Kolumnis: Zen RS*
31 Mei, 2016
Massa-Intoleran-Bangil-Berusaha-Bubarkan-Acara-Keagamaan
Sudah kelewat sering kegiatan-kegiatan diskusi, pemutaran film, pameran hingga pertunjukan terganggu, bahkan dibubarkan, karena desakan massa intoleran. Hal itu tidak mungkin terjadi jika negara berani bersikap tegas membela dan melindungi kebebasan warga. Tapi negara, dalam hal ini kepolisian, lebih sering mengafirmasi desakan massa intoleran.
Untuk itulah maka siapa pun yang hendak menggelar diskusi atau pemutaran film dengan tema-tema “kiri” perlu mengandaikan satu hal: aparat kepolisian tak akan memberi perlindungan.
Pengandaian itu penting agar penyelenggara kegiatan sadar sejak awal bahwa mereka – pada awal dan pada akhirnya-- harus sanggup melindungi diri sendiri. Supaya tak kaget jika massa intoleran tiba-tiba datang menyerbu. Agar tak lekas panik. Terutama agar: acara bisa tetap berlangsung.
Idealnya publik tak perlu berpikir macam-macam karena kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat sebenarnya dilindungi konstitusi. Namun, semua tahu keadaan di lapangan amat jauh dari ideal. Keengganan aparat kepolisian memberi perlindungan, bahkan tak jarang ikut menakut-nakuti, memang mempersulit keadaan. Dalam sejumlah kasus, tidak bisa tidak, pilihan untuk mengalah itu cukup bisa dipahami.
Tidak semua penyelenggara acara siap mempertahankan diri. Tidak sedikit langkah kompromi diambil karena, misalnya, mempertimbangkan properti milik tuan rumah yang dijadikan tempat kegiatan. Pemilik tempat (entah galeri, entah kampus atau yang lain) kadang yang memutuskan mengambil langkah aman. Penyelenggara kadang tak punya pilihan lain.
Tapi terus-terusan mengalah kepada ancaman dan gertakan massa intoleran bisa membuat publik mengalami “defisit” kepercayaan diri. Jika itu terjadi, tujuan massa intoleran itu bisa dibilang mendekati berhasil: merajalelanya perasaan cemas, takut, ngeri – sebab itulah memang tujuan teror.
Jika daftar kegiatan yang dibubarkan massa intoleran semakin bertambah, akan semakin tebal pula kepercayaan diri mereka. Niscaya mereka semakin menjadi-jadi. Keyakinan bahwa yang mereka lakukan sebagai hal benar yang disetujui negara juga kian berlipat ganda. Dan, terutama, akan semakin berani karena mereka bisa (dan telah) menyimpulkan kalau para pegiat literasi hanyalah orang-orang bermental lembek yang gampang digertak. Toh mereka tahu paling banter hanya akan “digelitiki” melalui media sosial, petisi online atau sederet pernyataan sikap atawa maklumat.
Kesimpulan macam itu mesti diterima sebagai otokritik. Beberapa kasus memang memperlihatkan nihilnya kesiapan penyelenggara. Jangankan diserbu dengan aksi kekerasan, cukup didatangi saja kadang sudah bikin gentar. Wajar saja gentar karena situasinya sering timpang: penyelenggara tidak siap sementara massa intoleran datang dengan mentalitas siap bentrok dan kepercayaan diri bahwa mereka akan dilindungi kepolisian.
Sekali lagi situasinya memang tidak mudah. Gampang saja bicara pentingnya tidak mengalah, mendesaknya sikap untuk sesekali melawan. Bicara dan hitung-hitungan di atas kertas tentu lebih enteng dilakukan ketimbang mempraktikkannya.
Lagi pula bersikap emoh mengalah juga punya konsekuensi yang tidak bisa diremehkan. Bukan tidak mungkin jika terjadi bentrokan malah penyelenggara yang akan kena getahnya. Dengan pengandaian bahwa kepolisian lebih bersikap afirmatif kepada massa intoleran, jangan kaget jika penyelenggara yang akan disalahkan – bahkan walau pun hanya bersikap defensif dan sekadar membela diri.
