Bagi rakyat pekerja, 1 Mei atau May Day adalah simbol perlawanan,
hari dimana mereka yang martabatnya diinjak dan hak-haknya dirampas,
yang keringatnya diperas dan suaranya dibungkam, menunjukkan semangat
perlawanannya. Momentum yang digulirkan oleh aksi May Day oleh buruh
dilanjutkan di Universitas Gadjah Mada (UGM), yang tidak luput dari
kemarahan rakyatnya. Pada 2 Mei lebih dari tujuh ribu mahasiswa, buruh
tenaga kependidikan (TenDik) dan pedagang kantin Sosial-Humaniora
(kantin Bonbin) tumpah ruah ikut serta menorehkan sejarah perlawanan
lewat aksi “Pesta Rakyat” di lobi dan halaman depan Gedung Pusat UGM
(Balairung).
Aksi yang digelar bertepatan dengan Hari Pendidikan
Nasional oleh Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada ini menjadi
salah satu aksi massa besar pertama di Kampus Biru paska-reformasi 1998.
Tuntutannya berkisar masalah tunjangan kinerja dari tenaga
kependidikan, penggusuran kantin Bonbin, dan kenaikan uang kuliah
tunggal (untuk rincian tuntutan, lihat catatan di bawah).
Demonstrasi diawali dengan berkumpulnya massa aksi dari berbagai
fakultas di titik-titik berkumpul yang telah ditentukan, sesuai dengan
klaster lokasi masing-masing fakultas hingga pukul sepuluh pagi.
Kemudian, setelah massa aksi dari semua klaster berkumpul di tempat
kumpul masing-masing, mereka bergerak ke Balairung untuk mengikuti
“Pesta Rakyat”. Kira-kira pukul 10.45 massa aksi dari berbagai klaster
sudah tergabung di Balairung dan menyatukan suara untuk menggetarkan
Gedung Pusat UGM. Sejumlah individu dan kelompok terpisah juga ikut
menggabungkan diri dalam aksi ini.
Di samping mobilisasi massa sebagai alat untuk menunjukkan kepada
rektorat siapa sesungguhnya memegang kuasa di kampus, usaha memenangkan
tuntutan-tuntutan di atas dilakukan berbarengan dengan mengirimkan
beberapa perwakilan dari massa aksi untuk bernegosiasi dengan pihak
rektorat. Meskipun demikian, upaya negosiasi ini hanya sebagai perantara
dari keinginan massa aksi agar rektorat mau berdialog secara terbuka
dengan massa aksi. Dialog terbuka berlangsung cukup alot karena sebagian
besar massa aksi menginginkan pihak rektorat segera memberikan
solusi-solusi konkret untuk pemenuhan tuntutan-tuntutan yang telah
disampaikan sebelumnya.
Berlangsungnya aksi dari pagi hingga malam dalam suasana yang cukup
panas dan disertai dengan beberapa kericuhan kecil mencerminkan semakin
teradikalisasinya gerakan mahasiswa di Kampus Biru dan kebangkitan
kesadaran berpolitik bagi mereka yang sebelumnya memiliki antipati
terhadap politik. Dengan sembilan tuntutan dan dipersenjatai tidak
dengan apa-apa kecuali suara mereka dan semangat akan perubahan, aksi
massa berhasil memaksa otoritas kampus (rektorat) untuk memenuhi tujuh
dari sembilan tuntutan yang mereka deklarasikan. Aksi yang dimulai
sedari pagi pun berbuah manis. Meski diiringi dengan drama-drama
menyedihkan, Sang Rektor menyerah dan menghadap “rakyat”nya pada pukul 6
sore dan kemudian mengumumkan hasil perundingan.
