Whisnu Yonar |
Tahun
lalu saya bersama sutradara Rahung Nasution dan seniman Dolorosa Sinaga
meluncurkan film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta.
Film
kami bercerita mengenai ziarah mantan tahanan politik Hersri Setiawan
dan Tedjabayu ke Pulau Buru di Kepulauan Maluku tempat mereka ditahan
bersama lebih dari 12,000 lelaki lainnya di akhir tahun 60-an sampai
akhir 70-an. Mereka dibuang ke Pulau Buru tanpa pengadilan karena
menjadi anggota organisasi kebudayaan Lekra atau anggota organisasi kiri
lainnya.
Saya
tidak pernah membayangkan pelarangan terhadap film sederhana mengenai
ziarah dua manusia ke tempat yang penuh derita dan kenangan untuk mereka
akan terjadi di masa keterbukaan saat ini. Namun itu yang terjadi.
Mulai dari pemutaran perdana film, kami mendapat tekanan. Kami harus memindahkan pemutaran perdana film kami
dari Goethe Haus ke kantor Komnas HAM karena intimidasi kelompok yang
menolak pengungkapan mengenai kekerasan yang tejadi Pasca-1965.
Pemutaran-pemutaran selanjutnya di beberapa daerah juga dilarang.
Ternyata salah anggapan saya bahwa negara ini lebih waras dibanding masa Orde Baru. Rezim berganti namun represi masih terjadi.
Saya
lahir tahun 1980 dari keluarga yang tidak terlibat maupun tersangkut
peristiwa seputar September 1965 dan setelahnya. Ketika saya masih duduk
di bangku sekolah, kami jarang membicarakan politik. Kota saya
Salatiga, adalah salah satu daerah penjagalan anggota Partai Komunis
Indonesia dan pendukungnya. Namun teman-teman dan guru di sekolah tidak
ada yang pernah membicarakan persoalan ini.
Pelajaran
Sejarah dan Pendidikan Moral Pancasila yang saya terima di bangku
sekolah mengajarkan bahwa komunisme dan Partai Komunis Indonesia sangat
buruk. Film Pengkhiantan G30S/PKI yang saat itu diputar tiap tahun di
televisi menjadi membangun citra bengisnya PKI dan Gerwani.
Ketika
SMP saya pernah memiliki prasangka buruk pada seorang ibu paruh baya
yang lewat di depan rumah sambil menggandeng anak. Pagi itu, saya duduk
bersama ibu saya di teras rumah kami. Ibuku bilang kalau ibu paruh baya
itu adalah anak PKI. Pendidikan dan stigma mengenai PKI dan Gerwani yang
ditanamkan pada saya mengajarkan saya untuk bersikap demikian.
Rasa penasaran saya mengenai 1965 muncul ketika membaca seri Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya penulis dan mantan tahanan Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer yang saya beli di sebuah toko buku bekas saat SMA.
Timbul
pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi pada masa 1965 dan setelahnya.
Saya terkejut ketika tahu bahwa negara ini pernah membuang ribuan orang
ke sebuah pulau bernama Buru. Sebegitu kejamkah pemerintahan Suharto
saat itu?
Ketika
kuliah koneksi internet pribadi masih belum secanggih sekarang. Untuk
mengakses internet saya sering mengunjungi warung internet. Dari
informasi di dunia maya dan dari buku-buku beragam versi cerita tentang
kekejaman paska tragedi September 1965 banyak kutemukan. Semuanya di
luar nalarku.
Kesadaran pribadi saya untuk ingin tahu lebih banyak soal 1965 muncul dari situ. Kepo kalau boleh dibilang.
Saya
heran, bagaimana bisa sebuah rejim memerintah dengan penuh pujian
ketika fondasinya bersimbah darah jutaan rakyatnya sendiri? Kebanyakan
dari korban bahkan tidak pernah mengetahui apa kesalahan mereka dibunuh,
dipenjara, disiksa ataupun diasingkan.
Ketika
memproduksi film Pulau Buru Tanah Air Beta, saya bisa memahami isu ini
lebih dalam. Saya menjadi tahu bagaimana pulau Buru pernah dipakai
sebagai tempat pembuangan.
Saya
berjumpa dengan mantan tahanan politik di sana dan mendengarkan cerita
mengenai pengalaman mereka diperlakukan secara tidak manusiawi selama
masa pembuangan. Ribuan orang yang ditahan di sana tidak tahu apakah
keesokan harinya mereka masih hidup atau mati. Kapanpun nyawa bisa
melayang.
Peneliti Benedict Anderson
menyebutkan Gerakan 30 September di mana enam jenderal diculik dan
terbunuh di 1 Oktober 1965 merupakan konflik internal Angkatan Darat
yang dicarikan dalih untuk membinasakan kehidupan politik dan sosial
jutaan rakyat lainnya. Penelitian terbaru dari sejarahwan John Roosa
mengatakan bahwa segelintir petinggi politburo PKI merencanakan secara
rahasia penculikan enam jenderal tersebut dan anggota partai yang
lainnya tidak terlibat.
Apapun
itu, yang terpenting dari persinggungan saya dengan isu ini adalah
korban. Selama beberapa tahun terakhir saya bertemu banyak penyintas
1965 di Jakarta.
Mendengar
langsung cerita dari mereka semakin meneguhkan bahwa masih banyak
hutang sejarah yang harus ditanggung oleh generasi muda saat ini.
Hutang
ini semakin nyata ketika berhadapan generasi muda. Saya bagian dari
korban. Kita menjadi buta atas apa yang terjadi di seputar tahun 1965
dan meyakini kebenaran tunggalnya saat itu karena propaganda Orde Baru.
Sebagai
bagian dari korban, kita semua patut mempertanyakan apa yang sebenarnya
terjadi di masa itu; persoalan geopolitik kala itu, apa yang terjadi
malam 30 September 1965, dan pembunuhan/pembinasaan jutaan orang
setelahnya.
Dari
semua proses yang saya alami sesudah meluncurkan film Pulau Buru Tanah
Air Beta, pengalaman yang sangat berharga adalah ketika bertemu dengan
penonton muda.
Penonton-penonton
muda ini bersemangat mengikuti diskusi sampai selesai. Generasi saya
butuh kebenaran. Generasi saya tidak lupa ada hutang sejarah. Generasi
saya ingin memiliki pengetahuan sejarah yang sehat.
Generasi kami bukanlah pembangkit PKI, yang hantunya pun sudah ikut mati dengan ribuan orang yang dibunuh, disiksa, ditangkap.
Generasi yang sedang tumbuh saat ini membutuhkan kebenaran tentang sejarah bangsanya sendiri, meski kelam.
Koreksi
dari editor: Dalam versi sebelumnya editor salah menulis nama Hersri
Nasution; seharusnya Hersri Setiawan. Editor meminta maaf atas kesalahan
ini.
https://medium.com/ingat-65/mengapa-saya-memproduksi-film-tentang-pulau-buru-9d25adde87ab#.k64rupfpo
0 komentar:
Posting Komentar