Nuzul Mboma
June 15, 2017
Semuanya bermula dari kegemaran saya membuka lembaran literatur sejarah di perpustakaan terkait tragedi pra/paska 1965, yang sampai detik ini masih diperdebatkan dan kontroversial. Cerita tentang seorang kakek berusia 80-an menjadi setitik cahaya untuk menelusuri lebih jauh mengenai tragedi 1965.
Kakek ini dulunya angota Pemuda Rakyat yang berafiliasi dengan partai kiri.
Ia termasuk yang selamat dari — meminjam istilah politbiro — “teror putih”: pembunuhan dan pengejaran
orang-orang kiri, hingga ratusan ribu nyawa melayang. Tragedi yang tak ada bandingannya
dalam sejarah modern. Bak bola bergulir, peristiwa yang terjadi di pusat
berimbas ke seantero negeri, tak terkecuali Ujung Pandang (Makassar).
Di usianya yang senja, Kakek masih sehat. Ia tetap bangga dan cinta dengan
partainya, meski kini sudah jadi sejarah masa lalu bahkan terlarang, dengan
dikeluarkannya TAP MPRS 1966, sejak kaum kanan menguasai parlemen.
Dengan segudang rasa penasaran dan hasrat euforia sejarah, saya
memberanikan diri mencari jejak si Kakek. Suatu malam di pinggiran kota
Makassar yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, semilir angin menemani
perjalanan saya di atas kendaraan bermotor roda dua. Bintang berhamburan di
langit malam, dan purnama yang bersinar terang menyertai saya hingga tiba di
depan rumah si Kakek.
Hingga pertemuan kelima, Kakek masih trauma untuk membuka memori masa
lalunya. Dibakar semangat belajar sejarah, saya tidak jua menyerah. Di
pertemuan yang ke sekian kali, akhirnya ia mulai membuka diri dan pintu
hatinya. Mungkin ia simpati dan kagum dengan semangat muda saya. Ditemani kopi
hitam dan rokok kretek, kami mulai berdiskusi. Pendengarannya yang mulai
terganggu akibat usia senja, tidak menyurutkan semangatnya.
Kami percaya bahwa kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah
hak semua orang di muka bumi. Berlandaskan hal tersebut, reportase ini saya
tulis secara terbuka.
Berkat buku dan literatur, saya sedikit mengikuti
perkembangan politik tahun 1950–1960-an. Dengan agak serius sekaligus tersipu,
saya memberanikan diri bertanya kepada Kakek mengenai pendapatnya tentang
haluan politik pasca peristiwa Madiun 1948.
Tidak langsung menjawab, ia menyeruput kopinya yang masih agak panas.
Barulah ia membuka suara, “Saya pribadi melihat haluan politik partai paska
Madiun tahun 1950-an di bawah kepemimpinan Aidit mengarah ke parlementarisme,
dan mengadopsi program penyatuan Front Nasional yang bercorak borjuis.”
Sambil menyalakan korek kayu dan mengisap rokoknya, ia
melanjutkan. Tanpa disadari, implikasinya bisa dilihat pada 1960-an dan setelah
G30S. Di awal 1960-an misalnya, anggota partai dan beberapa kader berhasil
menduduki sektor pemerintahan, baik DPRD, Walikota, hingga Kepala Desa di
kampung-kampung, dan menikmati fasilitas negara yang mengarah ke cara hidup
borjuis.
“Nah, di sinilah pemborjuisan partai menemui puncaknya,
mengarah ke revisionis ala Kruschev, dan mengambil strategi teori dua tahap
stalin mentah-mentah, dengan asumsi bahwa itu selaras dengan indonesia,” Kakek
bertutur.
Kakek penyintas (Sumber: Pribadi)
Dengan
jalan damai, pimpinan partai pelan-pelan mengarah ke avonturisme dan
oportunisme. Hanya dengan sekali pukul, kaum kontrev (kontra revolusi) di bawah
komando militer reaksioner berhasil menghancurkan partai, dan menghabisi
anggota serta seluruh simpatisan. “Beruntunglah yang masih selamat seperti
saya. Ini mungkin berkat perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa juga ya,” ujar
Kakek.
Seketika, PKI ambruk. Kakek berkata
bahwa ia pernah membaca dokumen politbiro yang ditulis di Jawa Tengah tahun
1966 dan 1967. Dokumen ini beredar di bawah tanah dan sampai ke tangannya tahun
1980-an berkat sisa koneksi politiknya. Saya bertanya agak dekat ke telinganya:
“Apa isi dokumen itu ‘Kek?”
Ia terdiam sejenak, mengumpulkan memori masa lalunya
sambil membuang abu rokoknya. Jawabnya: “Itu kritik-otokritik politbiro di
bawah tanah tahun 1966–1967 terhadap pimpinan eksekutif partai sebelum tragedi
G30S yang oportunis, dan makin menjauh dari pedoman Marxis-Leninis. Kolaborasi
kelasnya sangat erat dengan kepemimpinan Soekarno, dan pimpinan tertinggi
partai bisa dikatakan mendekati avonturisme karena strategi politiknya yang
menjauh dari Marxis-Leninis.”