Berkoordinasi dengan kepolisian, kendati boleh jadi terasa nyebelin, tidak bisa diabaikan. Mula-mula sebagai langkah preventif agar tidak kelewat gampang disalahkan jika terjadi sesuatu. Koordinasi macam ini, en toch, cukup lazim dilakukan sebelum menggelar suatu kegiatan, baik demonstrasi maupun diskusi dan yang sejenisnya.
Namun jauh lebih penting lagi berkoordinasi dengan elemen-elemen masyarakat sipil lain. Untuk kegiatan-kegiatan dengan tingkat risiko tinggi, kerja sama dengan sebanyak mungkin elemen menjadi kebutuhan pokok. Bahkan sekadar koordinasi saja tidak lagi cukup, tapi benar-benar mesti bekerja sama menyiapkan mitigasi. Tahapan-tahapan yang lazim dilalui dalam perencanaan aksi massa patut dipertimbangkan untuk dipraktikkan ketika menyiapkan kegiatan-kegiatan dengan risiko tinggi mengundang massa intoleran.
Kemarin saya menyaksikan sendiri bagaimana langkah-langkah mitigasi sedikit banyak berhasil mengurangi risiko. Massa intoleran tak bisa merengsek masuk ke dalam kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung (18/5). Mereka hanya bisa berkerumun di halaman Polsek Buah Batu, yang hanya berjarak sekitar 100an meter, dan kemudian berlalu di halaman kampus sembari hanya bisa mengacungkan jari tengah.
Pekan lalu FPI mendatangi Daun Jati dan memaksa untuk menghentikan rangkaian diskusi Sekolah Marx yang bertema “Memahami Seni Lewat Pemikiran Karl Marx” yang sudah berlangsung sejak Februari 2016. Mereka tetap ngotot bahkan walau sudah diberitahu bahwa sesi hari itu tidak jadi digelar karena pembicara sedang berada di luar negeri.
Menyikapi peristiwa pekan lalu itulah digelar acara “Panggung Seni untuk Demokrasi”. Kali ini, Daun Jati tidak sendirian. Mereka telah berkoordinasi dengan elemen-elemen mahasiswa, baik di internal ISBI maupun kampus lain di Bandung. Sehari sebelumnya (17/5), berbarengan dengan pernyataan sikap pegiat literasi Bandung menolak pemberangusan buku di Gedung Indonesia Menggugat, dilakukan juga koordinasi dengan elemen sipil non-mahasiswa untuk “menyukseskan” kegiatan di ISBI tersebut. Daun Jati juga berkoordinasi dengan pihak kampus.
Padu-padan banyak elemen itulah yang membuat acara “Panggung Seni untuk Demokrasi” kemarin dapat berlangsung hingga selesai – dengan kredit terbesar tentu patut diberikan kepada para mahasiswa. Langkah-langkah mitigasi yang diambil, sejauh pengamatan saya, cukup berhasil memberi sinyal kuat bahwa kali ini penyelenggara lebih siap untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Sinyal kuat itu sudah terpancar sejak dari pintu gerbang kampus yang hari itu hanya dibuka satu.
Boleh jadi ada andil kepolisian yang mungkin saja berinisiatif menahan massa dari luar agar tidak memaksa merengsek masuk ke dalam kampus. Jika pun itu benar, saya melihat hal itu bukan “sepotong kebaikan hati kepolisian”. Langkah-langkah mitigasi itulah yang, menurut saya, sedikit banyak mengkondisikan kepolisian untuk kali ini tidak gampangan mengafirmasi massa intoleran. Juga memaksa massa intoleran itu untuk berpikir dua kali jika hendak nekat-nekatan.
Beberapa waktu lalu, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga berhasil menjaga acara pemutaran film “Senyap”. Kendati massa intoleran sudah berjubel di sekitar kampus, tapi kesiapan penyelenggara, yang bahu membahu dengan mahasiswa, berandil besar dalam memastikan kegiatan dapat dilangsungkan sampai selesai.
