Oleh: Yunantyo Adi
Yang dianggap sebagai "kemenangan" bagi kaum intoleran itu adalah bukan pada
saat acara dialog Ibu Shinta Wahid, yang berlangsung Jumat (16/6) sore
hingga buka bersama di Kelurahan Pudakpayung, Banyumanik, Semarang.
Mereka sudah tidak akan mengusik itu, itu sudah disepakati di Markas
Polrestabes Semarang pada Jumat siang (beberapa jam sebelum acara), itu sudah tidak
dianggap sebagai masalah bagi kelompok-kelompok intoleran itu.
Jadi apa yang dianggap
sebagai kemenangan mereka?
Yaitu
keberhasilan mereka menekan Romo selaku
tuan rumah penerima Shinta Wahid, untuk memindahkan buka bersama dan
doa buka bersamanya dari halaman gereja ke Kelurahan Pudakpayung.
Alasannya adalah masalah akidah (versi mereka). Masalah kemudian habis
buka
puasa itu iBu Shinta Wahid akan ke rumah Romo dan akan berkunjung ke
gereja, sudah tidak dipermasalahkan oleh ormas-ormas intoleran itu; itu
juga sudah
disepakati di Mapolrestabes.
Mengerahkan tenaga keamanan besar-besaran pada
saat buka puasa berlangsung di Pudakpayung justru akan dianggap sebagai
lucu-lucuan bagi mereka. Mengira di lokasi buka puasa di Kelurahan
Pudakpayung perlu dikerahkan tenaga keamanan ekstra walau sudah ada polisi
dan Paspampres, malah jadi bahan tertawaan kaum intoleran itu. Karena
memang bukan di situ dan bukan itu yang mereka masalahkan.
Titik krussialnya tidak berada di lokasi buka puasa, tetapi saat pertemuan di Mapolrestabes Semarang beberapa jam sebelumnya. Pada saat Romo dikeroyok kaum intoleran ramai-ramai dan seakan tidak ada yang membelanya; bahkan tak ada pembelaan dari warga NU sendiri.
Keberhasilan kaum intoleran menekan tuan rumah untuk memindah buka puasa dan doa buka puasa itu ke kelurahan, itulah yang mereka besar-besarkan sebagai keberhasilan dalam "pengusiran" iBu Shinta di media-media online mereka dan di akun-akun media sosial mereka. Saya sudah menduga bahwa mereka akan membesar-besarkan "kemenangan" mereka ini.
Saya tergopoh-gopoh menyusul ke Mapolrestabes pada Jumat siang itu karena dikontak jemaat Romo, saya masuk ruang pertemuan dan berbicara agar tidak ada pemindahan, tetapi ditolak ormas-ormas intoleran dengan alasan saya tidak diundang dan karena sebab lain.
Seorang dari pimpinan polisi dg wajah
amat kecut mendekati saya dan meminta saya keluar ruangan, alasannya
saya bukan undangan dalam rapat itu.
Saya lihat dari luar Romo memang terjepit. Romo yang selama ini merangkul lintas umat dengan warga NU dan lain-lain, entah kenapa saat-saat seperti ini menjadi single fighter di kantor polisi; sedih sekali rasanya.
"Di mana lainnya? Mana Banser?" tanya saya
ke teman-teman Romo yang ada di luar ruang rapat.
"Romo sdh memberitahu teman
Banser tadi," kata di antara mereka.
Waktu di ruang rapat saya sempat lihat ada dua warga NU, satu kiai dari Banyumanik, dan satunya profesor. Ada juga pimpinan dari Pemuda Muhammadiyah lokal, tapi mereka tidak melakukan pembelaan terhadap Romo. Kesan suaranya malah seirama kelompok intoleran itu. Dan itu membuat saya dkk heran setengah mati. Saya mencari bantuan ke warga NU lain, termasuk teman-teman pemuda; tapi gagal. Sampai acara debat itu selesai, hanya ada satu warga NU yang datang ke Mapolrestabes tetapi terlambat, yaitu Gus Ubaid; kiai asal Rembang yang juga dosen di Semarang.
Ia jadi "menangis" karena terlambat datang untuk membela
Romo dan iBu Shinta. Romo terlanjur menandatangani kesepakatan untuk
memindah lokasi buka puasa dari halaman gereja ke kelurahan.
Gus
Ubaid
marah, marah semarah-marahnya. Ia sampai bilang, tetqp saja jangan
dipindah nanti
saya yang tanggung jawab. Tapi Romo mengalah. Saya lihat Gus Ubaid amat
sedih, dan memberi tausyah-tausyah pada polisi-polisi itu tentang
Pancasila dan kebangsaan.
Sampai
kami meninggalkan Mapolrestabes Semarang, memang hanya Gus Ubaid yang datang
menyusul. Lainnya saya tidak tahu, dari Banser juga tidak ada yang datang.
Malam hari Gus sempat kirim mesej, kenapa forum tidak menunggu sampai dia
bisa datang. Gus Ubaid kembali "menangis".
Di Mapolrestabes, saat dialog masih berlangsing tegang dan saya terusir keluar, seorang MUI Kota mendatangi saya dan berbicara, ada di antara mereka mau membunuh saya. Saya bilang kepadanya,
Di Mapolrestabes, saat dialog masih berlangsing tegang dan saya terusir keluar, seorang MUI Kota mendatangi saya dan berbicara, ada di antara mereka mau membunuh saya. Saya bilang kepadanya,
"Saya akan di sini sampai acara ini selesai
apa pun hasilnya, silakan yang bersangkutan temui saya selesai acara ini
untuk membunuh saya."
Tapi selesai acara saya tidak dibunuh. Pada pergi meninggalkan lokasi satu per satu. Saya tanya teman MUI tadi,
"Mana
yg katanya mau membunuh saya?"
Ia bilang,"Sudah pergi."
Sepulang dari Mapolrestabes Semarang, saya sudah menduga kalau "kekalahan" ini akan dipropagandakan untuk mem-bully teman-teman NU. Dan ternyata itu benar. Bahkan sebelum iBu Shinta datang, sudah muncul di media online sudah ada yang memberitakan "kemenangan" kelompok intoleran "mengusir" Ibu Shinta untuk tidak buka puasa di halaman gereja tersebut. Pilihan kata dalam judul berita itu adalah: mengusir.
****
https://www.facebook.com/kabar.smg/posts/10208113671633696
0 komentar:
Posting Komentar