasa Belanda itu sempat melakukan pembelaan diri hingga lolos dari hukuman mati.
“Namun hingga menjelang wafat, Pak Djoehana selalu merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan Usman, Abubakar dan Komaruddin di depan pengadilan, kendati tentu saja itu bukan salahnya,” ujar Yoyo Dasrio, jurnalis yang pernah mewawancarai Letnan Djoehana.
Berpenampilan Merah Putih
Senin, 9 Agustus 1948. Selepas magrib, seorang lebe (penghulu) disertai perwira Belanda menemui Komaruddin, Usman, dan Abubakar di sebuah ruangan dalam Penjara Garut. Kepada sang lebe, ketiganya menyampaikan pesan terakhir agar setelah meninggal, jenazah mereka dimakamkan secara Islam. Permintaan itu langsung diamini.
Menjelang subuh keesokan harinya, dengan memakai kampret (sejenis baju koko) putih dan sarung merah Tjap Padi, ketiga eks tentara Jepang itu diangkut ke Lapangan Kerkhoff yang terletak di seberang Sungai Cimanuk (sekarang, Gedung Gelora). Tepat pukul 06.00, terdengar beberapa kali letusan senjata. Komaruddin dan kedua kawan Jepangnya gugur seketika.
“Menurut seorang saksi yang pernah saya wawancarai, Komaruddin masih sempat meneriakkan kata ‘merdeka’ sebelum peluru menembus kepalanya,” ujar Yoyo.
Jasad Abubakar (Hasegawa), Usman (Aoki) dan Komaruddin (Yang Chil Sung) lantas dikebumikan di Pemakaman Pasirpogor. Duapuluhtujuh tahun kemudian, kerangka mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, tempat yang secara resmi menabalkan mereka sebagai pahlawan kemerdekaan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar