Dyah Ayu Kartika |
Saya
tahu Belanda merupakan gudangnya sejarah Indonesia. Saya juga tahu
banyak warga Indonesia yang tinggal dan menetap di Belanda. Tapi saya
tidak pernah tahu bahwa berkuliah di sini menuntun saya bertemu para
eksil yang tak bisa pulang ke Indonesia pascaperistiwa 1965.
Awal
perjumpaan saya dimulai dari ajakan seorang kawan yang kebetulan
bertemu dengan komunitas ini. Ia mengajak saya untuk menghadiri
pertemuan-pertemuan mereka, sekedar bersilahturahmi dan ngobrol-ngobrol.
Berjumpa
dan berinteraksi dengan para eksil membuat saya malu sekaligus bangga.
Malu karena sebagai generasi muda, saya kalah bersemangat mengikuti
perkembangan sosial dan politik tanah air dibandingkan opa-oma yang
sudah puluhan tahun menetap di negara orang. Banyak dari kami, generasi
muda, yang belum sampai satu tahun di negeri orang tetapi sudah luput
dari kondisi sosial maupun politik di tanah air.
Namun
saya merasa bangga berkesempatan mengenal mereka lebih dekat,
mengetahui cerita perjalanan mereka dari mulai di Indonesia sampai
sekarang di Belanda. Tak jarang cerita mereka sangat tragis, penuh
kejutan, dan juga lucu. Ada yang setelah sekian lama menjadi sasaran
massa karena dianggap mengetahui keberadaan petinggi organisasi
mahasiswa kiri. Ada pula yang menghabiskan seluruh waktu, tenaga, dan
uang hasil kerjanya untuk mengumpulkan buku dan arsip seputar kondisi
politik Indonesia, peristiwa 65, dan pemerintahan Orde Baru.
Suatu
waktu, pertemuan komunitas membahas gerakan perempuan di Indonesia.
Saya ingat sekali, para eksil tampak bersemangat bertanya,
mengklarifikasi, dan mengemukakan pendapat atas paparan narasumber.
Mereka sangat antusias untuk mengetahui apa yang terjadi di Indonesia,
bagaimana perjuangan perempuan yang sempat kandas karena peristiwa 65,
dan bagaimana generasi saat ini menghadapi tantangan yang ada.
Hampir-hampir moderator kewalahan karena tidak bisa mengakomodasi semua
pertanyaan maupun tanggapan.
Kecintaan
mereka terhadap merah-putih juga terpatri jelas di ingatan saya. Ketika
itu, Mei 2016, saya ikut dalam aksi solidaritas bersama para eksil
dalam kunjungan presiden Jokowi ke Belanda. Kami mengibarkan bendera
merah-putih bersama puluhan pendukung Jokowi, orang Indonesia yang
tinggal di Belanda. Sebuah bendera jatuh dekat kaki saya, namun saya
tidak sadar karena sedang asyik mengobrol. Saya baru sadar ketika
seorang eksil bersimpuh mengambil bendera itu dan berkata, “Bendera ini
sudah diperjuangkan habis-habisan oleh leluhur kita untuk tetap berdiri.
Masa’ kita menghormatinya saja sulit?”
Kalau Kamu Sendiri, Kenapa Tertarik dengan Isu 65?
Salah
satu eksil melontarkan pertanyaan ini ketika kami berjumpa di sebuah
acara ramah tamah yang sederhana dan hangat di rumah salah satu kawan di
Amsterdam. Makan-makan adalah tujuan utama, tentu dibarengi dengan
berbagi pengalaman untuk mengenal satu sama lain (atau terbalik ya?).
Saat
itu hadir sekitar 7–8 orang eksil, masing-masing menjabarkan ceritanya
mulai dari dikirim ke luar negeri hingga saat ini hidup dan menetap di
negeri asing. Mulanya kami, para mahasiswa, hanya duduk dan
mendengarkan. Namun rupanya mereka juga penasaran mengapa para anak muda
tertarik pada kisah mereka.
Begini jawab saya.
Minat saya akan peristiwa ini berawal dari pelajaran sejarah ketika SD. Pak guru berkata, “PKI menyiksa dan membunuh tentara-tentara ini, jahat ya mereka?” Tentu saya terkesiap, tak siap ditanya seperti itu. Sebagai anak sekolah dasar yang masih planga-plongo, ya saya manggut saja meski dahi terus berkerut. Dalam hati saya berpikir, “Kenapa mereka (PKI) bisa sejahat itu tanpa ada dendam kesumat, tanpa duduk perkara yang jelas?”.
