Sejak penyelenggaraan Simposium Nasional Tragedi 1965 April lalu,
yang disusul simposium tandingan pada bulan Juni, desakan pengungkapan
kasus pelanggaran HAM terkait peristiwa itu kian menguat.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar
Panjaitan, pertengahan minggu lalu di Jakarta memastikan bahwa
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tahun 1965 akan dilakukan
melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi. Langkah hukum, seperti
membawa pelaku ke pengadilan, akan sangat sulit dilakukan. Kementerian
yang dipimpin Luhut saat ini juga sudah membentuk sebuah tim kajian,
untuk menelaah semua rekomendasi simposium terkait tragedi 65. Tim ini
juga akan menerima pendapat para ahli, dan dijamin bisa bekerja secara
independen. "Pemerintah tidak akan melakukan intervensi kerja tim pengkaji simposium 1965 ini. Tim ahli sudah bergerak dan bekerja," kata Luhut kepada wartawan di Jakarta.
Meski pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah, prosesnya dianggap lamban oleh pihak korban tragedi 65, tetapi kenyataan itu sejauh ini bisa diterima. Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 kepada VOA mengatakan, pemerintahan Jokowi tidak sepenuhnya bersih dari unsur-unsur tokoh Orde Baru yang secara kelembagaan terkait dengan peristiwa 65.
Tetapi dia berharap presiden memenuhi janjinya untuk mengungkap dan meluruskan sejarah seputar PKI dan pembantaian massa yang terjadi. Bedjo bahkan berharap, setidaknya dalam pidato kenegaraan pada peringatan kemerdekaan Agustus nanti, Jokowi mewakili negara bersedia menyampaikan ungkapan penyesalan atas tragedi itu.
0 komentar:
Posting Komentar