Tentunya rangkaian kejadian yang terjadi tidak sesederhana gambaran
yang telah kami berikan. Titik kulminasi di mana mahasiswa, pedagang dan
pekerja UGM terjun ke Rektorat untuk menentang ketidakadilan telah
dibangun dengan persiapan matang dan usaha tak kenal lelah yang
diprakarsai para penggerak aksi dari aliansi badan mahasiswa dan massa
yang mulai mempertanyakan kondisi-kondisi menyedihkan di kampus UGM. Berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya, aksi kemarin berhasil menggaet dan
menyatukan massa mahasiswa yang cenderung apolitis, buruh TenDik serta
pedagang makanan dalam suatu perjuangan semesta melawan ketidakadilan –
testamen dari kerja organisasi dan propaganda yang mumpuni. Tetapi akan
kita lihat di bawah bagaimana yang “mumpuni’ ini pun memiliki
keterbatasan yang begitu mencolok mata untuk menyelesaikan akar dari
ketidakadilan yang ada.
Reaksi Penguasa
Tak mau mendengarkan tuntutan-tuntutan rakyat, pihak Rektorat
menggunakan berbagai macam cara untuk mengerdilkan perjuangan.
Taktik-taktik dan keputusan politik yang dikeluarkan Rektorat menjelang
hari-H menunjukkan jarak yang jelas antar Rektor dan rakyatnya. Tak ayal
lagi, Rektor di dalam upayanya menangani situasi pun menggunakan
trik-trik yang biasa digunakan oleh para penguasa otoriter, entah secara
halus maupun dengan metode-metode yang vulgar. Serangan balik Rektorat
dilancarkan sejak sehari sebelum aksi itu sendiri. Lewat siaran Radio
Swaragama FM, Rektor Dwikorita mengumumkan adanya sebuah “gladi latihan provokasi dan unjuk rasa, dengan melibatkan sivitas akademika UGM dalam lingkungan kampus UGM”
Tetapi seperti kata Hegel, keniscayaan mengekspresikan dirinya lewat
kebetulan. Tindakan provokasi sembrono yang dilancarkan pihak Rektorat
dengan tujuan untuk menggeser makna aksi, serta menafikan isu-isu nyata
sebagai sebuah latihan belaka ternyata memberikan dampak yang berlawanan
dengan harapan sang Rektor. Perlawanan yang tadinya diharapkan padam
dan mati malah makin kuat, terlebih lagi dengan tersiarnya kesaksian
mahasiswa-mahasiswa yang kesulitan membayar UKT.
Drama ini tidak hanya berhenti di situ. Tanpa kenal malu, Rektor
kembali mengeluarkan keahlian klasik dalam karung tipuan yang telah
usang – bersembunyi dan lari. Ketika massa masih berkumpul menuju gedung
Rektorat, Rektor malah mengurung diri di kantornya, bahkan mencoba
keluar gedung di tengah hari. Pengepungan yang dilaksanakan aliansi
mahasiswa berhasil “menyekap” sang Rektor. Butuh negosiasi yang alot dan
dua, tiga kali usaha, serta nyanyian selama berjam-jam untuk memaksa
Rektor menghadap rakyatnya. Pada pukul 2 siang, Rektor akhirnya keluar untuk menghadap massa yang
terlanjur marah dengan kebohongan Rektor sehari sebelumnya. Alih-alih
memperlakukan kehendak rakyat sebagai kemarahan yang riil dan mendesak,
Rektor beserta jajarannya mengeluarkan alasan-alasan klise yang tidak
mengindahkan substansi dan logika. Ia menemui massa aksi sebagai anak
yang nakal, yang brengsek, yang mbalelo. Kegelisahan akan UKT
yang mencekik ditepis dan digantikan dengan wejangan-wejangan mengenai
sopan santun dan etika. Upaya nyata untuk membawa perubahan, sekecil
apapun perubahan itu, dikubur dengan ucapan dan tindakan simbolis tanpa
substansi.
Tindakan Rektor seketika memancing amarah massa yang terkumpul. Botol
air dan kotak makan melayang ke arah Rektor. Massa merangsek maju.
Badan yang sudah diterpa terik matahari selama enam jam tidaklah
menunggu wejangan-wejangan dangkal. Tidak terima diceramahi soal moral,
massa yang tersulut menerjang sambil membawa bendera dan atribut.
