Sabtu, 25/06/2016 12:08 WIB
Taufiq Ismail ikut tanda tangan Manifes Kebudayaan yang anti-PKI. (CNN Indonesia/Ranny Virginia Utami)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Petir di siang bolong benar-benar pernah dirasakan
Taufiq Ismail. Saat itu, sekitar 1964, ia masih dosen muda di Institut
Pertanian Bogor (IPB). Bersama 29 dosen muda lain dari kampusnya, Taufiq
hendak melanjutkan studi ke Kentucky, Amerika. Mereka dapat beasiswa.
Paspor, tiket, semua sudah di tangan. Tiga hari lagi berangkat.
Tapi mendadak Taufiq tidak diperbolehkan berangkat. Beasiswanya dicabut begitu saja. Pupus sudah harapan punya gelar S2 dan S3 dari kampus di Amerika.
Penyebabnya, Taufiq termasuk salah satu seniman yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan, pernyataan kelompok seniman dan sastrawan yang bertentangan dengan keinginan-keinginan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bidang seni budaya.
Paspor, tiket, semua sudah di tangan. Tiga hari lagi berangkat.
Tapi mendadak Taufiq tidak diperbolehkan berangkat. Beasiswanya dicabut begitu saja. Pupus sudah harapan punya gelar S2 dan S3 dari kampus di Amerika.
Penyebabnya, Taufiq termasuk salah satu seniman yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan, pernyataan kelompok seniman dan sastrawan yang bertentangan dengan keinginan-keinginan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bidang seni budaya.
Dari 30 dosen di IPB dan 30 lagi di Institut Teknologi Bandung (ITB),
Taufiq satu-satunya nama yang dicoret dari daftar penerima beasiswa,
meski ia sendiri sebenarnya sudah pernah ke Amerika. "Ini seperti petir,
halilintar."
Bukan hanya itu, beberapa hari kemudian ia masih mengalami kesialan. "Saya ke kantor fakultas untuk ambil gaji. Di daftar gaji, nama saya sudah dicoret. Kata petugas TU [Tata Usaha], saya sudah dipecat," Taufiq bercerita pada CNNIndonesia.com, saat ditemui di kantornya di kawasan Utan Kayu, Jakarta, baru-baru ini.
Kata Taufiq, seniman yang bernasib seperti dirinya banyak. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah. Apalagi Wiratmo Soegito, HB Jassin, dan Boen S. Oemarjati yang menggagas Manifes Kebudayaan. Pernyataan itu ditandatangani 20 sampai 30 seniman di Jakarta, dan meluas sampai ke ratusan orang di daerah.
"Dalam Manifes [Kebudayaan] itu, kami menyatakan bahwa kemerdekaan atau kebebasan berkarya harus dihormati," ujarnya. Rupanya itu membuat marah PKI dan Lekra, kelompok budaya yang berafiliasi dengan PKI.
"Kami diserang habis-habisan," ujarnya. PKI menganggap, berbudaya itu tujuannya untuk mendukung politik. Sementara Manifes Kebudayaan menyebut itu harus seimbang.
PKI akhirnya berhasil menghasut Soekarno, Presiden RI kala itu, untuk membubarkan Manifes Kebudayaan. "Dinyatakan terlarang, karena berbahaya bagi revolusi."
Sebutan buruk pun dilontarkan bagi Manifes Kebudayaan. "Diejek dengan istilah singkatan, Manikebu. Itu mengingatkan orang ke mani, sperma. Dan kebu, kerbau. Jadi seolah itu sperma kerbau," tutur Taufiq lagi. Seniman-seniman yang ikut tanda tangan bernasib buruk.
Karya-karya mereka dilarang. Selama dua tahun, 1964 sampai sekitar 1966, Taufiq dan kawan-kawan hanya bisa menulis dalam diam. Suara mereka seakan dibungkam. Kalau tidak dipublikasikan, maka terpaksa menggunakan nama samaran. Taufiq pun demikian.
Ia juga ikut dalam berbagai gerakan yang berusaha menjatuhkan pemerintahan Soekarno yang menurutnya sudah ‘dihasut’ PKI. Baru setelah meletusnya G30S dan anggota PKI banyak dikejar serta dibunuh, perlahan Taufiq bersuara kembali. "Tahun 1966 kembali lagi."
Di Balik Manifesto Kebudayaan
Taufiq tidak sembarangan saat memutuskan anti-PKI, bahkan hingga kini. Ia tergerak setelah menemukan buku ‘pedoman’ bagi internal PKI. Ia menyebut, buku itu dibikin oleh Vadim Valentinovich Zagladin, politikus Soviet yang menulis World Communist Movement.
"Kebetulan ada kawan yang mendapatkan buku itu," katanya, tak menjelaskan lebih lanjut.
Dalam buku itu, Taufiq bercerita, disebutkan ada 17 langkah bagi partai komunis untuk merebut kekuasaan. "Nomor satu sekali berdusta. Yang lain seperti memalsukan dokumen. Nomor 17, membunuh atau membantai," ujarnya menyebutkan langkah-langkah itu.
Saat itu, sekitar 1960-an, kondisi politik memang tengah memanas. PKI berusaha keras merebut kekuasaan dengan melarang partai-partai Islam serta membreidel surat kabar, seperti Pedoman dan Indonesia Raya. Menurut Taufiq, tujuan PKI yang diklaim akan memakmurkan kehidupan ekonomi dan memberikan kehidupan layak bagi buruh tani hanya dusta belaka. Perebutan kekuasaan merupakan tujuan utama ideologi dari Soviet itu.
"Kami melihat itu tidak baik. Seniman-seniman berkumpul membuat pernyataan," katanya.
Dibentuklah Manifes Kebudayaan. Sebelumnya, perjuangan melawan PKI dilakukan politikus. Tapi partainya dibubarkan. Kemudian para wartawan. Medianya dibreidel.
"Kami [seniman] tidak tinggal diam dan membuat Manifes Kebudayaan. Tapi ternyata pada akhirnya mengalami nasib yang sama," kata Taufiq. Sejak itu, mahasiswa lah yang bergerak.
Setelah PKI akhirnya digulingkan pada 1965 dan 1966, kebebasan berkarya Taufiq dan kawan-kawan pun kembali. Taufiq sendiri kemudian disebut sebagai seniman sastra Angkatan '66. (rsa/vga)
Bukan hanya itu, beberapa hari kemudian ia masih mengalami kesialan. "Saya ke kantor fakultas untuk ambil gaji. Di daftar gaji, nama saya sudah dicoret. Kata petugas TU [Tata Usaha], saya sudah dipecat," Taufiq bercerita pada CNNIndonesia.com, saat ditemui di kantornya di kawasan Utan Kayu, Jakarta, baru-baru ini.
Kata Taufiq, seniman yang bernasib seperti dirinya banyak. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah. Apalagi Wiratmo Soegito, HB Jassin, dan Boen S. Oemarjati yang menggagas Manifes Kebudayaan. Pernyataan itu ditandatangani 20 sampai 30 seniman di Jakarta, dan meluas sampai ke ratusan orang di daerah.
"Dalam Manifes [Kebudayaan] itu, kami menyatakan bahwa kemerdekaan atau kebebasan berkarya harus dihormati," ujarnya. Rupanya itu membuat marah PKI dan Lekra, kelompok budaya yang berafiliasi dengan PKI.
"Kami diserang habis-habisan," ujarnya. PKI menganggap, berbudaya itu tujuannya untuk mendukung politik. Sementara Manifes Kebudayaan menyebut itu harus seimbang.
PKI akhirnya berhasil menghasut Soekarno, Presiden RI kala itu, untuk membubarkan Manifes Kebudayaan. "Dinyatakan terlarang, karena berbahaya bagi revolusi."
Sebutan buruk pun dilontarkan bagi Manifes Kebudayaan. "Diejek dengan istilah singkatan, Manikebu. Itu mengingatkan orang ke mani, sperma. Dan kebu, kerbau. Jadi seolah itu sperma kerbau," tutur Taufiq lagi. Seniman-seniman yang ikut tanda tangan bernasib buruk.
Karya-karya mereka dilarang. Selama dua tahun, 1964 sampai sekitar 1966, Taufiq dan kawan-kawan hanya bisa menulis dalam diam. Suara mereka seakan dibungkam. Kalau tidak dipublikasikan, maka terpaksa menggunakan nama samaran. Taufiq pun demikian.
Ia juga ikut dalam berbagai gerakan yang berusaha menjatuhkan pemerintahan Soekarno yang menurutnya sudah ‘dihasut’ PKI. Baru setelah meletusnya G30S dan anggota PKI banyak dikejar serta dibunuh, perlahan Taufiq bersuara kembali. "Tahun 1966 kembali lagi."
Di Balik Manifesto Kebudayaan
Taufiq tidak sembarangan saat memutuskan anti-PKI, bahkan hingga kini. Ia tergerak setelah menemukan buku ‘pedoman’ bagi internal PKI. Ia menyebut, buku itu dibikin oleh Vadim Valentinovich Zagladin, politikus Soviet yang menulis World Communist Movement.
"Kebetulan ada kawan yang mendapatkan buku itu," katanya, tak menjelaskan lebih lanjut.
Dalam buku itu, Taufiq bercerita, disebutkan ada 17 langkah bagi partai komunis untuk merebut kekuasaan. "Nomor satu sekali berdusta. Yang lain seperti memalsukan dokumen. Nomor 17, membunuh atau membantai," ujarnya menyebutkan langkah-langkah itu.
Saat itu, sekitar 1960-an, kondisi politik memang tengah memanas. PKI berusaha keras merebut kekuasaan dengan melarang partai-partai Islam serta membreidel surat kabar, seperti Pedoman dan Indonesia Raya. Menurut Taufiq, tujuan PKI yang diklaim akan memakmurkan kehidupan ekonomi dan memberikan kehidupan layak bagi buruh tani hanya dusta belaka. Perebutan kekuasaan merupakan tujuan utama ideologi dari Soviet itu.
"Kami melihat itu tidak baik. Seniman-seniman berkumpul membuat pernyataan," katanya.
Dibentuklah Manifes Kebudayaan. Sebelumnya, perjuangan melawan PKI dilakukan politikus. Tapi partainya dibubarkan. Kemudian para wartawan. Medianya dibreidel.
"Kami [seniman] tidak tinggal diam dan membuat Manifes Kebudayaan. Tapi ternyata pada akhirnya mengalami nasib yang sama," kata Taufiq. Sejak itu, mahasiswa lah yang bergerak.
Setelah PKI akhirnya digulingkan pada 1965 dan 1966, kebebasan berkarya Taufiq dan kawan-kawan pun kembali. Taufiq sendiri kemudian disebut sebagai seniman sastra Angkatan '66. (rsa/vga)
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160625041911-241-140812/taufiq-ismail-tersambar-petir-akibat-manifes-kebudayaan/
0 komentar:
Posting Komentar