Isyana Artharini
Wartawan BBC Indonesia
2 Juni 2016
Simposium bertema
mengamankan Pancasila, yang digelar sebagai "tandingan" atas simposium
Tragedi 65 yang digelar oleh pemerintah pada April 2016 lalu, ditutup
pada Kamis (2/6) dengan sembilan poin rekomendasi, salah satunya adalah
menuntut agar PKI "minta maaf pada rakyat Indonesia dan negara".
Dalam rekomendasi yang dibacakan oleh politikus Golkar dan Indra Bambang Utoyo itu, disebut bahwa PKI "harus minta maaf" karena "sejarah mencatat ada pemberontakan PKI" yang terjadi pada 1948 dan 1965 yang mereka nilai sebagai "pengkhianatan kepada Pancasila dan rakyat untuk merebut kekuasaan yang apabila berhasil akan disusul penggantian ideologi Pancasila oleh komunis".
Menurut simposium tersebut, PKI "masih berusaha eksis dan sejak reformasi sudah tiga kali kongres".
Mereka juga meminta agar pemerintah "memperkokoh dasar hukum untuk pelarangan PKI" selain juga mendesak pemerintah memasukkan muatan materi Pancasila dalam kurikulum pendidikan formal, mulai dari usia dini, sekolah dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi, dan pendidikan non-formal dan informal.
Saat ditemui usai pembubaran simposium, Ketua panitia pengarah Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan bahwa rekomendasi ini "sudah dibawa oleh staf Menkopolhukam".
"Menkopolhukam akan memanggil dua panitia ini (simposium Tragedi 65 dan simposium Pancasila), untuk berdialog, mungkin tanggal 10 (Juni) katanya, untuk menjadikan satu rekomendasi itu. Diharapkan ada rekomendasi bersama, antara Aryaduta dengan sini," kata Kiki.
'Tidak disatukan'
Kiki tidak membantah bahwa salah satu yang menjadi fokus simposium yang dia arahkan adalah pemberontakan PKI pada 1948 di Madiun, "Ya karena tidak dibicarakan di Aryaduta, kita bicarakan di sini."
Sebelumnya, Agus Widjojo, gubernur Lemhanas dan ketua Simposium Tragedi 1965, pada hari pertama simposium Pancasila menyatakan bahwa tim dari dua simposium berbeda ini tidak akan 'disatukan' sehingga masing-masing pihak akan memberi rekomendasi yang berbeda kepada pemerintah untuk menjadi bahan pertimbangan.
Juru bicara presiden, Johan Budi, juga sudah menyatakan bahwa presiden ingin mendengar dari berbagai pihak, "Baik pro maupun yang kontra”.
'Pengusiran' wartawan
Terhadap 'intimidasi' yang dialami oleh wartawan Rappler, Febriana Firdaus, Kiki menjawab, "Oh enggak, tanya FPI dong, saya dialog sama dia tadi, panitia sih enggak (mengusir)".Meski begitu, Kiki mengatakan dia sempat menyatakan koreksi kepada Febriana atas redaksional tulisannya mengenai simposium.
"Tujuan simposium ini adalah untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa termasuk mereka-mereka yang berseberangan dengan kami, tapi tidak ada termasuknya, 'menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang berseberangan dengan kami'. Saya hanya bilang ke dia (kesalahannya), 'oke pak, terima kasih'," Kiki menjelaskan perbincangannya.
Menurut Febriana, dia sedang mewawancarai perwakilan dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia yang mendatangi Balai Kartini karena keberatan logo mereka dicatut panitia simposium, saat kemudian diintimidasi.
Terhadap tuduhan pencatutan logo tersebut, Kiki juga menjawab,
"Mereka (PMKRI) protes, ya sudah kita turunkan saja (logonya)."
Tapi, apakah mereka awalnya setuju ikut dalam simposium ini?
"Ya kalau ada logonya dia, berarti ada yang ngirim logo dong."
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160602_rekomendasi_simposiumpancasila.shtml
0 komentar:
Posting Komentar