Senin, 6 Juni 2016 | 10:57 WIB
Oleh: Bambang Priyo Jatmiko*
Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri
usai konferensi pers Simposium Nasional dan Apel Akbar "Mengamankan
Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan ideologi
Lain"di Dewan Dakwah Indonesia. Foto:
KOMPAS.com - Ribut-ribut soal kebangkitan komunisme di Indonesia yang digulirkan sejumlah purnawirawan kembali menimbulkan pertanyaan, apa iya komunis mau bangkit lagi?
Tak jelas apa motif yang mendorong para purnawirawan tersebut "menakut-nakuti" publik dengan mengatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) akan bangkit lagi? Motif politik? Saya tidak tahu.
Pun jika tudingan para purnawirawan itu benar adanya, apa keuntungan yang diperoleh para pengikut PKI dengan kembali membangunkan partai tersebut?
Pertanyaan inilah yang belakangan menggelayuti saya. Apalagi saat para purnawirawan dan sejumlah ormas menengarai akan terjadi kebangkitan PKI di Tanah Air.
Komunisme, tanpa harus dilawan dengan kekerasan dan melibatkan ormas, telah terbukti gagal. Setidaknya itu terlihat di banyak negara.
Impian indah akan lahirnya masyarakat tanpa kelas kerapkali harus berakhir tragis dan jauh dari yang diangankan: kediktatoran dan totaliarianisme.
Komunisme, Tawaran yang Menggiurkan?
Komunisme merupakan implementasi dari gagasan Karl Marx yang mendambakan terciptanya tatanan sosial, politik dan ekonomi tanpa kelas. Di mana, alat-alat produksi dimiliki bersama tanpa membedakan satu orang dengan yang lainnya.
Dalam struktur masyarakat kapitalis, menurut Marx, masyarakat terbagi dalam dua kelompok, yakni pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja (proletar). Kapitalis sebagai pemilik alat-alat produksi (aset), melakukan eksploitasi terhadap kelompok pekerja guna meraih untung sebanyak-banyaknya.
Karena itu untuk menciptakan keadilan di masyarakat, Marx menyatakan harus dilakukan "perjuangan kelas", yakni perlawanan kelompok pekerja terhadap pemilik modal. Dengan cara ini, pola hubungan yang eksploitatif bisa dihilangkan seiring dengan dikuasainya aset-aset produksi oleh kelas pekerja.
Dalam kondisi tertentu, gagasan yang diusung Marx ini memang menarik.
Karena sejauh ini, pemikiran tersebut mampu mendefinisikan mana kelompok berkuasa yang lalim, dan mana kelompok yang tertindas serta mendorong melakukan aksi untuk melawan struktur yang eksploitatif.
Selain itu, pemikiran ini juga menawarkan hasil yang menggiurkan yaitu terciptanya struktur masyarakat egaliter, di mana semua aset yang ada menjadi milik bersama.
Berdirinya negara komunis sedikit banyak juga diawali oleh perlawanan terhadap kelompok berkuasa yang dianggap sebagai representasi borjuis yang menguasai banyak aset.
Seperti Revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia, yang menjadi tonggak berdirinya Uni Soviet. Gerakan tersebut diawali oleh ketidakpuasan terhadap Kekaisaran Rusia dan keluarganya yang menguasai hampir seluruh aset di wilayah tersebut.
Saat itu penduduk Rusia sebagian besar adalah petani miskin yang tak berpendidikan dan sisanya adalah buruh pabrik. Mereka tak punya aset yang diandalkan, selain tenaga mereka sebagai pekerja.
Karena itu, gagasan mengenai masyarakat tanpa kelas dan pemilikan aset secara kolektif menjadi mimpi indah bagi mereka. Tak heran, kelompok Bolshevik yang dipimpin oleh Vladimir Lenin mendapatkan dukungan yang cukup besar dari petani miskin dan kelompok buruh.
Dalam perjalanannya, masyarakat yang dulunya memimpikan kepemilikan aset secara kolektif dan terdistribusi merata, menghadapi kenyataan bahwa negara mereka jatuh dalam kediktatoran.
Selain itu sistem ekonomi komando, yang merupakan fitur utama dari sistem komunis, membuat laju pertumbuhan ekonomi Uni Soviet bagaikan jalan di tempat. Ini karena semua aspek perekonomian diatur oleh pemerintah.
Di satu sisi sistem ekonomi ini memang mampu memperkecil kesenjangan yang ada di masyarakat, dan pemerintah dengan mudah mengendalikan laju inflasi. Namun di sisi lain tidak ada keleluasaan dalam perekonomian sehingga pasar tidak terbentuk secara sempurna.
Akibatnya, ekonomi Uni Soviet makin tertinggal dari negara-negara yang menganut sistem pasar. Hingga pada 26 Desember 1991 negara ini bubar.
Di Indonesia, lahirnya komunisme kurang lebih juga berasal dari kondisi yang sama dengan Uni Soviet, yakni aset-aset dikuasai oleh penguasa kolonial.
Pada 1914 Henk Sneevliet dan sejumlah aktivis buruh pelabuhan membentuk Asosiasi Sosial Demokrat Hindia Belanda (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging/ ISDV).
Dengan berpegang pada konsep Marxisme, kelompok ini menyerukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial yang represif.
Seiring dengan berjalannya waktu, makin banyak kelompok yang tertarik dengan gagasan ISDV.
Ini karena ISDV membawa "kesadaran baru" yang lebih universal dalam memaknai perlawanan terhadap Belanda, yakni kesadaran berbasiskan ekonomi: eksploitasi terhadap kaum lemah oleh penguasa yang memiliki modal besar.
Dalam perjalanannya, kelompok komunis tersebut mendeklarasikan diri sebagai Partai Komunis Indonesia. Namun, jalan terjal terus dihadapi oleh PKI.
Meski berjasa dalam melawan Belanda, gesekan dengan kelompok lain menjadikan PKI dianggap sebagai musuh bersama. Tak hanya itu, gagasan masyarakat tanpa kelas dan kepemilikan aset secara kolektif juga kurang populer.
Kelas Menengah
Seperti dibicarakan sebelumnya, belakangan ini sejumlah pihak menengarai bahwa komunisme akan bangkit di Indonesia. Bahkan dengan berapi-api diserukan agar seluruh rakyat Indonesia mewaspadai gerakan tersebut.
Ada yang menganggap itu serius. Apalagi komunisme dikaitkan dengan ateisme yang membuat sejumlah ormas ikut menyerukan bahaya kebangkitan ideologi tersebut di Indonesia.
Namun demikian, ada juga yang menertawakan klaim tersebut, lantaran dianggap mengada-ada. Beberapa menyebut seruan itu hanya untuk mencari proyek, serta ada motivasi politik di baliknya.
Kalau saya? Ya, sebagai orang yang pemahaman agamanya masih "hijau" serta buta terhadap masalah politik, memilih untuk tidak serius maupun tidak tertawa.
Namun di sini saya cuma mau bertanya, apa iya komunisme akan bangkit di Indonesia?
Sebagaimana diketahui, Indonesia dihuni bukan oleh kelas pekerja yang tertindas oleh struktur produksi yang eksploitatif. Melainkan, didominasi oleh kelas menengah yang terkadang sudah merasa sebagai borjuis meski tak borjuis-borjuis amat.
Sejauh ini, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia mencapai 70 persen dari total penduduk.
Mengutip Asian Development Bank (2010), definisi kelas menengah adalah mereka dengan belanja per kapita per hari di rentang 2 dollar AS hingga 20 dollar AS atau sekitar Rp 27.000 hingga 270.000 per hari per orang.
Tak hanya sebatas itu kelas menengah didefinisikan. Hal lain yang juga menjadi ciri kelas menengah adalah golongan yang konsumtif dan senang berutang.
Untuk apa berutang dan konsumtif? Ya untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan lagi kelas bawah.
Atau dalam terminologi Marxisme, kelas menengah ingin menunjukkan dirinya sebagai kelas borjuis dan bukan lagi proletar. Meskipun dalam kenyataannya belum masuk kategori borjuis yang menguasai alat-alat produksi.
Karena gayanya yang ingin seperti borjuis itulah, beberapa orang menambahkan atribut "ngehek" untuk masyarakat kelas menengah.
Apa bukti "kengehekan" kelas menengah itu? Salah satunya adalah senang bepergian ke mana-mana dengan naik pesawat. Tapi pesawat murah. Jika delay, para kelas menengah tersebut hebohnya minta ampun di media sosial.
Lainnya adalah senang mengenakan barang-barang branded sebagaimana dikenakan oleh kalangan atas atau borjuis. Namun untuk menyiasati kantong yang tak terlalu tebal, kelompok kelas menengah suka berburu diskon, meskipun harus dilakukan pada tengah malam.
Selanjutnya adalah gemar memburu gadget baru, meskipun dengan cara mencicil. Dengan cara itu, si kelas menengah ingin menunjukkan dirinya selalu mengikuti trend teknologi.
Kelas menengah adalah golongan yang telah merasa mapan, yang akan sangat sulit bahkan mustahil untuk melakukan "perjuangan kelas" lantaran telah memiliki kesadaran sebagai borjuis dengan cara melakukan konsumsi.
Semakin konsumtif, makin berasa sebagai borjuis. Perjuangan kelas? Mungkin hanya tinggal kenangan.
Karena itu, untuk menghalau kebangkitan komunisme, tak harus dengan menggelar seminar, simposium, apel akbar maupun proyek-proyek lain yang menyedot anggaran.
Cukup digelar program diskon belanja nasional sesering mungkin, Insya Allah mayoritas rakyat Indonesia tak akan menoleh kepada ideologi yang bernama Komunisme, Marxisme dan sejenisnya.
* Wartawan dan penjaga gawang Desk Ekonomi Kompas.com
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/06/105736926/kebangkitan.komunisme.dan.kelas.menengah.ngehek.di.indonesia
0 komentar:
Posting Komentar