Penulis Imam Shofwan -
Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga.
AWAL
JANUARI 2016 saya mengajak istri dan anak saya—umur belum genap dua
tahun—untuk berkunjung ke lokasi penjara di Pulau Nusa Kambangan,
selatan Jawa Tengah. Kami menengok sejumlah tahanan politik (tapol) dari
Maluku. Kami datang untuk menjenguk kenyataan bahwa di negeri ini ada
sejumlah orang Indonesia dihukum 15 sampai 20 tahun penjara karena beda
pandangan politik.
Pada Juni 2007, mereka menari cakalele—tarian
perang tradisional—dan membentangkan bendera “Benang Raja”, simbol
Republik Maluku Selatan, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
ketika peringatan Hari Keluarga Nasional di Ambon, ibukota provinsi
Maluku. Ini menimbulkan amarah Yudhoyono. Mereka ditangkap dan disiksa.
Total ada 68 orang dipenjara.
Pada 2009, sebagian tahanan politik ini dijauhkan dari keluarga mereka di Ambon dan dipindahkan ke beberapa penjara di Pulau Jawa termasuk Nusa Kambangan.
Membawa anak saya ke penjara membuat suasana pertemuan lebih cair. Para pesakitan politik adalah manusia biasa. Mereka senang melihat anak saya. Mereka minta izin untuk bergantian menggendong. Saya kira mereka ingat anak mereka sendiri.
Ruben Saija, salah satu tapol yang dihukum penjara 20 tahun, memiliki anak perempuan bernama Vike Saija yang kini berumur 10 tahun. Dia tak pernah bertemu putrinya setelah dipindah.
“Anak saya sebesar ini saat saya pindah,” katanya memperhatikan anak saya.
Desember 2015, Ruben mencoba bunuh diri ketika putrinya dibaptis dan dia tak ada di Aboru, Pulau Haruku, untuk menyaksikannya. Dia minum racun serangga. Beruntung nyawanya bisa diselamatkan.
“Hari itu saya merasa tak berdaya,” dia berkata. “Itu hari paling suram buat saya.”
Seorang tapol lain, Jordan Saija, punya anak laki-laki. Namanya Fredy Saija. Sekarang sudah usia 12 tahun.
Sejak pindah ke Nusa Kambangan, tak ada keluarga mereka yang menengok. Mereka berasal dari keluarga petani sagu—kondisi yang terlalu berat untuk ongkos perjalanan ke Jawa.
“Satu-satunya orang yang berkunjung ke sini ada adek perempuan Papua beberapa tahun lalu,” tutur Jordan Saija. Dia mengacu pada program pendampingan tahanan politik Papua, yang diadakan beberapa organisasi di Jayapura dan Jakarta. Filep Karma, seorang mantan tahanan politik Papua, minta para tahanan politik dari Maluku juga dibesuk.
Ruben Saija dan Jordan Saija ditahan di penjara Kembang Kuning bersama empat tahanan Maluku lain: Abner Litamahuputty, Yohanis Saija (17 tahun penjara), John Marcus, dan Romanus Batseran.
Tahanan politik lain, Johan Teterisa—guru sekolah dasar yang dihukum 15 tahun—berada di balik penjara Batu, Nusa Kambangan. Tiga tahanan lain di penjara Porong: Fredy Akihary, Jonathan Riri, dan Marlon Pattiwael. Satu ditahan di Madiun yakni Pieter Yohannes.
Mereka adalah “tahanan politik yang dilupakan,” demikian Teterisa menyebut nasib dirinya dan teman-temannya. Penderitaan mereka bukan saja muncul dari ketidakpedulian negara, tapi juga dari isolasi. Jarak Nusa Kambangan dan Ambon sekitar 3.000 kilometer, situasi yang sangat merintangi pengalaman manusiawi mereka bertemu dengan sanak-keluarga. Isolasi jelas berdampak pada emosional dan psikologis mereka.
Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo berjanji membebaskan semua tahanan politik di Indonesia—termasuk di Papua dan Kepulauan Maluku—serta menyurati Dewan Perwakilan Rakyat. Namun belum ada jawaban dari Senayan sampai sekarang. Jokowi akhirnya hanya membebaskan lima tapol Papua berdasarkan permintaan grasi dan Karma sendiri dengan remisi.
