Isyana Artharini
Wartawan BBC Indonesia
3 Juni 2016
Desakan agar "PKI
minta maaf" dari simposium yang digelar sebagai "tandingan" atas
simposium Tragedi 65 yang disponsori pemerintah, dinilai tidak tepat
oleh perwakilan korban 1965 dan aktivis HAM.
Dia menyebut bahwa rekomendasi yang menuntut pembubaran PKI itu justru akan "menyulut emosi masyarakat," karena seolah PKI masih ada.
Ia tidak mengerti, bagaimana rekomendasi utama simposium itu adalah menuntut permintaan maaf dari sesuatu yang tidak ada, yang sudah bubar dan terlarang,
"Saya khawatir apa yang direkomendasikan simposium itu hanyalah satu halusinasi, satu mimpi di siang yang bolong, yang penuh dengan kebohongan," kata Bedjo lagi.
Seusai simposium pada Kamis (3/6), ketua panitia pengarah simposium Pancasila, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan bahwa jika pihak korban meminta negara minta maaf, maka pihaknya juga 'boleh menuntut maaf'.
"Kalau misalnya mereka meminta negara minta maaf, pemerintah minta maaf, pemerintah yang dulu sudah nggak ada juga," ujar Kiki lagi.
Kiki tidak menyebut, bahwa kendati pemerintah yang dulu sudah tidak ada,, namun pemerintah Indonesia tetap ada.
Terhadap pernyataan dirinya disebut mewakili PKI, Bedjo Untung mengatakan bahwa dia adalah Ketua YPKP 65-66.
"Saya tidak dalam kapasitas untuk mewakili apa yang disebut organisasi Partai Komunis Indonesia, sekali lagi saya tidak berwenang. PKI lain dengan YPKP 65, kalau saya dimintai minta maaf tidak tepat."
Bedjo tak memasalahkan jika rekomendasi yang dihasilkan dari simposium Pancasila nantinya disatukan dengan rekomendasi dari simposium Tragedi 65 karena menurutnya itu sudah urusan panitia. Meski begitu dia menilai bahwa rekomendasi simposium Pancasila "tidak rasional, tidak masuk akal, dan tidak sesuai keinginan publik" karena menolak rekonsiliasi.
Tanggapan yang senada terhadap rekomendasi simposium Pancasila juga diberikan oleh Nursjahbani Katjasungkana, Koordinator International People's Tribunal 1965.
"PKI-nya kan sudah tidak ada, dibinasakan sejak 66," katanya.
Selain itu, dia menilai rekomendasi agar PKI meminta maaf itu 'tidak konsisten' dengan poin rekomendasi ketiga dari simposium balai Kartini yang menyatakan "sangat menyesalkan dalam dua pemberontakan jatuh sejumlah korban PKI baik dari pihak pemerintah, TNI, rakyat, dan pemberontak PKI".
"Ada chain of command dan kalau dari hasil penelitian yang dikemukakan pada simposium Aryaduta oleh Bapak Iman Aziz, itu dikatakan di 35 daerah terbukti bahwa sebelum turun melakukan pembantaian, tentara melatih banser-banser," ujarnya.
Definisi korban
Dalam simposium Pancasila, titik berat diletakkan pada definisi korban karena menurut Kiki, rakyat, ulama dan negara juga menjadi korban dari pemberontakan Madiun 1948 dan ini tak dibahas dalam simposium Tragedi 65 di Aryaduta.Terhadap gugatan akan definisi korban ini, Bedjo mengaku tak masalah.
"Silakan, saya justru senang sekali. Kalaupun hasil simposium tandingan itu memasukkan definisi korban, saya pikir tidak ada masalah, dan justru itulah kita bisa membuka sejarah yang benar."
Selain itu, soal simposium Aryaduta yang disebut tidak membahas soal 1948, Nursjahbani juga menambahkan, "Strict dari judulnya, kan tidak sedang membahas 48, tema simposium sudah jelas, 65 dari perspektif sejarah. Kalau mau membahas 48 harus ada topik sendiri."
Nursjahbani pun mengingatkan bahwa secara kesejarahan pembunuhan 1948 di Madiun "sudah diselesaikan baik secara politik maupun hukum".
"Memang tidak lewat pengadilan, tapi lewat proses politik di parlemen," katanya.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160603_indonesia_tuntutan_pkimaaf
0 komentar:
Posting Komentar