Ilustrasi oleh Alit Ambara
BELA negara kembali menjadi persoalan. Media di luar dan dalam negeri menyorotinya, karena Kodam XVI/Udayana bermaksud melatih preman sebagai bagian dari program bela negara. Adalah Kepala Penerangan Kodam IX Udayana, Letkol (Inf) J. Hotman Hutahaean yang dikutip mengatakan bahwa militer akan melatih preman agar mereka menjadi ‘warga negara yang baik.’ Pelatihan ini akan dimulai pada bulan Agustus. Dalam pelatihan, mereka juga akan diperkenalkan dengan ketrampilan menggunakan senjata. Letkol Inf. Hutahean lebih lanjut mengatakan, ini dilakukan ‘supaya mereka tidak bosan dan supaya bisa merasakan kehidupan sebagai militer.’
Rencana ini segera memancing kontroversi. Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan, yang adalah juga pensiunan jenderal berbintang empat, mengatakan bahwa program ini berlebihan. Dia menganggap bahwa pengenalan senjata kepada preman sudah terlalu jauh. Namun dia tidak menampik dengan jelas apakah preman boleh mengikuti program bela negara atau tidak.
Sementara itu gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, mengakui setuju dengan program bela negara untuk para preman ini. Mangku Pastika, yang juga pensiunan komisaris jenderal polisi ini, memang dikenal memiliki hubungan dekat dengan beberapa ‘ormas’ (organisasi masyarakat) di Bali. Pastika juga tidak keberatan kalau para peserta bela negara ini diberi ketrampilan memegang senjata. “Kalau hanya diberi pelatihan senjata selama dua jam, itu tidak masalah,” demikian katanya. “Jadi maksud Kodam XVI/Udayana itu bagus. Kita dukung. Daripada semua orang dianggap musuh, membunuh sesama sendiri, terus dimana rasa cinta tanah air dan bangsa?”
Mereka yang hidup di Bali tahu persis bahwa yang dimaksudkan dengan ‘ormas’ ini adalah preman-preman yang terorganisir. Sebagaimana di banyak daerah di Indonesia, preman-preman ini sangat terkait dengan politik lokal. Desentralisasi memberikan ruang untuk tumbuhnya organisasi-organisasi ini. Para politisi lokal mempergunakannya tidak saja untuk memobilisasi pemilih namun juga untuk menghantam saingannya.
International Crisis Group (ICG) sebuah think tank yang memperhatikan keamanan dan terorisme pernah merilis laporan tentang perkembangan milisi-milisi ini di Bali dan Lombok. Di dalam laporan itu, ICG menulis bahwa keruntuhan rejim otoriter Orde Baru, desentralisasi, dan kekurangan jumlah polisi, memungkinkan untuk tumbuhnya milisi seperti pecalang di Bali dan pam swakarsa di Lombok.
Laporan ini ditulis sebelum pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung yang dimulai sejak tahun 2005. Setelah Pilkada, pembentukan milisi ini semakin menjadi-jadi. Seperti yang ditulis oleh ilmuwan sosial Vedi Hadiz (2010), desentralisasi membangkitkan oligarki di daerah-daerah, lengkap dengan milisi-milisinya. Seringkali milisi-milisi tersebut adalah preman yang diorganisasikan untuk kepentingan mobilisasi pemilih.
Para politisi memelihara preman. Ketika terpilih, mereka memberikan konsesi kekuasaan ekonomi kepada organisasi-organisasi ini sehingga bisa menghidupi diri sendiri dan bisa dipergunakan kembali jika ada kepentingan politik yang memerlukan. Seringkali mereka mendapat konsesi melakukan jasa ‘keamanan.’ Tentu saja, jasa keamanan ini muncul dari ketidakamanan yang diciptakan oleh para preman tersebut.
***
Hanya saja, dalam perkembangannya, organisasi-organisasi ini pun memiliki dinamikanya tersendiri dan tidak berada dalam kontrol politisi yang menciptakannya. Sekalipun dia organisasi legal, kebanyakan kegiatannya adalah illegal. Sebagaimana layaknya organisasi-organisasi yang mengoperasikan bisnis illegal, persaingan didalamnya sangat intens dan penuh kekerasan. Organisasi seperti ini mengandalkan ‘orang kuat’ (boss) untuk mengendalikannya. Persaingan antar bos akan mengakibatkan perpecahan organisasi yang seringkali didahului oleh peperangan dan kekerasan.