Setelah itu, kami pun diajak study trip ke Museum Satria Mandala dan Lubang Buaya untuk lebih memahami peristiwa G30S. Maklum, ketika itu sudah masuk masa reformasi, jadi film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ sudah tidak lagi menjadi tontonan wajib. Sebagai gantinya, kami yang masih SD ini menonton diorama-diorama sadis di kedua lokasi ini. Alih-alih semakin paham, banyak dari kami yang ketakutan, tak jarang menangis, bahkan terbawa ke alam mimpi. Mengerikan sekali.
Cerita ini tersimpan seiring beranjaknya saya menuju remaja. Ketertarikan akan isu ini tetap ada, meskipun kadang tertutupi dengan hal-hal lainnya. Ketika saya SMP/SMA (tepatnya saya lupa), saya diingatkan kembali akan peristiwa ini melalui film GIE.
Diceritakan bahwa Soe Hok Gie bersama mahasiswa-mahasiswi UI turun ke jalan di tahun 1966. Angkatan ini menghasilkan tiga tuntutan rakyat, salah satunya bubarkan PKI dan antek-anteknya. Kembali, PKI menjadi sasaran utama.
Saat itu saya menonton bersama Ayah yang memang menyukai film-film sejarah. Setelah film berakhir, Ayah bercerita bagaimana hiruk pikuknya Indonesia pada masa itu. Banyak orang dibunuh dan disiksa. Mereka bukan dari pihak jenderal, melainkan PKI sendiri!
Kontan saya kaget karena versi ini berbeda dari yang saya dapat dari buku-buku sejarah dan cerita pak guru di sekolah. Tapi saya tak punya alasan pula untuk menuduh ayah saya membual. Saya memilih untuk percaya kepada ayah saya sambil terus mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi di masa itu.
Saya mulai mencari informasi tentang peristiwa 1965 dan mulai menemukan beberapa kejanggalan dari cerita yang selama ini saya dengar. Saya juga mendapati berbagai alternatif cerita. Sebagian besar informasi tersebut mengonfirmasi kata-kata Ayah. Banyak sumber yang juga menyebut bahwa orang yang tidak terlibat dalam kegiatan politik maupun terlibat sebagai anggota PKI bisa dengan mudah ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh.
Perasaan saya campur aduk. Sedih, marah, kesal, merasa terkhianati, dan dibohongi. Selama ini saya dicekoki rasa nasionalisme yang parsial dan untuk pertama kali terpaksa menerima sejarah pahit dari negara tercinta ini. Saya merasa negara tidak adil bukan hanya karena tidak mengakui penyiksaan, penahanan, dan pembunuhan terhadap sebagian besar masyarakatnya pada masa itu, tetapi juga karena menutupi cerita ini dari generasi muda dan memaksa kami untuk percaya dengan cerita versi mereka yang dibumbui dengan rasa takut.”
Mendengar
cerita saya, para eksil mengamini. Pemerintah Orde Baru berusaha
membuat narasi yang berbeda dan menutupi cerita yang sesungguhnya.
Padahal, di tengah laju arus informasi dan tuntutan transparansi
belakangan ini, menutupi suatu hal justru seperti mengarahkan telunjuk
ke diri sendiri.
Beberapa
dari mereka juga menyatakan bahwa mereka tidak akan menuntut ganti
rugi. Hanya permintaan maaf dan adanya alternatif sejarah terkait
peristiwa 65 bagi generasi mudalah yang mereka inginkan.
Bagi
mereka, hidup sudah tidak lagi bisa kembali seperti dulu lagi. Yang
penting di masa depan, tidak lagi ada orang-orang yang bernasib sama
seperti mereka dan supaya generasi muda juga bisa mengetahui dan belajar
dari sejarahnya sendiri. Sebuah permintaan sederhana yang saya kira
perlu proses yang sangat panjang, berbelit, dan perlu berpuluh tahun
untuk mencapainya.
Tentu
masih banyak kisah, kesan, dan pesan yang saya ambil dari kisah para
eksil. Yang jelas, dalam kesempatan emas ini, saya belajar banyak hal.
Belajar tentang sejarah, politik, dan terlebih lebih tentang hidup.
Saya belajar bahwa meskipun raga tak bebas bergerak, tapi semangat memang tak bisa mati.
Para
eksil yang saya kenal, yang bilangan umurnya sudah tinggi, hingga kini
masih terus peduli dan aktif mendukung maupun mengkritik
kebijakan-kebijakan pemerintah. Masih membela merah putih. Masih setia
kepada negara Indonesia dan Pancasila. Kita sebagai generasi muda patut
belajar dari sejarah dan mengkontekstualisasikannya.
Mereka
adalah korban-korban perang ideologi yang kalah dan terasing. Belajar
dari sejarah membantu kita untuk bersikap lebih bijak, mencegah berbagai
bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi terhadap siapapun.
https://medium.com/ingat-65/belajar-tentang-hidup-dari-komunitas-eksil-di-belanda-ed2741bb33a0#.m2zbrbtbl
0 komentar:
Posting Komentar