“Agama adalah candu bagi masyarakat.” Kalimat ini merupakan ungkapan
paling terkenal dari Marx mengenai agama. Kalimat ini juga sering
dijadikan sebagai alat oleh borjuasi untuk mendiskreditkan Komunisme,
untuk menarik simpati dari kaum tertindas dan publik luas, serta
dijadikan dasar untuk memberikan suatu kesimpulan yang tendensius:
Komunisme adalah paham yang anti agama. Dan kata-kata itu kini sedang
marak didengungkan.
Terhadap masalah ini kami akan memberikan sebuah garis pemikiran yang
tegas, agar pemahaman ini tidak terlalu lama berada di area
samar-samar, agar publik luas, terlebih kaum proletar, dapat memahaminya
dengan jelas. Masalah ini memang perlu segera mendapatkan jawaban
ilmiah di atas dasar materialisme dialektika, yakni bagaimana filsafat
Marxis berbicara soal agama.
Terlebih dahulu perlu dipahami bahwa tujuan utama dari perjuangan
kaum Marxis adalah melakukan transformasi sistem kehidupan masyarakat
dari kapitalisme ke arah Sosialisme-Komunisme, baik pada skala nasional
maupun internasional. Kapitalisme, sebagai sebuah sistem
ekonomi-politik, dalam pandangan Marxisme, berwatak menindas, tidak
adil, dan tidak manusiawi. Watak beringas dan eksploitatif dari sistem
kapitalisme ini harus dihentikan dan penciptaan tatanan dunia baru yang
manusiawi harus diperjuangkan.
Kaum Marxis akan terus menabuh genderang perang melawan sistem yang
menindas ini dan ilusi-ilusi yang telah diciptakannya. Dan kami, sebagai
representasi paling kuat dari organisasi-organisasi berhaluan Marxis,
akan sepenuh hati menyambut baik segala bentuk partisipasi dari semua
elemen revolusioner, terlepas dari kebangsaan, warna kulit, dan
keyakinan agama. Kami juga membuka ruang seluas-luasnya untuk berdialog
mengenai agama—misalnya, mengenai bagaimana membangun sebuah paradigma
yang revolusioner dan memfungsikan agama sebagai instrumen perjuangan
kelas.
Dalam kata pengantar untuk A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right Marx
menulis, “Penderitaan religius, pada saat yang bersamaan, adalah
ekspresi dari penderitaan riil dan protes terhadap penderitaan riil
tersebut. Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jantung-hati dari
dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari situasi yang tak berjiwa.
Agama adalah candu bagi masyarakat.” Teks ini adalah pernyataan Marx
yang paling tegas dan jelas soal agama. Tetapi teks tersebut sering kali
disalahpahami, karena para pembaca tidak masuk ke dalam seluruh
rangkaiannya dengan jeli.
Kalimat “Agama adalah candu bagi masyarakat”
sering dikutip dengan pemahaman yang serampangan dan cekak dan dipahami
sebagai sikap anti-agama Marx yang vulgar. Padahal, eksposisi yang
sesungguhnya, pernyataan di atas merupakan kritik Marx terhadap
kapitalisme yang menempatkan agama sebagai pembangkit semangat bagi
rakyat tertindas agar tetap dapat bertahan di alam penindasan. Terlepas
dari pandangan anti-metafisiknya yang telah banyak ditulis, Marx tidak
menjadikan agama sebagai musuh utama dalam karya-karyanya.
Kalimat yang saya kutip dari kata pengantar untuk A Contribution di
atas menjelaskan bahwa tujuan diciptakannya institusi agama adalah
untuk memberikan harapan tentang kehidupan yang indah penuh bunga
selepas mati. Realitas hidup yang penat, sebuah kenyataan bahwa kaum
miskin tidak mampu mendapatkan kebahagiaan ekonomi di jagad raya yang
sekarang didiami, memberikan peluang bagi agama untuk mengatakan bahwa
mereka akan menemukan kebahagiaan sejati di kehidupan kelak, yaitu di
alam setelah kematian. Ini memang teks yang paling pedas dari Marx dalam
melukiskan agama. Agama, dalam pandangan ini, adalah seperangkat ide,
dan ide-ide merupakan ekspresi dari realitas material. Agama merupakan
gejala dari suatu penyakit, tetapi bukan penyakit itu sendiri.
Meskipun Marx mengkritik agama dengan sangat pedas, tetapi bukan
berarti ia berkata tanpa simpati. Bagi Marx agama telah berkontribusi
memberikan penghiburan kepada rakyat yang tengah berada dalam kesulitan,
seperti seseorang yang sedang mengalami cidera fisik lalu mendapatkan
obat pereda sakit. Tetapi, masalahnya, obat-obatan pereda sakit itu
tidak mampu menyembuhkan—hanya meredakan. Demikian pula dengan agama, ia
tidak mampu memperbaiki penyebab rasa sakit dan penderitaan rakyat.
Agama malah membantu mereka untuk melupakan mengapa mereka menderita dan
mengajaknya untuk melihat kehidupan masa depan yang imajiner.
Lebih jauh, Lenin, dalam tulisannya yang berjudul Sosialisme dan Agama,
mengembangkan perspektif Marx-Engels tentang agama ke dalam konteks
Rusia. Agama, menurut Lenin, merupakan salah satu bentuk penindasan
spiritual yang teramat membebani masyarakat; membentuk kultur mengabdi
kepada orang lain, dan menumpulkan perspektif perjuangan kelas.
