Jum'at, 03 Juni 2016 | 14:33 WIB
Ketua AJI Bandung Adie
Marsiela berorasi saat menggelar aksi peringatan World Press Freedom
Day di depan Polrestabes Bandung, Jawa Barat, 3 Mei 2016. Peserta aksi
mengutuk segala tindak kekerasan terhadap jurnalis oleh semua pihak,
menghentikan impunitas dan pengusutan kasus kekerasan pada jurnalis,
serta tuntutan pada Polda Jawa Barat untuk mengklarifikasi dan
pencabutan ancaman terhadap jurnalis peliput kerusuhan Banceuy oleh
Brimob Polda Jabar. TEMPO/Prima Mulia
Pengusiran yang dilakukan beberapa orang beratribut Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Bela Negara itu dinilai mengancam kebebasan pers dan nilai-nilai demokrasi. Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim menegaskan bahwa intimidasi dan pengusiran kepada jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistiknya adalah perbuatan melawan hukum. “Tindakan mereka melanggar Undang-Undang Pers,” katanya dalam rilis AJI Jakarta pada Jumat, 3 Juni 2016.
Menurut Nurhasim, pengusiran Febriana bukan tidak mungkin bisa menimpa jurnalis yang lain di lapangan. Itulah kenapa pengusiran tersebut dinilai sebagai ancaman terhadap profesi jurnalis secara umum. "Bila ada pihak yang keberatan dengan pemberitaan, dapat mengajukan hak jawab dan hak koreksi ke redaksi atau adukan ke Dewan Pers," ujar Hasim. "Itu cara sah yang diatur undang-undang di negara demokrasi."
Intimidasi dan pengusiran ini terjadi saat Febriana mewawancarai aktivis dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Para aktivis ini datang ke lokasi simposium karena keberatan logo organisasi mereka dicatut panitia simposium.
Di tengah wawancara, seorang laki-laki bersurban putih beratribut FPI mendatangi Febriana dan menghardik, “Ini Febriana. Ini dia yang kerap bikin berita ngawur.”
Beberapa laki-laki bersurban lain dan pria beratribut Gerakan Bela Negara belakangan ikut mendatangi Febriana. Seorang panitia dari Gerakan Bela Negara yang diwawancarai Febriana bahkan melarang jurnalis itu menulis soal pencatutan logo PMKRI. Dengan nada mengancam, panitia tersebut menunjuk-nunjuk ke arah Febriana dengan mengatakan, “Anda sudah difoto dan sudah direkam. Kalau berita itu dimuat, Anda bisa ditangkap.”
Kerumunan makin membesar dan mereka makin bersemangat memarahi Febriana. Mereka mengaku tidak suka dengan berita tentang mereka yang dimuat Rappler.com. Cercaan dan makian berkali-kali diarahkan kepada Febriana. Intimidasi terus berlanjut dan puncaknya mereka mengusir Febriana dari Balai Kartini. Mereka tidak ingin jurnalis ini meliput simposium tersebut.
Menurut AJI Jakarta, intimidasi dan pengusiran atas Febriana jelas-jelas telah melecehkan profesi jurnalis. "Pers dan jurnalis berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi," tutur Hasyim. Dalam UU Pers, dijelaskan pula bahwa pers berperan menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
Pers juga mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, mengawasi hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Intimidasi dan pengusiran jurnalis dari tempat liputan sama saja dengan menghalangi publik mendapatkan informasi yang benar dan akurat dari sebuah peristiwa. “UU Pers melindungi jurnalis dalam pekerjaannya, dari peliputan sampai pemuatan atau penyiaran berita,” ucap Hasyim.
Menurut Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung, tindakan massa beratribut FPI dan Gerakan Bela Negara yang menghalangi-halangi tugas jurnalis bisa dipidanakan. Pasal 18 UU Pers menyatakan setiap orang yang secara sengaja melawan hukum dengan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi tugas pers, terancam dipidana penjara maksimal 2 tahun atau denda Rp 500 juta. “Jadi jangan mengintimidasi dan mengusir jurnalis yang sedang menjalankan tugas jurnalistik,” kata Erick.
AHMAD FAIZ
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/06/03/063776580/aji-kecam-fpi-yang-intimidasi-jurnalis-di-simposium-anti-pki
0 komentar:
Posting Komentar