Simposium bertema "Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain" menghasilkan sembilan poin rekomendasi.
Desakan agar "PKI
minta maaf" dari simposium yang digelar sebagai "tandingan" atas
simposium Tragedi 65 yang disponsori pemerintah, dinilai tidak tepat
oleh perwakilan korban 1965 dan aktivis HAM.
Bedjo Untung, Ketua
YPKP 65-66, mengatakan, "Itu, kalau tidak salah, dalam rekomendasi
dikatakan, 'PKI harus dibubarkan', tapi kan dari dulu sudah dibubarkan,
sudah 50 tahun lalu dibubarkan, dan sudah tidak ada lagi."
Dia
menyebut bahwa rekomendasi yang menuntut pembubaran PKI itu justru akan
"menyulut emosi masyarakat," karena seolah PKI masih ada. Ia tidak
mengerti, bagaimana rekomendasi utama simposium itu adalah menuntut
permintaan maaf dari sesuatu yang tidak ada, yang sudah bubar dan
terlarang, "Saya khawatir apa yang direkomendasikan simposium itu
hanyalah satu halusinasi, satu mimpi di siang yang bolong, yang penuh
dengan kebohongan," kata Bedjo lagi.
Seusai simposium pada Kamis (3/6), ketua panitia pengarah
simposium Pancasila, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan bahwa
jika pihak korban meminta negara minta maaf, maka pihaknya juga 'boleh
menuntut maaf'.
Bedjo Untung, Ketua YPKP 1965-1966 disebut sebagai "Ketua CC PKI"
BBC Indonesia
Saat ditanya siapa PKI yang dimaksud oleh
rekomendasi, mengingat partai tersebut sudah bubar dan dilarang berdiri,
Kiki mengatakan, "PKI yang sekarang dong, kan ketua CC-nya sudah ada:
Bedjo Untung itu apa? (Bedjo Untung harus minta maaf) mewakili mereka
yang membunuh para jenderal TNI, para kyai, para santri, rakyat, dan
lain sebagainya."
"Kalau misalnya mereka meminta negara minta
maaf, pemerintah minta maaf, pemerintah yang dulu sudah nggak ada juga,"
ujar Kiki lagi.
Kiki tidak menyebut, bahwa kendati pemerintah yang dulu sudah tidak ada,, namun pemerintah Indonesia tetap ada.
Terhadap pernyataan dirinya disebut mewakili PKI, Bedjo Untung mengatakan bahwa dia adalah Ketua YPKP 65-66.
"Saya
tidak dalam kapasitas untuk mewakili apa yang disebut organisasi Partai
Komunis Indonesia, sekali lagi saya tidak berwenang. PKI lain dengan
YPKP 65, kalau saya dimintai minta maaf tidak tepat."
Bedjo tak
memasalahkan jika rekomendasi yang dihasilkan dari simposium Pancasila
nantinya disatukan dengan rekomendasi dari simposium Tragedi 65 karena
menurutnya itu sudah urusan panitia. Meski begitu dia menilai bahwa
rekomendasi simposium Pancasila "tidak rasional, tidak masuk akal, dan
tidak sesuai keinginan publik" karena menolak rekonsiliasi.
Tanggapan
yang senada terhadap rekomendasi simposium Pancasila juga diberikan
oleh Nursjahbani Katjasungkana, Koordinator International People's
Tribunal 1965.
"PKI-nya kan sudah tidak ada, dibinasakan sejak 66," katanya. Selain
itu, dia menilai rekomendasi agar PKI meminta maaf itu 'tidak
konsisten' dengan poin rekomendasi ketiga dari simposium balai Kartini
yang menyatakan "sangat menyesalkan dalam dua pemberontakan jatuh
sejumlah korban PKI baik dari pihak pemerintah, TNI, rakyat, dan
pemberontak PKI".
Suasana sidang IPT 1965 yang berlangsung di Den Haag dan dikoordinatori oleh Nursjahbani Katjasungkana.
Poin ini, menurut Nursjahbani, mengakui secara implisit bahwa ada penumpasan dan itu dilakukan berdasarkan perintah.
"Ada chain of command
dan kalau dari hasil penelitian yang dikemukakan pada simposium
Aryaduta oleh Bapak Iman Aziz, itu dikatakan di 35 daerah terbukti bahwa
sebelum turun melakukan pembantaian, tentara melatih banser-banser,"
ujarnya.
Definisi korban
Dalam
simposium Pancasila, titik berat diletakkan pada definisi korban karena
menurut Kiki, rakyat, ulama dan negara juga menjadi korban dari
pemberontakan Madiun 1948 dan ini tak dibahas dalam simposium Tragedi 65
di Aryaduta.
Terhadap gugatan akan definisi korban ini, Bedjo mengaku tak masalah. "Silakan,
saya justru senang sekali. Kalaupun hasil simposium tandingan itu
memasukkan definisi korban, saya pikir tidak ada masalah, dan justru
itulah kita bisa membuka sejarah yang benar."
Selain itu, soal simposium Aryaduta yang disebut tidak membahas soal 1948, Nursjahbani juga menambahkan, "Strict
dari judulnya, kan tidak sedang membahas 48, tema simposium sudah
jelas, 65 dari perspektif sejarah. Kalau mau membahas 48 harus ada topik
sendiri."
Nursjahbani pun mengingatkan bahwa secara kesejarahan
pembunuhan 1948 di Madiun "sudah diselesaikan baik secara politik maupun
hukum". "Memang tidak lewat pengadilan, tapi lewat proses politik di parlemen," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar