Oleh: Made Supriatma
Saya memperhatikan baik-baik, dua simposium
tentang pembantaian 1965. Jelas, simposium yang pertama terlihat jauh
lebih serius. Para pembicara memang berbicara dengan fakta dan yang dinarasikan adalah benar-benar pengalaman nyata.
Menurut saya, simposium yang kedua sungguh tidak bisa dibandingkan dengan yang pertama. Para pembicara hanya bermaksud membenarkan apa yang sudah menjadi agenda mereka.
Menurut saya, simposium yang kedua sungguh tidak bisa dibandingkan dengan yang pertama. Para pembicara hanya bermaksud membenarkan apa yang sudah menjadi agenda mereka.
Ini adalah simposium politik. Tujuannya lebih pada provokasi. Tidak ada niat sedikitpun dari mereka yang terlibat didalamnya untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Sebagian besar pembicara mencoba menunjukkan bahaya Komunisme. Mereka menginsinuasi kebangkitkan PKI. Namun tidak ada satu pun dari antara mereka yang bisa menunjukkan bukti-buktinya. Ketika digali lebih dalam, mereka hanya mengatakan ini rahasia sebab kalau dibongkar pelakunya akan lari.
Yang lebih parah lagi adalah pada level intelektual. Tampaknya mereka tidak tahu barang yang mereka kritik. Tidak terlalu mengherankan jika Letjen Pur. Kiki Syahnakri mempermalukan dirinya sendiri karena menjelaskan filsafat Aristotelian dengan Materialisme ... dan kemudian Ateisme. Dia seperti kebingungan sendiri. Dan, akhirnya, dia mencari jalan yang paling mudah yang biasa dilakukan politisi: menyalahkan wartawan yang memberitakan kepandirannya.
Bahkan orang sekaliber Panglima TNI, Jendral Gatot Nurmantyo, yang seharusnya menjadi 'standard bearer' -- karena jabatannya sebagai Panglima TNI! -- untuk militer Indonesia, tidak bisa membedakan kapitalisme, sosialisme, komunisme dan dengan seenaknya menghubungkan dengan ateisme.
Hampir semua mereka yang berbicara sangat terobsesi menghubungkan komunisme dengan ateisme. Entah mengapa, manusia yang bertuhan dianggap menjadi manusia yang lebih baik. Sebaliknya yang tidak bertuhan dianggap tidak bermoral. Namun, dengan tarikan napas yang sama, mereka berbicara tentang bahaya fundamentalisme agama.
Mereka mengambil contoh di Eropa, dimana gereja-gereja kosong karena tidak ada orang beribadah lagi, namun dalam satu helaan napas ingin menjadi seperti Eropa yang makmur, aman, dan sejahtera. Mereka tampak kesulitan untuk mencari contoh untuk membenarkan apa yang menjadi agenda mereka.
Saya curiga, jangan-jangan mereka sendiri sesungguhnya tidak mempercayai apa yang mereka katakan. Kalau demikian keadaannya, saya sedikit optimis bahwa sesungguhnya mereka masih punya sedikit kecerdasan. Sikap anti-Komunis yang mereka tunjukkan hanyalah retorika belaka.
Namun sangkaan saya musnah total ketika melihat pidato Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jendral Purn. Ryamizard Ryacudu. Dengan yakin, Ryamizard mengambil contoh Nazi Jerman dan Ku Klux Klan di Amerika untuk menggambarkan PKI. Dia mengatakan, coba pakai lambang Swastika di Jerman, pasti ditangkap dan dipenjara. Juga coba perlihatkan lambang Ku Klux Klan di Amerika, pasti akan ditangkap (tidak betul; yang akan dihukum adalah kalau sudah dalam bentuk 'hate crime').
Sepintas, penjelasan Ryamizard kelihatan meyakinkan. Kecuali bahwa perbandingannya itu salah besar. Nazi Jerman membunuh enam juta lebih orang Yahudi. Sementara anggota-anggota PKI adalah pihak yang dibunuh. Ada 500 ribu hingga satu juta orang diperkirakan dibantai. Belum lagi jutaan orang keluarganya yang menderita karena stigamtisasi dan diskriminasi sistematif oleh pemerintahan Soeharto yang didukung oleh jendral-jendral seperti Ryamizard.
Dengan juga dengan Ku Klux Klan. Merekalah pihak pembantai. Korbannya adalah orang-orang kuit hitam (dan Yahudi) di Amerika. Klan adalah gerakan supremasi orang kulit putih. Bukankah anggota-anggota PKI dan keluarganya yang terbantai dan terdiskriminasi?
Tidak terlalu sulit untuk mencari padanan Nazi dan Ku Klux Klan di Indonesia. Apa itu? Tidak lain dan tidak bukan padanan yang paling pas adalah: Orde Baru. Seperti Nazi, Orde Baru adalah rejim fasis. Seperti Ku Klux Klan yang mendiskriminasi kulit hitam Amerika, Orde Baru mendiskriminasi jutaan warga negara Indonesia dengan menjadikan mereka warga pariah. Ryamizard tentu tidak akan bisa mengerti ini. Sebab dia adalah bagian didalamnya.
Ini semua membuat saya berpikir bahwa memang ada lobang besar dalam kehidupan intelektual tentara kita. Ternyata tidak saya saja yang punya pikiran yang demikian. Seorang kawan, yang adalah direktur sebuah think tank ternama, juga mensinyalir hal yang sama. Tentara kita tidak saja kehilangan daya inteleknya namun juga menjadi anti-intelektual.
Tidak terlalu mengherankan ketika melihat presentasi-presentasi jendral-jendral kita, sulit sekali menemukan pikiran yang orisinil dan menginspirasi. Lebih parah lagi, karena tidak punya kemampuan mengunyah kenyataan dengan baik, tentara lari ke hal-hal yang berbau konspirasi (bahwa semua negara ingin menguasai energi Indonesia yang berlimpah -- padahal kita tidak punya!; semua negara ingin menguasai tanah kita untuk bahan pangan mereka -- pahadal produksi padi per hektar Vietnam dan Thailand dua kali lipat produksi kita!, dan lain sebagainya). Ini sangat kuat terlihat dari teori 'proxy war' -- yang tidak lain adalah versi lain dari teori subversi digabung dengan teori konspirasi.
Mereka menjadi demagog dengan meniup-niupkan sentimen anti-asing namun pada saat yang bersamaan tidak bisa hidup tanpa pengaruh dan konsumsi barang-barang asing. Mereka menjadi chauvinistik sempit dan selalu curiga serta merasa rendah diri.
Mengapa ini terjadi? Ada banyak faktor mulai dari soal pendidikan dan soal-soal struktural di dalam tubuh tentara sendiri. Namun ada satu faktor penting yang menurut saya harus diingat: jendral-jendral yang berbicara di simposium anti-PKI ini adalah mereka yang dididik oleh Orde Baru. Mereka dididik dan dibentuk untuk mengabdi kepada Soeharto. Sulit bagi mereka untuk keluar dari cara ber[ikir itu.
Itulah. Saya setuju dengan kawan saya yang direktur sebuah think tank itu, dalam hal intelek, para jendral kita sedang 'racing to the bottom.'
Kita tentu tidak menginginkan hal ini terus berlanjut. Kita membutuhkan tentara-tentara pembaharu yang berpikir dan mampu melihat gambar besar tantangan pertahanan Indonesia. Saya tahu, ada banyak yang punya kemampuan. Namun kultur di dalam tentara sendiri tidak memungkinkan mereka tumbuh. Yang justru subur adalah yang dipertontonkan dalam simposium proviokasi kemarin itu.
https://www.facebook.com/m.supriatma/posts/10153863053103533
0 komentar:
Posting Komentar