Filep Karma ikut berkunjung ke Nusa Kambangan. Dia bertanya apakah mereka bersedia mengajukan grasi kepada presiden—artinya memohon pengampunan dengan pengakuan bersalah. Mereka menolak. Mereka mengatakan tidak melakukan kekerasan apa pun. Mereka tak bersalah. Saya kira benar sekali. Pembicaraan berlangsung dengan didampingi petugas penjara. Kami bicara soal kesehatan, upaya hukum, makanan, dan keluarga.
Pulang dari sana mereka minta tolong agar keluarganya dibantu untuk besuk ke Nusa Kambangan. Bagaimanapun perlu duit besar untuk membiayai perjalanan tersebut.
PULANG DARI NUSA KAMBANGAN, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengupayakan agar mereka bisa dibesuk keluarga, yang harus menunggu lima bulan sampai ada cukup duit.
Pada 2009, sebagian tahanan politik ini dijauhkan dari keluarga mereka di Ambon dan dipindahkan ke beberapa penjara di Pulau Jawa termasuk Nusa Kambangan.
Membawa anak saya ke penjara membuat suasana pertemuan lebih cair. Para pesakitan politik adalah manusia biasa. Mereka senang melihat anak saya. Mereka minta izin untuk bergantian menggendong. Saya kira mereka ingat anak mereka sendiri.
Ruben Saija, salah satu tapol yang dihukum penjara 20 tahun, memiliki anak perempuan bernama Vike Saija yang kini berumur 10 tahun. Dia tak pernah bertemu putrinya setelah dipindah.
“Anak saya sebesar ini saat saya pindah,” katanya memperhatikan anak saya.
Desember 2015, Ruben mencoba bunuh diri ketika putrinya dibaptis dan dia tak ada di Aboru, Pulau Haruku, untuk menyaksikannya. Dia minum racun serangga. Beruntung nyawanya bisa diselamatkan.
“Hari itu saya merasa tak berdaya,” dia berkata. “Itu hari paling suram buat saya.”
Seorang tapol lain, Jordan Saija, punya anak laki-laki. Namanya Fredy Saija. Sekarang sudah usia 12 tahun.
Sejak pindah ke Nusa Kambangan, tak ada keluarga mereka yang menengok. Mereka berasal dari keluarga petani sagu—kondisi yang terlalu berat untuk ongkos perjalanan ke Jawa.
“Satu-satunya orang yang berkunjung ke sini ada adek perempuan Papua beberapa tahun lalu,” tutur Jordan Saija. Dia mengacu pada program pendampingan tahanan politik Papua, yang diadakan beberapa organisasi di Jayapura dan Jakarta. Filep Karma, seorang mantan tahanan politik Papua, minta para tahanan politik dari Maluku juga dibesuk.
Ruben Saija dan Jordan Saija ditahan di penjara Kembang Kuning bersama empat tahanan Maluku lain: Abner Litamahuputty, Yohanis Saija (17 tahun penjara), John Marcus, dan Romanus Batseran.
Tahanan politik lain, Johan Teterisa—guru sekolah dasar yang dihukum 15 tahun—berada di balik penjara Batu, Nusa Kambangan. Tiga tahanan lain di penjara Porong: Fredy Akihary, Jonathan Riri, dan Marlon Pattiwael. Satu ditahan di Madiun yakni Pieter Yohannes.
Mereka adalah “tahanan politik yang dilupakan,” demikian Teterisa menyebut nasib dirinya dan teman-temannya. Penderitaan mereka bukan saja muncul dari ketidakpedulian negara, tapi juga dari isolasi. Jarak Nusa Kambangan dan Ambon sekitar 3.000 kilometer, situasi yang sangat merintangi pengalaman manusiawi mereka bertemu dengan sanak-keluarga. Isolasi jelas berdampak pada emosional dan psikologis mereka.
Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo berjanji membebaskan semua tahanan politik di Indonesia—termasuk di Papua dan Kepulauan Maluku—serta menyurati Dewan Perwakilan Rakyat. Namun belum ada jawaban dari Senayan sampai sekarang. Jokowi akhirnya hanya membebaskan lima tapol Papua berdasarkan permintaan grasi dan Karma sendiri dengan remisi.
Filep Karma ikut berkunjung ke Nusa Kambangan. Dia bertanya apakah mereka bersedia mengajukan grasi kepada presiden—artinya memohon pengampunan dengan pengakuan bersalah. Mereka menolak. Mereka mengatakan tidak melakukan kekerasan apa pun. Mereka tak bersalah. Saya kira benar sekali. Pembicaraan berlangsung dengan didampingi petugas penjara. Kami bicara soal kesehatan, upaya hukum, makanan, dan keluarga.
Pulang dari sana mereka minta tolong agar keluarganya dibantu untuk besuk ke Nusa Kambangan. Bagaimanapun perlu duit besar untuk membiayai perjalanan tersebut.
PULANG DARI NUSA KAMBANGAN, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengupayakan agar mereka bisa dibesuk keluarga, yang harus menunggu lima bulan sampai ada cukup duit.
Awal Juni lalu, kami lantas mengatur
perjalanan keluarga tapol ke Nusa Kambangan, Porong, dan Madiun. Semua
kunjungan ini resmi dengan izin dari I Wayan Kusmiantha Dusak, direktur
jenderal pemasyarakatan di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Kami mengusahakan setiap tapol dikunjungi dua anggota keluarga.
Kami menelepon keluarga mereka di Ambon dan Aboru.
Rombongan pertama ke penjara Kembang Kuning dan Batu. Di Kembang Kuning: Ruben Saija dikunjungi oleh istrinya Yohanna Saija dan putrinya Vike; Jordan Saija dibesuk istrinya Etha Saija dan putranya Fredy; Yohanis Saija dikunjungi saudaranya Arens Arnold Saija dan putrinya Afril Saija. Romanus Batseran dibesuk saudaranya Randi Batseran dan iparnya Erlin Keyzer. John Marcus dikunjungi mama dan saudara angkatnya: Dortje Wattimena dan Jansen Sasabone. Sementara di Batu: Johan Teterisa dikunjungi dua putra, Rivaldo Teterisa dan Johncard Teterisa, bersama keponakannya.
Mereka adalah ayah, anak, dan saudara dari manusia-manusia di jazirah Maluku. Mereka rindu setengah mati. Mereka bertemu terakhir kali di Ambon dengan kondisi anaknya, suaminya, atau ayahnya babak belur disiksa polisi. Mereka bahkan tak dapat pemberitahuan kalau keluarga mereka dipindah ke Jawa. Setelah beberapa bulan mereka baru tahu dari kabar mulut ke mulut. Hati galau dengan harapan tak menentu.
“Terakhir ketemu muka suami saya … lebam-lebam penuh luka,” tutur Etha Saija terisak dan memegang kepala putranya.
Tak sedikit keluarga mereka yang rusak dan cerai. Bagi yang keluarganya pegawai negeri, mereka diancam dipecat. Karena tak tahan dengan intimidasi, sebagian keluarga juga memilih keluar dari Ambon. Pohon keluarga terberai; ada anak-anak mereka yang di usia dini memilih kerja ke Jakarta untuk menyambung hidup dan menyokong pencaharian keluarga.
Mereka ingin bertemu, tapi jarak jauh bikin keadaan sulit. Sebagai petani, perjalanan yang pernah mereka lakukan paling banter ke Ambon. Ongkos menjadi kendala utama.
Etha Saija, misalnya, yang tinggal di Aboru—terletak di pantai selatan Pulau Haruku—harus menyeberang naik perahu motor ke Ambon untuk sampai bandara terdekat. Ini perjalanan terjauhnya dan dia memendam bermacam kecemasan.
Dia tak pernah naik pesawat. Bagaimana ongkos naik perahu ke Ambon? Bagaimana masuk bandara? Siapa yang menemani di bandara? Apakah ada uang saku selama di Jawa? Harus bawa oleh-oleh apa? Dan pertanyaan-pertanyaan serupa lain.
Beruntung Arens Saija—satu saudara dengan Ruben dan Yohanis—pernah di Jawa. Dia pernah ditahan di Kedungpane, Semarang, untuk kasus yang sama dengan hukuman 8 tahun penjara. Dia dibebaskan karena sakit keras di penjara.