Perkembangan seperti ini sangat jelas terjadi di Bali. Politisi-politisi lokal jelas memanfaatkan kehadiran para preman ini dan memberikan payung hukum untuk organisasinya. Salah satu yang pertama kali berdiri adalah Laskar Bali. Ini adalah organisasi yang terkait dengan salah satu keluarga aristokrat di Denpasar. Persaingan internal didalam Laskar Bali menciptakan organisasi pecahan seperti Baladika, yang kemudian menjadi saingan terberat organisasi induknya.
Pengaruh dan keganasan kelompok-kelompok ini sudah banyak dibicarakan oleh media massa bahkan oleh media luar negeri. Koran Sydney Morning Herald, misalnya, pernah menurunkan tulisan tentang Laskar Bali. Kelompok ini, tulis SMH, bahkan memiliki kaitan dengan geng motor Australia, The Rebels, untuk ‘mengamankan’ kawasan-kawasan wisata yang penting.
Pemimpin Laskar Bali juga menduduki posisi penting di birokrasi lokal. Sementara pemimpin lainnya menjadi anggota DPR. Mereka juga pendukung kuat gubernur yang sekarang menjabat. Selain itu, mereka juga pendukung setia Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2014. Yang menarik, SMH juga melaporkan bahwa organisasi ini juga ikut mengamankan kunjungan Presiden Obama ke Bali.
Pada awal tahun lalu, situs Rocketnews24 bahkan menyejajarkan Laskar Bali dengan organisasi-organisasi mafia di Asia, sejajar dengan kelompok yakuza Yamaguchi-gumi di Jepang dan Triad di Macau dan Hongkong. Laskar Bali dianggap sangat berpengaruh karena memiliki tangan di dalam politik lokal dan menguasai bisnis keamanan untuk pariwisata. Situs ini juga menyebutkan bahwa saingan Laskar Bali, yakni Baladika, juga tidak kurang pengaruhnya. Baladika dikabarkan pernah mendapatkan kontrak pengamanan konferensi APEC ke 25 and kontes Miss World yang keduanya diadakan di Bali pada 2013. Uniknya, Baladika melakukan pengamanan bersama-sama dengan tentara dan polisi.
Kathryn Bonella, penulis buku “Snowing in Bali” mengatakan bahwa dia tidak ragu jika organisasi-organisasi ini adalah kelompok kriminal. Bonella menghabiskan waktu dua tahun untuk melakukan penelitian dan mewawancarai pentolan-pentolan pedagang narkoba dan perdagangan manusia di penjara di Bali. Dia menuduh bahwa kelompok ini terlibat narkoba, senjata, pelacuran, dan menyediakan jasa sebagai pembunuh bayaran. Demikian berkuasanya organisasi ini sehingga aparat kepolisian bahkan tidak berani menindaknya. Suratkabar dan media tidak berani menyebut namanya dalam publikasi mereka.
***
Yang menarik adalah bagaimana militer dan aparat keamanan juga memiliki hubungan dengan ormas-ormas ini. Karena secara organisasional mereka diberikan baju legalitas maka jauh lebih mudah buat aparat keamanan untuk berhubungan dengan mereka. Tidak diragukan lagi, seperti yang dinyatakan oleh studi ICG yang disebutkan di atas, kekurangan jumlah aparat kepolisian membuat organisasi preman seperti ini berguna untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Dalam tingkatan tertentu, pihak kepolisian memiliki kontrol terhadap mereka dan kedua belah pihak setuju akan batas-batas kekuasaan masing-masing. Seperti hubungan antara polisi dan kelompok mafia di banyak negara, masing-masing pihak sepakat akan wilayah kekuasaannya dan pihak kepolisian akan menutup mata atas kriminalitas yang dilakukan oleh mafia dan organisasinya.
Pihak militer Indonesia memiliki hubungan yang lebih khusus dengan kelompok-kelompok preman ini. Seperti yang ditunjukkan oleh studi yang dilakukan Loren Ryter, hubungan antara kelompok preman dan militer telah terjalin sejak lama. Dalam studinya tentang Pemuda Pancasila, Ryter menunjukkan bahwa preman adalah perpanjangan tangan militer dalam politik. Keterlibatannya sudah mulai sejak tahun 1950an ketika militer (dalam hal ini Angkatan Darat) mencari format keterlibatan mereka dalam politik.
Kelompok-kelomok preman – dan juga kelompok-kelompok lain yang seringkali disebut sebagai kelompok ‘fungsional’ oleh tentara – menjadi kepanjangan tangan tentara dalam politik. Pada akhir tahun 1950an, setelah menguasai perkebunan-perkebunan yang dinasionalisasi dari perusahan-perusahan Belanda, tentara mempergunakan preman untuk menghadapi buruh-buruh perkebunan dan petani yang menduduki tanah perkebunan. Buruh dan petani tersebut diorganisir oleh PKI. Kelompok-kelompok fungsional inilah yang dikemudian hari menjadi tulang punggung dari kekuasaan Orde Baru dan dikumpulkan menjadi Golongan Karya (Golkar).