Jajaran rektorat yang panik berlindung di kantor Rektor, sementara
barisan depan mencoba menghentikan upaya yang memalukan ini. Kontak
fisik pun tak terelakkan. Baku hantam ringan antara mahasiswa dan satuan
keamanan mewarnai demo siang itu. Pada jam 4, Rektorat memanggil polisi
bersenjata pentungan dan gas air mata. Namun dua jam kemudian jajaran
rektorat menyerah dan terpaksa memenuhi 7 dari tuntutan yang diajukan
oleh massa. Kemenangan ini menunjukkan keampuhan dari aksi massa sebagai
metode perjuangan, dan kesiapan kaum muda untuk berjuang selama ada
kepemimpinan yang mampu mengartikulasikan keresahan mereka.
Kapitalisme dan Pendidikan
Tidaklah sulit untuk merasakan kebencian pada sosok Rektor di antara
para mahasiswa setelah kejadian-kejadian seperti yang di atas. Teriakan
penuh amarah dan botol-botol melayang hanyalah satu dari banyak
manifestasi kegagalan sang Rektor untuk memperhatikan tuntutan rakyat.
Meski demikian, apakah relokasi kantin, kenaikan UKT, status Badan Hukum
yang disandang Universitas hasil kebijakan seorang Tiran semata? Apakah
tren kenaikan biaya dan program edukopolis yang
digadang-gadang UGM buah dari sosok ambisius yang otoriter? Perlukah
kita membatasi diri hanya pada seruan-seruan moral semata, atau
pemakzulan akan seorang pemimpin, dengan harapan bahwa pemimpin
berikutnya akan lebih baik?
Menyalahkan seorang Rektor atas kegagalan-kegagalan sistemis yang
dialami Universitas di bawah kepemimpinannya bukanlah tindakan yang
salah, namun menggeser fokus dari masalah inheren pada sistem yang
sekarang dianut Universitas khususnya dan sistem pendidikan kita
umumnya. Status Badan Hukum yang disandang UGM dengan bangga hanyalah
satu dari wajah buruk kapitalisme. Sebagaimana sabda Marx, sebuah negara
dan berbagai aparatusnya, termasuk di sini jajaran rektorat UGM,
menghamba pada kepentingan kelas yang berkuasa. Kepentingan dari kelas
yang berkuasa hari ini adalah menghasilkan profit dan walhasil sistem
pendidikan pun diarahkan untuk memenuhi kepentingan tersebut secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dengan mengubah sistem
pendidikan menjadi komoditas untuk diperjualbelikan demi profit dan
mengelola sistem pendidikan untuk mencetak pekerja siap-saji yang bisa
menghasilkan nilai-lebih untuk pemilik modal. Secara tidak langsung,
sistem pendidikan menjadi tempat reproduksi ideologi kapitalisme guna
melanggengkan dominasi dan eksploitasinya.
Pada kasus UGM kepentingan kapitalis ini termanifestasikan dalam
pembangunan dan peningkatan fasilitas, serta komersialisasi area kampus
tidak henti-hentinya yang merambah kepentingan dan hak-hak rakyat secara
keseluruhan. Pada akhirnya, seorang Rektor pun tersandera oleh
kepentingan-kepentingan kelas [kapitalis] yang ada di belakangnya.
Geraknya terkungkung dalam sistem busuk yang mengedepankan kebebasan
pasar dan bukan kebebasan sejati. Tetapi tidak berarti sang Rektor
adalah seperti boneka tak berdaya dan oleh karenanya tidak bersalah atas
kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya. Ia telah mengambil keputusan
pribadi untuk berdiri di sisi kelas yang berkuasa dan mewakili
kepentingan mereka, dan dengan demikian menjadi bagian dari kelas
penguasa. Serangan terhadapnya adalah ekspresi dari serangan terhadap
kelas berkuasa dan sistem yang ada di bawah mereka ini.