“Saya disiksa dan hampir mati di tahanan,” kata Arens Saija.
Pengalamannya ke Jawa cukup menenangkan rombongan dari Aboru. Mereka berangkat pagi-pagi dari rumah lalu disambung perjalanan udara ke Jakarta, kemudian naik bus menuju Cilacap, perhentian terakhir sebelum menyeberang ke Nusa Kambangan.
Perjalanan amat panjang ini tentu melelahkan bagi mereka terutama anak-anak. Sepanjang perjalanan, Vike Saija (putri Ruben) muntah-muntah dan mabuk. Diberi makanan langsung muntah. Tapi kami menguatkan dirinya karena, bagaimanapun, kesempatan pertama bertemu keluarga setelah terpisah tujuh tahun memburu kami. Pada tengah malam kami sempat istirahat dan makan di sebuah lokasi rehat jalan tol.
Usai makan, Vike mencolek saya dan minta saya merunduk karena ingin membisikkan sesuatu. Dia tertarik dengan apel kayu hiasan di meja kasir. Dengan sopan, dia bilang, “Om, boleh saya minta apel itu?” Saya tersenyum dan bilang kalau itu bukan buah apel tapi apel kayu.
Setelah menempuh perjalanan dua belas jam dan tak berhenti lagi, kami akhirnya sampai di gerbang pelabuhan. Rombongan melepas penat sejenak dan sarapan di warung. Tak ada waktu untuk mandi.
Saya langsung mengurus perizinan masuk. Izin dari Ditjen Wayan Dusak baru diberikan malam saat kami jalan. Seorang kawan dari salah satu lembaga di Jakarta yang terlibat mengatur perjalanan ini mengirimkannya via email. Saya diminta petugas untuk mencetak surat itu. Putar-putar sekitar Cilacap selama satu jam, akhirnya saya bisa dapat mesin printer. Saya kembali tapi rombongan sudah berangkat lebih dulu dan saya ketinggalan di tempat penyeberangan.
Sesuai rencana, kami akan di Cilacap dua hari. Keesokan hari, kami akan besuk Johan Teterisa di penjara Batu. Jadwal besuk antara jam sepuluh hingga dua belas siang.
Di penjara Kembang Kuning, rombongan bertemu ramai-ramai. Tak ada perlakuan khusus dan tak ada privasi. Bahkan jika mereka sudah sekian lama tak bersua. Bahkan sekalipun mereka melakukan perjalanan selama sehari penuh. Mereka membesuk sesuai jadwal biasa.
Saya bertanya kepada Etha Saija. Bagaimana bertemu suami?
“Dong tra kenal deng anaknya,” katanya.
Saat masuk ruangan, Jordan melihat putranya Fredy tapi berlalu begitu saja dan langsung menuju istrinya.
“Tapi tak lupa istri kan?”
“Seng!”—Tidak, katanya.
Sebelum menyeberang, saya menunjukkan foto Ruben ke Vike seraya bertanya: Adek kenal orang ini?
Dia langsung menjawab, “Beta pung Papa!”
Namun ketika bertemu langsung dengan Papanya di Kembang Kuning, dia tak mengenali.
“Waktu istri dan anak saya tiba di pintu portir, anak saya melewati saya. Itu pun saya sengaja, apakah anak saya masih kenal dengan saya atau tidak. Ternyata saya dilewati oleh anak saya,” kata Ruben Saija, yang lantas mendekati istrinya, Yohanna Saija.
Vike mendekati Mamanya dan bertanya, “Mama, itu Om siapa?”
“Itu Bapak,” jawab Yohanna. Vike heran dan terkejut dan memandangi Papanya lama sekali.
Lantas Ruben membuka pembicaraan, “Ini Bapak … coba dilihat, muka Bapak dan Vike sama atau tidak?”
Putrinya mengangguk. Seketika Ruben menarik anaknya, memeluk, mencium, dan memangkunya.
Vike cepat dekat dan mereka bermain dan mengobrol. Dua jam berlalu begitu cepat. Saat disuruh pulang, dia menolak.
“Beta mo tidur deng Papa.”