Foto diambil dari www.merdeka.com
***
Elit lokal tidak bertindak sama sekali. Demikian juga aparat-aparat resmi negara seperti kepolisian. Ormas-ormas ini seperti benar-benar berada di atas hukum. Sesungguhnya Bali tidak sendirian dalam hal ini. Kota Medan di Sumatera Utara, juga mengalami hal yang sama. Di kota ini, pertarungan antara dua ormas (yang ini bahkan merupakan cabang dari organisasi nasional), Pemuda Pancasila dan Pemuda Pancamarga, selalu bersaing dan acapkali bentrok di jalanan.
Disinilah program bela negara untuk para preman ini terlihat ganjil. Mengapa tentara, sebagai lembaga resmi, merasa berkewajiban memberikan pelatihan bela negara kepada para preman ini? Sekalipun mereka mengecualikan preman yang memiliki catatan kriminal, namun preman tetaplah preman. Seperti yang dikatakan di atas mereka bergerak di wilayah illegal.
Apa yang sesungguhnya diharapkan oleh tentara dengan memberikan pelatihan militer kepada preman ini? Dalam perkembangan terakhir, Kadispen Kodam XVI/Udayana berusaha untuk menepis kontroversi. Dalam jumpa pers (15/6), dia mengatakan bahwa tidak benar pihak Kodam Udayana akan memberikan pelatihan bela negara kepada para preman. Namun dia tetap mengatakan bahwa pihaknya akan tetap melatih anggota ormas-ormas yang kerap bentrok satu sama lain. Pelatihan itu akan digelar bersama pemerintah propinsi Bali. Nama ormas-ormas yang akan mendapat pelatihan adalah Laskar Bali (LB), Baladika, dan Pemuda Bali Bersatu (PBB). Dua yang terakhir adalah organisasi pecahan dari Laskar Bali. Namun politik peristilahan hukum (legal semantic) seperti ini tidak mengurangi kejelasan bahwa tentara sesungguhnya hendak memberikan pelatihan bela negara untuk para preman.
***
Tidak salah untuk dikatakan bahwa gerakan tolak reklamasi ini adalah gerakan sosial terbesar yang ada di Bali sejak 1965. Gerakan ini diorganisir secara longgar oleh Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI). Gerakan ini sangat berhasil dalam memobilisasi massa. Demonstrasi yang digelar ForBALI selalu diikuti oleh ribuan massa. Dan demonstrasi itu dilakukan hampir setiap minggu.
Reklamasi Teluk Benoa sesungguhnya didukung oleh elit lokal. Artha Graha group, yang dimiliki oleh taipan Tommy Winata, sudah melakukan segala upaya untuk menggolkan proyek mercusuar ini. Lewat tangan perusahan lokalnya, PT Tirta Wahana Bali International (TWBI), juga sudah berusaha untuk mengubah opini masyarakat.
Reklamasi Teluk Benoa memperlihatkan jurang yang sangat dalam antara elit lokal yang tunduk dan bekerja sama dengan pengusaha dan politisi Jakarta dengan rakyat Bali. Sudah terlalu lama persekutuan seperti ini terjalin dan rakyat Bali selalu dikalahkan. Ini dimulai dengan kasus Bali Nirwana Resort (yang akan segera menjadi bagian dari jaringan Trump International milik kandidat presiden AS Donald J. Trump) yang dimodali oleh Bakrie Group. Lokasi hotel dan padang golf yang sangat dekat dengan tempat yang disucikan, Pura Tanah Lot, dipandang melecehkan dan mencemarkan tempat suci itu. Kemudian terjadi kasus-kasus lain, seperti Bali Pecatu Graha dan Garuda Wisnu Kencana. Di semua kasus tersebut, tidak ada satu pun yang dimenangkan oleh rakyat. Atau, paling tidak, protes dan suara-suara tidak puas dinafikan begitu saja.
Gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa ini berhasil memberikan nuansa lain. Gerakan ini sudah berlangsung tanpa hentinya selama lebih dari dua tahun dan semakin hari semakin membesar. Para elit yang dahulu bisa melakukan apa saja tiba-tiba menjadi tidak berdaya. Hampir semua elit di Bali, setidaknya di depan umum, tidak berani menentang gerakan tolak reklamasi. Penentangan kadang dilakukan oleh gubernur yang menjadi figur yang semakin tidak populer di Bali. Ini karena semua pihak tahu bahwa gubernurlah yang menjadi kolaborator utama dalam proyek reklamasi ini.