Kenaikan biaya pendidikan, ataupun merambahnya korporasi-korporasi ke
dalam kampus UGM, hanyalah sedikit dari berbagai gejala rusaknya
esensi pendidikan oleh suatu sistem yang terbelit
kontradiksi-kontradiksinya sendiri, yaitu kapitalisme. Universitas
didorong untuk menjadi efisien dalam mencetak buruh sarjana. Untuk
mewujudkan itu, digadang-gadanglah program edukopolis yang bertujuan
menyediakan fasilitas lengkap, dengan maksud menaikkan daya saing UGM
dengan institusi pendidikan lainnya. Jalan menuju peningkatan daya saing
itu dibangun atas pengorbanan rakyat yang direbut ruang publiknya,
digilas kepentingannya dan dibatasi kebebasannya. Pembangunan dan
investasi menuntut adanya stabilitas sosial dan politik, yang pada
hakikatnya membatasi kebebasan mahasiswa itu sendiri.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana keresahan yang dialami oleh
mahasiswa dan para tenaga kependidikan UGM berakar dari kapitalisasi
sistem pendidikan, dalam kata lain berakar dari sistem sosio-ekonomik
yang berlaku hari ini: kapitalisme.
Pesta Rakyat UGM telah berhasil menghantarkan pukulan awal dan
menunjukkan apa yang mungkin. Langkah selanjutnya adalah menggunakan
momentum yang ada untuk melangkah lebih jauh, secara programatik dan
juga secara organisasional. Secara programatik dengan terus menajamkan
tuntutan yang diperjuangkan agar menghantarkan pukulan yang semakin
telak pada landasan kapitalis dari sistem pendidikan yang ada; secara
organisasional dengan memperkuat organisasi perjuangan mahasiswa.
Membangun Serikat Mahasiswa
Dalam hal ini gerakan mahasiswa bisa belajar banyak dari gerakan
buruh, yang dari ratusan tahun pengalamannya telah menemukan satu hukum:
bahwa tanpa organisasi kaum buruh adalah bahan mentah untuk
dieksploitasi. Seperti halnya buruh memiliki serikat buruh mereka, yang
dibangun dari akar rumput dan menjadi wadah perjuangan mereka, maka kaum
mahasiswa juga harus membangun organisasi perjuangan mereka yang
menyatukan mahasiswa luas untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Tidak bisa dipungkiri kalau kebanyakan dari organisasi mahasiswa luas
yang hari ini ada, seperti BEM atau Senat Mahasiswa, adalah organisasi
yang melempem dan tidak mampu mewakili kepentingan mahasiswa.
Organisasi-organisasi ini sering kali jadi ajang untuk memajukan karier
dari para pengurusnya. Tetapi juga tidak bisa dipungkiri kalau dalam
berbagai kesempatan ketika massa mahasiswa bergerak
organisasi-organisasi ini terdorong menjadi wadah perjuangan mahasiswa
luas. Di sini organisasi massa mahasiswa menjadi arena pertarungan.
Mengklaim kembali organisasi massa mahasiswa – atau membangunnya kalau
organisasi semacam ini tidak pernah eksis – untuk dijadikan alat tarung
yang kompak dan militan harus menjadi bagian dari program perjuangan
dari kaum muda revolusioner di kampus yang selalu didorongnya ke kaum
mahasiswa luas, bahwa sejatinya kaum mahasiswa hanya akan jadi bahan
mentah untuk dieksploitasi kalau mereka tidak memiliki organisasi
perjuangan.
Organisasi massa mahasiswa ini setidak-tidaknya harus
mendasarkan dirinya pada komitmen: 1) perjuangan pendidikan gratis yang
demokratis dan berkualitas; 2) demokratisasi kampus dimana semua badan
perwakilan dan otoritas di kampus sampai ke tingkatan Rektor dipilih
oleh mahasiswa dan para pekerja di kampus; 3) hak berserikat, upah
layak, dan kepastian kerja bagi semua pekerja di kampus. Yang belakangan
ini penting untuk menghubungkan gerakan mahasiswa dengan gerakan buruh. Dalam internalnya organisasi massa mahasiswa ini harus menjamin
demokrasi seluas-luasnya bagi semua anggotanya, misalnya dengan
penyelenggaraan pertemuan umum atau rapat akbar (general assembly)
secara berkala. Metode aksi massa harus dijadikan metode perjuangan
utama, seperti yang telah dibuktikan keberhasilannya pada Pesta Rakyat
UGM tempo hari.
Aksi-aksi perlawanan terhadap kapitalisasi pendidikan dan berbagai
manifestasi turunannya juga terjadi di berbagai institusi pendidikan.
Masalah yang menumpuk menuntut perlunya persatuan perjuangan dari kaum
pelajar dan mahasiswa dari berbagai institusi pendidikan untuk memungut
bendera perlawanan dan menggilas sistem ke akar-akarnya. Sekat-sekat
yang dibangun oleh perbedaan minat studi dan institusi pendidikan
bukanlah halangan, terlebih ketika mahasiswa seluruh dunia menghadapi
sebuah ancaman universal, yaitu kapitalisme. Sebuah organisasi massa
mahasiswa seluruh-Indonesia oleh karenanya harus dibangun.
Tugas Kaum Muda Revolusioner Hari Ini
Eskalasi perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang
dihasilkan oleh sistem kapitalisme tidak hanya terjadi di dalam kampus
saja, namun juga di berbagai sektor di masyarakat, seperti sektor
perburuhan, agraria, lingkungan dan gerakan perempuan. Saat ini,
perlawanan-perlawanan tersebut tampak seperti letupan-letupan kecil. Namun seiring berjalannya waktu letupan-letupan ini akan semakin
membesar secara perlahan dan menjadi hantaman yang telak bagi sistem
pada momentum yang menentukan. Kontradiksi kapitalisme akan terus
mendorong berbagai lapisan di dalam masyarakat untuk bergerak
melawannya.
Kaum muda, terutama mahasiswa, adalah pendulum aktif dari
guncangan-guncangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Sejarah
menunjukkan bahwa kemarahan-kemarahan kaum muda yang terekspresi dalam
gerakan-gerakan seperti ini sering kali muncul ketika kelas borjuasi
dengan keras kepala menolak – atau lebih tepatnya tidak mampu –
mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari krisis masyarakat
borjuis, sementara kelas proletariat terlalu lemah untuk mengambil peran
kepemimpinan. Kita diingatkan oleh peran besar kaum mahasiswa pada
gerakan Reformasi 1998, tetapi juga keterbatasan yang inheren dari
gerakan mahasiswa tersebut yang tidak mampu menghancurkan Orde Baru
sampai ke akar-akarnya.
Selama gerakan ini tidak menggetarkan sendi-sendi masyarakat
kapitalis, kelas borjuasi masih bisa bersikap tenang. Sebagian kaum
borjuis bahkan bisa memanfaatkan kemarahan-kemarahan ini melalui pintu
belakang.
"Kaum borjuis menghargai gerakan mahasiswa dengan setengah
setuju, setengah memperingatkan; kalau para pemuda mengadakan sedikit
guncangan terhadap birokrasi monarkis, hal itu tidak terlalu jelek,
selama 'anak-anak itu' tidak bergerak terlalu jauh dan tidak
membangkitkan perjuangan keras dari massa.” (Trotsky, Revolusi Spanyol 1931-39).
Itulah mengapa di dalam sejarah-sejarah besar, gerakan kaum muda hanya
akan memperoleh karakter revolusionernya dan mengancam keberadaan kelas
penguasa ketika kelas buruh berpartisipasi di dalamnya. Kita diingatkan
di sini bagaimana gerakan kaum mahasiswa muda di Prancis pada Mei 1968
menjadi gerakan revolusioner yang mengancam keseluruhan sistem
kapitalisme di Prancis ketika buruh mulai memasuki arena perjuangan dan
melakukan pemogokan nasional.
Krisis-krisis revolusioner dalam skala kecil hanya mampu
mentransformasi dirinya menjadi revolusi dalam sebuah kepemimpinan dan
program yang tepat. Kaum muda mahasiswa yang basis kelasnya umumnya
adalah borjuasi kecil secara historis tidak mampu melakukan ini. Hanya
kelas buruh terorganisirlah yang memimpin di bawahnya lapisan-lapisan
sosial lain (kaum tani, mahasiswa dan kaum tertindas lain) mampu membawa
revolusi ini pada hasil akhirnya, yaitu: merebut tuas-tuas kendali
ekonomi di bawah kontrolnya atau dengan kata lain mewujudkan sosialisme
sebagai ganti dari kapitalisme.
