Kamis, 02/06/2016 12:49 WIB
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menganggap kebangkitan PKI nyata. (ANTARA/Rivan Awal Lingga)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Menteri Pertahanan Republik Indonesia Ryamizard
Ryacudu menganggap kebangkitan Partai Komunis Indonesia nyata terjadi.
Hal itu ia kemukakan saat menghadiri Simposium Nasional ‘Mengamankan
Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain’ di Balai
Kartini, Jakarta Selatan.
Salah satu bentuk kebangkitan PKI, kata Ryamizard, ditandai dengan penyebaran kaus berlambang palu-arit belakangan ini. Pemakaian atribut itu menurutnya melanggar hukum, yakni Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 tentang larangan PKI dan penyebaran ideologi komunisme di Indonesia.
"Coba lihat, ada yang pakai kaus, pawai, bubarkan teritorial, kemudian menginjak-injak patung pahlawan revolusi. Itu kan kelihatan. Menunjukkan diri. Harusnya enggak boleh," kata Ryamizard tanpa menyebut eksplisit di mana rentetan peristiwa yang ia sebut itu terjadi.
Mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu kemudian mencontohkan pelarangan ideologi tertentu di sejumlah negara. Di Jerman pun, kata dia, orang yang memakai atribut Nazi pasti ditangkap.
“Jadi ini bukan masalah HAM (hak asasi manusia). Pakai saja lambang Nazi di Jerman, pasti ditangkap. Artinya, jangan membangkit-bangkitkan masa lalu,” kata Ryamizard, Kamis (2/6).
Presiden Jokowi pun, ujar Ryamizard, telah menegaskan bahwa ideologi
negara adalah Pancasila, bukan yang lain, dan Pancasila harus
dipertahankan sampai kapanpun.
Namun Ryamizard menilai Pancasila tidak dijalankan secara konsekuen pasca-Reformasi.
“Kalau enggak Pancasila, keluar saja dari negara ini. Pancasila itu tidak ke kiri, tidak ke kanan,” kata dia.
Simposium ‘Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan
Ideologi Lain’ hari kedua ini bukan hanya dihadiri Menhan, tapi juga
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Ia datang dan memberikan sambutan
tak lama setelah Menhan meninggalkan ruangan utama simposium.
Simposium yang diketuai oleh Letnan Jenderal Purnawirawan Kiki Syahnakri ini dipelopori oleh Gerakan Bela Negara, sejumlah ormas Islam, berbagai organisasi purnawirawan TNI-Polri, dan beberapa unsur kepemudaan.
Simposium ‘Anti-PKI’ tersebut digelar menyusul berlangsungnya Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan April lalu yang diinisiasi oleh Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang beranggotakan sejumlah keluarga tokoh nasional, baik sipil dan militer, yang menjadi korban Tragedi 1965.
Berbeda dengan Simposium Membedah Tragedi 1965, Kiki menyebut
simposiumnya digelar berdasarkan pendekatan ideologi, bukan kesejarahan.
“Kami mengoreksi pendekatan kesejarahan karena pendekatan kesejarahan terlalu banyak versi sehingga tidak akan ketemu. Yang kami lakukan adalah pendekatan ideologi. Kalau sama-sama mengakui Pancasila, mestinya ketemu,” ujar Kiki.
Menanggapi ucapan Kiki tersebut, Ketua Panitia Pengarah Simposium Membedah Tragedi 1965 yang juga Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo mengatakan, kedua simposium sesungguhnya memiliki satu tujuan, yakni untuk merumuskan penyelesaian kasus hak asasi manusia masa lalu.
(agk)
Salah satu bentuk kebangkitan PKI, kata Ryamizard, ditandai dengan penyebaran kaus berlambang palu-arit belakangan ini. Pemakaian atribut itu menurutnya melanggar hukum, yakni Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 tentang larangan PKI dan penyebaran ideologi komunisme di Indonesia.
"Coba lihat, ada yang pakai kaus, pawai, bubarkan teritorial, kemudian menginjak-injak patung pahlawan revolusi. Itu kan kelihatan. Menunjukkan diri. Harusnya enggak boleh," kata Ryamizard tanpa menyebut eksplisit di mana rentetan peristiwa yang ia sebut itu terjadi.
Mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu kemudian mencontohkan pelarangan ideologi tertentu di sejumlah negara. Di Jerman pun, kata dia, orang yang memakai atribut Nazi pasti ditangkap.
“Jadi ini bukan masalah HAM (hak asasi manusia). Pakai saja lambang Nazi di Jerman, pasti ditangkap. Artinya, jangan membangkit-bangkitkan masa lalu,” kata Ryamizard, Kamis (2/6).
|
Namun Ryamizard menilai Pancasila tidak dijalankan secara konsekuen pasca-Reformasi.
“Kalau enggak Pancasila, keluar saja dari negara ini. Pancasila itu tidak ke kiri, tidak ke kanan,” kata dia.
|
Simposium yang diketuai oleh Letnan Jenderal Purnawirawan Kiki Syahnakri ini dipelopori oleh Gerakan Bela Negara, sejumlah ormas Islam, berbagai organisasi purnawirawan TNI-Polri, dan beberapa unsur kepemudaan.
Simposium ‘Anti-PKI’ tersebut digelar menyusul berlangsungnya Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan April lalu yang diinisiasi oleh Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang beranggotakan sejumlah keluarga tokoh nasional, baik sipil dan militer, yang menjadi korban Tragedi 1965.
|
“Kami mengoreksi pendekatan kesejarahan karena pendekatan kesejarahan terlalu banyak versi sehingga tidak akan ketemu. Yang kami lakukan adalah pendekatan ideologi. Kalau sama-sama mengakui Pancasila, mestinya ketemu,” ujar Kiki.
Menanggapi ucapan Kiki tersebut, Ketua Panitia Pengarah Simposium Membedah Tragedi 1965 yang juga Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo mengatakan, kedua simposium sesungguhnya memiliki satu tujuan, yakni untuk merumuskan penyelesaian kasus hak asasi manusia masa lalu.
|
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160602124954-20-135321/ryamizard-jangan-bangkitkan-masa-lalu/
0 komentar:
Posting Komentar