Vike enggan pulang dan ingin menginap di Nusa Kambangan bersama ayahnya. Dia baru mau pulang saat dibujuk kalau nanti setiba di Jakarta kami akan mengajaknya jalan-jalan ke Monas dan Istana Negara. Kami memang kemudian mengajak keluarga tapol jalan-jalan di Jakarta. Yohanna dan Vike beli baju di Monas. Anak-anak senang bermain di kolam renang dan kagum dengan handphone yang bisa melihat video dan banyak gambar. Vike pengin punya HP seperti itu untuk simpan foto-foto Papanya.
PERASAAN SAYA CAMPUR aduk selama menemani keluarga tapol. Baik di Nusa Kambangan maupun Porong. Seketika saya ingat putri saya. Banyak orang dewasa di Indonesia tidak mengetahui isu ini. Pokoknya, orang-orang dari Pulau Haruku—sebelah timur dari Pulau Ambon—dianggap melakukan makar. Ingin merdeka. Lepaskan diri dari “Negara Kesatuan Republik Indonesia”—suatu mantra politik yang seringkali jadi legitimasi paling ampuh sebagai mesin pembunuh negara yang paling kerap dilazimkan. Elite politik di Indonesia, termasuk militernya, terus-menerus membungkam suara politik pemisahan-diri di daerah-daerah yang punya sejarah panjang pergolakan, selain wacana marxisme di kota-kota besar di Jawa.
Rombongan pertama ke penjara Kembang Kuning dan Batu. Di Kembang Kuning: Ruben Saija dikunjungi oleh istrinya Yohanna Saija dan putrinya Vike; Jordan Saija dibesuk istrinya Etha Saija dan putranya Fredy; Yohanis Saija dikunjungi saudaranya Arens Arnold Saija dan putrinya Afril Saija. Romanus Batseran dibesuk saudaranya Randi Batseran dan iparnya Erlin Keyzer. John Marcus dikunjungi mama dan saudara angkatnya: Dortje Wattimena dan Jansen Sasabone. Sementara di Batu: Johan Teterisa dikunjungi dua putra, Rivaldo Teterisa dan Johncard Teterisa, bersama keponakannya.
Mereka adalah ayah, anak, dan saudara dari manusia-manusia di jazirah Maluku. Mereka rindu setengah mati. Mereka bertemu terakhir kali di Ambon dengan kondisi anaknya, suaminya, atau ayahnya babak belur disiksa polisi. Mereka bahkan tak dapat pemberitahuan kalau keluarga mereka dipindah ke Jawa. Setelah beberapa bulan mereka baru tahu dari kabar mulut ke mulut. Hati galau dengan harapan tak menentu.
“Terakhir ketemu muka suami saya … lebam-lebam penuh luka,” tutur Etha Saija terisak dan memegang kepala putranya.
Tak sedikit keluarga mereka yang rusak dan cerai. Bagi yang keluarganya pegawai negeri, mereka diancam dipecat. Karena tak tahan dengan intimidasi, sebagian keluarga juga memilih keluar dari Ambon. Pohon keluarga terberai; ada anak-anak mereka yang di usia dini memilih kerja ke Jakarta untuk menyambung hidup dan menyokong pencaharian keluarga.
Mereka ingin bertemu, tapi jarak jauh bikin keadaan sulit. Sebagai petani, perjalanan yang pernah mereka lakukan paling banter ke Ambon. Ongkos menjadi kendala utama.
Etha Saija, misalnya, yang tinggal di Aboru—terletak di pantai selatan Pulau Haruku—harus menyeberang naik perahu motor ke Ambon untuk sampai bandara terdekat. Ini perjalanan terjauhnya dan dia memendam bermacam kecemasan.
Dia tak pernah naik pesawat. Bagaimana ongkos naik perahu ke Ambon? Bagaimana masuk bandara? Siapa yang menemani di bandara? Apakah ada uang saku selama di Jawa? Harus bawa oleh-oleh apa? Dan pertanyaan-pertanyaan serupa lain.
Beruntung Arens Saija—satu saudara dengan Ruben dan Yohanis—pernah di Jawa. Dia pernah ditahan di Kedungpane, Semarang, untuk kasus yang sama dengan hukuman 8 tahun penjara. Dia dibebaskan karena sakit keras di penjara.