Tumpulnya perjuangan kelas tertindas melawan penindasnya membangkitkan
keyakinan adanya eksistensi super-natural, yakni keyakinan kepada
tuhan-tuhan, jin-jin, keajaiban-keajaiban dan sejenisnya; membangkitkan
kepercayaan atas adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian.
Agama mengajari mereka untuk menjadi patuh dan sopan dalam kehidupan di
atas bumi dan berharap akan mendapatkan ganjaran surgawi di kehidupan
setelah mati. Namun demikian Lenin menyerahkan agama sebagai urusan
pribadi. “Agama harus dinyatakan sebagai urusan pribadi,” tulis Lenin.
“Setiap orang sudah seharusnya bebas mutlak menentukan agama apa yang
dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun … Diskriminasi di antara
para warga sehubungan dengan keyakinan agamanya sama sekali tidak dapat
ditolerir.”
Untuk memahami filsafat Marxis tentang agama, dan kritik pedas Marx
terhadap agama, secara kronologikal, kita harus memahami gagasan Marx
tentang ‘alienasi’ (keterasingan). Secara sederhana, alienasi dapat
didefinisikan sebagai proses yang membatasi kesadaran manusia, yang
menahan potensi besar kesadaran manusia untuk memahami realitas hidup
yang sesungguhnya. Dalam tulisannya mengenai alienasi, Marx menyuguhkan
beberapa tipe alienasi, menjelaskan bagaimana alienasi-alienasi itu
terjadi dan bagaimana penyelesaiannya. Marx, selanjutnya, mengelompokkan
alienasi-alienasi tersebut menjadi dua kategori alienasi: pertama, “product-alienation” (keterasingan dari hasil kerja); kedua, “self-alienation” (keterasingan diri).
Apa itu “product-alienation”? Dalam tulisan-tulisannya
mengenai tema ini, Marx menjelaskan bahwa kerja telah menjadi sesuatu
yang eksternal dengan pekerja. Pekerja merasa tidak menyatu dengan
pekerjaannya. Pekerja merasa menderita ketimbang sejahtera. Mereka
merasa tidak bebas mengembangkan energi fisik dan mentalnya, malah lelah
secara fisik dan direndahkan secara mental. Pekerja merasa dirinya bisa
berada di rumah hanya saat waktu senggang, sedangkan di tempat kerja ia
merasa tunawisma. Karakter eksternal dari kerja ini secara vulgar juga
ditunjukkan oleh fakta bahwa pekerja tidak bekerja untuk dirinya
sendiri, tetapi bekerja untuk orang lain, bahwa hasil kerjanya tidak
menjadi miliknya, tetapi milik orang lain.
Apa itu “self-alienation”? Agama terkait erat pada kategori
alienasi yang kedua ini. Agama, menurut Marx, merupakan penenang saraf
sesaat bagi rakyat tertindas untuk mengalihkan rasa sakit ketika
mendapati dirinya dieksploitasi, direndahkan dan tidak memiliki apa-apa.
Agama menjadi jalan pintas yang tepat untuk bersembunyi dari kekalahan,
bentuk pelarian sesaat dari kepenatan.
Pandangan Marx mengenai agama di atas memunculkan dua pokok
penilaian: pertama, Marx memandang agama sebagai tindakan protes yang
ilusif, yang berbisik tentang harapan-harapan palsu, yang mengajak untuk
melupakan penindasan dalam kehidupan yang sesungguhnya; kedua, Marx
memandang agama sebagai ideologi, sebagai bangunan suprastruktur yang
berusaha mendistorsi dan menutupi realitas sosio-ekonomi di kehidupan
nyata.
Dari sini, sebagai kesimpulan, saya akan menarik garis pemikiran yang
sangat jelas, bahwa agama, sebagaimana bangunan suprastruktur lain,
keberadaan dan coraknya sangat tergantung pada realitas material dari
suatu masyarakat tertentu.
Agama tidak memiliki sejarah yang independen,
melainkan kreasi dari kekuatan-kekuatan produktif. “Dunia religius
adalah refleksi dari dunia nyata”—tulis Marx dalam Das Kapital
Vo. 1. Dengan begitu, agama hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan
sistem sosial dan struktur ekonomi dari suatu masyarakat. Bahkan, secara
ekstrem, bisa dikatakan bahwa agama hanya tergantung penuh pada sistem
sosial dan ekonomi masyarakat, tidak pada yang lain, sehingga banyak
doktrin-doktrin agama yang sama sekali tidak relevan di masa kini.
Tetapi, di sini, bukan itu persoalannya, melainkan bagaimana
memfungsikan agama sebagai instrumen dalam perjuangan kelas tertindas,
sebab Marxisme tidak menolak praktek agama apapun, bahkan ketika tatanan
masyarakat Sosialis-Komunis sudah terwujud. Mengingat posisi agama
subordinat terhadap ekonomi, dan lahir karena adanya praktek dari suatu
sistem ekonomi dan kepentingan tertentu, maka agama bukanlah musuh bagi
Marxisme. Marxisme telah membuat telaah ilmiah mengenai hal ini, bahwa
ketika penghapusan kelas-kelas di dalam masyarakat sudah terjadi, dalam
kata lain ketika Sosialisme-Komunisme sudah terwujud, agama sebagai
pelipur lara bagi rakyat tertindas akan lenyap dengan sendirinya; agama
dalam konteks kapitalisme akan hilang karena sudah tidak dibutuhkan
lagi; agama sebagai kebahagiaan ilusif diganti dengan kebahagiaan sejati
di dalam praksis masyarakat Komunis
0 komentar:
Posting Komentar