Gerakan kaum muda revolusioner di kampus-kampus oleh karenanya harus
memiliki karakter proletariat. Mengambil karakter proletariat bukan
berarti berpakaian dan berpenampilan seperti buruh, atau sekedar live-in
dengan buruh, atau bahkan lebih parah lagi menepis seluruh gerakan
mahasiswa dengan alasan bahwa kaum mahasiswa bukan proletariat. Gerakan
muda yang berkarakter proletariat berarti mengusung gagasan Sosialisme
Ilmiah sebagai landasan geraknya (baca Sosialisme Utopis dan Sosialisme Ilmiah
oleh Engels). Ini berarti menanggalkan semua prasangka borjuis kecil,
termasuk semua gagasan akademik yang mendominasi gerakan mahasiswa, dan
mengadopsi pemikiran Marx dan Engels secara konsekuen.
Kerja-kerja propaganda sosialis harus digiatkan di kampus, secara
sistematis dan konsisten. Kerja-kerja minimal yang harus dilakukan oleh
kaum revolusioner sekarang adalah kerja-kerja menemukan lapisan-lapisan
termaju dari kaum muda yang haus akan gagasan-gagasan perlawanan dan
mengorganisirnya di dalam sebuah partai revolusioner. Letupan-letupan
seperti Pesta Rakyat UGM telah mendorong selapisan mahasiswa ke jalan
perjuangan, tetapi energi ini akan hilang dan tergerus kalau tidak ada
sebuah partai revolusioner yang bisa menghimpun mereka dan menyediakan
kepada mereka solusi revolusioner untuk keresahan mereka. Partai
revolusioner ini tidak bisa tidak berlandaskan pada Marxisme dan terus
melatih dirinya dengan ide-ide, program, metode dan tradisi
Bolshevik-Leninis untuk mewujudkan perjuangan semesta menggulingkan
kapitalisme.
***
Catatan:
Dalam aksinya ini, massa “Pesta Rakyat” mengajukan tuntutan-tuntutan sebagai berikut: 1. Tuntutan Tenaga Kependidikan (Tendik) untuk pencairan Tunjangan
Kinerja (Tukin) yang telah lama tidak dibayarkan haknya dan menuntut dua
hal, a. Tetap konsisten menuntut kepada pimpinan universitas untuk segera
merealisasikan tuntutan kami: “kami bukan pengemis, kami menuntut hak
kami tukin 3 semester bukan hanya 2 bulan.” b. Menuntut agar UGM melepas status Badan Hukum karena status tersebut hanya merugikan Tendik. 2. Pedagang Kantin Sosio Humaniora alias Bonbin yang tetap direlokasi
walaupun keputusan masih mengandung status “open” karena telah
dikeluarkannya SP 2 secara sepihak dan menuntut dua hal, a. Menuntut pencabutan SP 2. b. Menuntut dikeluarkannya SK Renovasi Kantin Sosio Humaniora, Kantin Kerakyatan Universitas Gadjah Mada. 3. Sejak diberlakukannya UKT (Uang Kuliah Tunggal) tahun 2013, masih
terdapat celah-celah kecacatan yang terjadi di lapangan. Mulai dari
nominal yang tinggi, golongan yang tidak manusiawi, beasiswa dengan
kuota terbesar yang dihilangkan ditambah ada wacana kenaikan UKT dan
penarikan uang pangkal bagi mahasiswa jalur mandiri. Berdasarkan
pemaparan tersebut mahasiswa menuntut enam hal: a. Menolak Kenaikan UKT 2016 dari tahun sebelumnya b. Menolak penerapan uang pangkal bagi mahasiswa jalur ujian mandiri c. Menuntut adanya penundaan pembayaran UKT serta mekanisme
penyesuaian UKT baik temporal maupun permanen di seluruh fakultas yang
selanjutnya diatur dalam SK Rektor d. Menuntut range penghasilan yang sama dalam penggolongan UKT dengan mempertimbangkan jumlah tanggungan keluarga e. Menolak penerapan UKT bagi mahasiswa S1 di atas semester 8 dan bagi mahasiswa diploma di atas semester 6 f. Menuntut UGM menganggarkan beasiswa PPA-BBP dari BOPTN tahun
anggaran 2016 atau mengadakan pengganti beasiswa PPA-BBP minimal dengan
kuota yang sama.
0 komentar:
Posting Komentar