Ini situasi yang menyedihkan sebenarnya. Menyaksikan para mahasiswa, dibantu keamanan internal kampus, berjaga di beberapa titik strategis, dengan hanya satu gerbang kampus yang dibuka, menerbitkan sedikit aroma “kegentingan”. Padahal tidak ada yang genting. Hanya diskusi, orasi, performance art, ngobrol-ngobrol. Tidak ada kegiatan yang luar biasa dan aneh-aneh. Tidak ada lagu Internationale, apalagi mengerek bendera palu arit. Semuanya digelar di dalam kampus, bukan di jalan raya atau tempat terbuka lainnya.
Suasana (seakan) genting hanya karena acara diskusi di dalam kampus seharusnya tidak perlu muncul di negara yang mengaku menganut demokrasi. Tapi keadaan memang memaksa para mahasiswa untuk bersiap dan berjaga. Hari itu mereka memutuskan tidak sudi lagi mengalah kepada tekanan, intimidasi dan teror.
Sayangnya, keberhasilan di ISBI gagal diulang di Universitas Padjajaran. Agenda seminar “Marxisme sebagai Ilmu Pengetahuan” yang sedianya berlangsung hari ini gagal dilaksanakan. Pembatalan itu dilakukan karena, apalagi kalau bukan, tekanan dari kelompok intoleran dan peringatan dari Polres Sumedang.
“Hari Rabu pagi (kemarin) saya ditelpon orang yang mengaku kasat intel polisi Sumedang. Dia nanya konten acara itu, isinya apa, dan tujuannya apa. Dia cuma bilang, hati-hati (isu ini) sedang panas. Lalu kemarin siang, dari ormas terutama FPI datang ke kampus beberapa orang untuk menanyakan acara ini dan katanya (seminar) jangan sampai diadakan," ujar Ariq, penanggungjawab seminar seperti dikutip PortalKBR.Com.
Kejadian terakhir ini memperlihatkan betapa langkah-langkah mitigasi itu mesti dilakukan tak hanya untuk memastikan hari-H berjalan lancar. Untuk kegiatan dengan tingkat risiko yang tinggi, apalagi jika eksplisit menyebut marxisme atau komunisme atau PKI, mitigasi bahkan sudah harus disiapkan sejak proses perencanaan. Mitigasi tak hanya menyangkut teknis pengamanan di hari-H, melainkan juga memastikan para pemangku kepentingan – dalam kasus seminar di Unpad adalah rektorat-- mendapatkan dukungan yang tepat agar tidak jeri dengan tekanan.
Elemen-elemen sipil harus menerima kenyataan pahit bahwa banyak kampus di Indonesia, dalam hal ini rektorat, tidak punya cukup keberanian menghadapi tekanan kelompok intoleran, apalagi kepolisian. Menuding rektorat sebagai pengecut mungkin memuaskan kejengkelan dan kemarahan, tapi tidak menyelesaikan persoalan.
Apa yang terjadi dalam dua hari terakhir di Bandung, bagi saya, menunjukkan dengan cukup jelas bahwa kegiatan-kegiatan yang beresiko tinggi mengundang massa intoleran mesti disiapkan dan dirancang dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat sipil. Kampus, sekali lagi, tidak bisa lagi diharapkan dapat secara sendirian mengatasi tekanan. Pahit, tapi memang begitulah keadaannya.
Sejarah Indonesia kaya dengan cerita tentang kemerdekaan yang diperjuangkan, bukan kemerdekaan yang tercurah cuma-cuma sebagai anugerah Tuhan atau kebaikan hati penguasa. Sudah 70 tahun usia proklamasi kemerdekaan Indonesia, sudah 18 tahun usia reformasi . Jika sekadar kemerdekaan untuk berdiskusi pun ternyata masih harus diperjuangkan lagi, ya apa boleh bikin: Bung, ayo, Bung!
*Pendiri & editor http://www.panditfootball.com
https://tirto.id/20160531-7/mitigasi-menangkal-massa-intoleran-202803
0 komentar:
Posting Komentar