Sementara itu, gerakan tolak reklamasi juga menjadi suara yang mewakili semua persoalan-persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat Bali. Telah terlalu lama persoalan-persoalan ini diabaikan. Para elit, entah lokal atau nasional, menindas semua keluhan ini. Ketika penindasan tidak mungkin lagi dilakukan, mereka memanipulasinya. Etnifikasi – dan kemudian juga introduksi sektarianisme berdasarkan agama – adalah bagian dari manipulasi ini.
Sementara itu, di sektor lain, pelegalan preman menjadi ormas, yang sekaligus penjadi penekan (enforcer) sentimen etnis dan agama, merupakan jalan untuk melakukan penindasan (suppression).
Persis pada titik inilah usaha pelatihan bela negara untuk para preman itu harus dipahami. Juga sangat bisa dimengerti mengapa pihak pemerintah lokal berusaha memeras anggaran daerah untuk membiayai program ini.
Perspektif kedua adalah perspektif nasional. Dalam hal ini, pihak militerlah yang memiliki kepentingan. Program bela negara dibangkitkan kembali oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Dia memaksudkan bela negara sebagai usaha untuk meningkatkan “rasa cinta terhadap Tanah Air, setia pada negara, dan rela berkorban untuk bangsanya.” Rencananya akan ada 1,8 juta orang dilatih bela negara. Selama sebulan penuh para peserta akan diberi latihan kemiliteran.
Tidak sulit untuk mengerti bahwa orang mencintai negaranya hanya karena dia pernah melakukan latihan militer. Juga tidak sulit untuk mengerti bahwa militer bukan satu-satunya yang mencintai negara ini dan karenanya berhak menafsir bagaimana seharusnya mencintai negara. Nasionalisme adalah soal bagaimana merasa sebagai saudara dalam satu bangsa. Uniknya, dalam banyak hal, perasaan sebagai satu bangsa itu selalu ditunjukkan dengan solidaritas kepada yang paling lemah dan yang minoritas.
Juga tidak terlalu sulit untuk menangkap bahwa bela negara ini sepenuhnya berada pada koridor politik militer. Dengan demikian bela negara merupakan penerusan dari kepentingan politik militer.
Akhir-akhir ini, militer sangat keras menyuarakan kepentingan anti-komunis. Sikap anti-komunis ini ditunjukkan dengan berdiri di balik simposium tandingan anti-komunis yang digelar baru-baru ini. Namun di daerah-daerah, militer juga aktif menghidupkan kembali kelompok-kelompok anti-komunis dan melakukan ofensif terhadap pihak-pihak yang dianggap akan memperjuangkan kembali ‘kebangkitan komunis.’
Yang agak aneh adalah di Bali. Sekalipun saat pembantaian massal 1965 terjadi dalam jumlah yang amat besar di Bali (per kapita tertinggi di Indonesia), namun tidak terlihat militer melakukan ofensif terhadap kelompok-kelompok yang dianggap kiri seperti di daerah lain. Dugaan saya adalah karena militer tidak memiliki sekutu yang cukup kuat di Bali. Di daerah-daerah lain, militer bisa mengeksploitasi kelompok-kelompok konservatif, agama, dan pendukung Orde Baru yang masih cukup kuat. Di Bali, kekuatan itu tidak cukup kuat. Setelah Soeharto tumbang, politik lokal di Bali berubah total. Pemilihan umum pertama di Bali dimenangkan PDIP dengan angka lebih dari 70 persen. Pemberian pelatihan bela negara kepada para preman ini memberikan peluang kepada pihak militer untuk membangun aliansi baru.
Militerisasi preman ini akan memakan biaya sosial dan politik yang amat tinggi untuk rakyat Bali. Mengingat demikian hebatnya kekerasan yang terjadi pada tahun 1965-66, militerisasi ini benar-benar akan merobek-robek tenunan masyarakat yang memang sudah amat rentan terhadap konflik ini. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah organisasi-organisasi preman ini selalu terlibat dalam bentrokan satu sama lain. Setiap kali mereka berdamai, setiap kali pula mereka bentrok. Selalu saja ada korban luka dan korban jiwa.
Adakah jaminan bahwa setelah diberikan pelatihan militer mereka akan berhenti bentrok? Saya kuatir, setelah pelatihan bela negara mereka malah lebih ahli dalam berperang dan masyarakat menuai perang saudara. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung biayanya.
***
0 komentar:
Posting Komentar