Dalam hati saya berkata, sungguh tajam pengetahuan
politik Kakek. Imajinasi politik saya ikut terseret dan terhanyut merasakan era
generasinya dulu. Meski jauh dari euforia politik di pulau Jawa karena
berdomisili di Ujung Pandang, kesadaran politiknya begitu bergelora pada masa
itu. Sebelum teror putih, usia Kakek masih muda. Berlangganan Koran Harian
Rakjat dan mengoleksi buku terbitan partai Jajasan Pembaruan, ia selalu
mengikuti perkembangan politik pusat dan kesadaran ideologisnya terdorong.
Koleksinya itu kini tak
tahu di mana rimbanya.
Pertemuan hari itu saya akhiri. Kakek belum sepenuhnya
membuka hingar bingar dan pandangan politiknya di era Orde Lama. Pertemuan
singkat yang ke sekian kalinya itu menimbulkan rasa penasaran;
pertanyaan-pertanyaan belum terjawab tuntas. Saya melangkah pulang dari rumah
Kakek dengan setumpuk keraguan dan rasa belum puas dengan cerita-cerita
singkatnya.
Mungkin kakek membaca rasa pilu di benak saya. Ketika
hendak berpamitan, ia berkata ringan: “Selepas sholat subuh, datanglah kemari
lagi, Kakek tunggu di depan rumah.”
Selepas subuh, saya kembali berbegas ke rumah Kakek.
Jalanan masih lengang, matahari tampak malu hadir lebih awal, dan bau air laut
menyambar hidung. Kediaman Kakek hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari
pinggiran laut. Saat saya jumpai, Kakek mengenakan peci dan menatap kosong ke
langit. Barangkali mencoba menggali ingatan masa lalunya yang terkubur.
“Ada hal yang tak mudah untuk dilupakan ‘Nak.
Kawan-kawanku yang mati di tangan kaum kontrev membuatku selalu berdoa selepas
sholat. Semoga arwah kawan ideologisku tenang di alam sana, dan para korban
yang dipaksa mati terampuni dosanya” ujarnya lirih.
Sebelum bertanya tentang genosida teror putih, cerita
tentang bagaimana kawan-kawannya mati, dan bagaimana ia bisa melewati hari demi
hari paska tragedi G30S, saya mengungkit euforia masa keemasannya ketika muda
di era Orde Lama.
“Aku dulu antusias mengikuti perkembangan politik. Bukan
hanya di pulau Jawa denyut politik itu bergelora, tapi massa rakyat di kota ini
juga. Kesadaran politik menjalar hingga ke pelosok-pelosok,” kenangnya. Ia
masih ingat, Pemuda Rakyat di tempatnya tinggal aktif mempropagandakan
pembebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda. Apalagi, kota ini dulu dijadikan
pusat komando Mandala tahun 1962 untuk menggempur sisa-sisa kolonial belanda di
Irian Barat.
Dalam narasi
sejarah orde baru, hanya militer yang berperan heroik terkait pembebasan Irian
Barat. Peran kaum kiri serta sipil dihapuskan. Kakek menceritakan ini sambil
merenungkan masa itu. Kutatap matanya lebih dalam. Pada matanya terpantul sinar
fajar di ufuk timur, dan saya sontak terseret ceritanya.
Saya
menerka-nerka, mungkin Kakek hanya mengingat momentum penting saja. Maklum usia
senja merenggut pelan ingatannya. Saya kembali bertanya, apa saja kerja-kerja
politik organisasi Kakek di era 1960-an. Ia bercerita, ketika program partai di
pusat dijadikan pedoman propaganda, “Kami di sini juga turut bekerja sesuai
perintah partai. Bahkan simpatisan dan anggota antusias mengkampanyekan program
partai.” Mereka datang ke Makassar untuk kegiatan-kegiatan politik dan tersebar
dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan.
Ulang tahun partai yang dirayakan besar-besaran di
Ibukota Jakarta (Mei 1965) menjadi momentum bahagia bagi kaum revolusioner.
“Beberapa anggota dan simpatisan di sini dulu rela berangkat dengan kapal laut
demi sampai ke Ibukota, meramaikan hajat besar yang jadi perhatian dunia di
masa keemasannya,” ujar Kakek sembari menarik nafas dalam-dalam.
Di benak saya, Kakek sepertinya terhanyut mengingat
memori muda abad 20 ketika Indonesia masih berumur jagung melawan kolonialisme.
Matanya berkaca-kaca; kulit keriputnya menandakan kalau usianya tak muda lagi.
Matahari makin menjulang tinggi, membawa peradaban baru
di pagi hari dan menerangi kehidupan di muka bumi. Kakek berkata, “Di lain
waktu datanglah kembali dan aku akan bercerita lebih banyak lagi.”
Saya berpamitan, dan kaki melangkah pelan beranjak
pulang. Dengan keyakinan bahwa pengetahuan adalah milik “anak semua bangsa”
(meminjam bahasa Pramoedya), maka tulisan ini wajib dipublikasi untuk umum.
Maaf, beliau belum bersedia namanya diketahui oleh umum. Entah alasan politis
atau pribadi, saya tidak tahu.
https://medium.com/ingat-65/narasi-tragedi-1965-yang-terkubur-di-kota-makassar-373ac2b35306
0 komentar:
Posting Komentar