“Saya disiksa dan hampir mati di tahanan,” kata Arens Saija.
Pengalamannya ke Jawa cukup menenangkan rombongan dari Aboru. Mereka berangkat pagi-pagi dari rumah lalu disambung perjalanan udara ke Jakarta, kemudian naik bus menuju Cilacap, perhentian terakhir sebelum menyeberang ke Nusa Kambangan.
Perjalanan amat panjang ini tentu melelahkan bagi mereka terutama anak-anak. Sepanjang perjalanan, Vike Saija (putri Ruben) muntah-muntah dan mabuk. Diberi makanan langsung muntah. Tapi kami menguatkan dirinya karena, bagaimanapun, kesempatan pertama bertemu keluarga setelah terpisah tujuh tahun memburu kami. Pada tengah malam kami sempat istirahat dan makan di sebuah lokasi rehat jalan tol.
Usai makan, Vike mencolek saya dan minta saya merunduk karena ingin membisikkan sesuatu. Dia tertarik dengan apel kayu hiasan di meja kasir. Dengan sopan, dia bilang, “Om, boleh saya minta apel itu?” Saya tersenyum dan bilang kalau itu bukan buah apel tapi apel kayu.
Setelah menempuh perjalanan dua belas jam dan tak berhenti lagi, kami akhirnya sampai di gerbang pelabuhan. Rombongan melepas penat sejenak dan sarapan di warung. Tak ada waktu untuk mandi.
Saya langsung mengurus perizinan masuk. Izin dari Ditjen Wayan Dusak baru diberikan malam saat kami jalan. Seorang kawan dari salah satu lembaga di Jakarta yang terlibat mengatur perjalanan ini mengirimkannya via email. Saya diminta petugas untuk mencetak surat itu. Putar-putar sekitar Cilacap selama satu jam, akhirnya saya bisa dapat mesin printer. Saya kembali tapi rombongan sudah berangkat lebih dulu dan saya ketinggalan di tempat penyeberangan.
Sesuai rencana, kami akan di Cilacap dua hari. Keesokan hari, kami akan besuk Johan Teterisa di penjara Batu. Jadwal besuk antara jam sepuluh hingga dua belas siang.
Di penjara Kembang Kuning, rombongan bertemu ramai-ramai. Tak ada perlakuan khusus dan tak ada privasi. Bahkan jika mereka sudah sekian lama tak bersua. Bahkan sekalipun mereka melakukan perjalanan selama sehari penuh. Mereka membesuk sesuai jadwal biasa.
Saya bertanya kepada Etha Saija. Bagaimana bertemu suami?
“Dong tra kenal deng anaknya,” katanya.
Saat masuk ruangan, Jordan melihat putranya Fredy tapi berlalu begitu saja dan langsung menuju istrinya.
“Tapi tak lupa istri kan?”
“Seng!”—Tidak, katanya.
Sebelum menyeberang, saya menunjukkan foto Ruben ke Vike seraya bertanya: Adek kenal orang ini?
Dia langsung menjawab, “Beta pung Papa!”
Namun ketika bertemu langsung dengan Papanya di Kembang Kuning, dia tak mengenali.
“Waktu istri dan anak saya tiba di pintu portir, anak saya melewati saya. Itu pun saya sengaja, apakah anak saya masih kenal dengan saya atau tidak. Ternyata saya dilewati oleh anak saya,” kata Ruben Saija, yang lantas mendekati istrinya, Yohanna Saija.
Vike mendekati Mamanya dan bertanya, “Mama, itu Om siapa?”
“Itu Bapak,” jawab Yohanna. Vike heran dan terkejut dan memandangi Papanya lama sekali.
Lantas Ruben membuka pembicaraan, “Ini Bapak … coba dilihat, muka Bapak dan Vike sama atau tidak?”
Putrinya mengangguk. Seketika Ruben menarik anaknya, memeluk, mencium, dan memangkunya.
Vike cepat dekat dan mereka bermain dan mengobrol. Dua jam berlalu begitu cepat. Saat disuruh pulang, dia menolak.
“Beta mo tidur deng Papa.”
Vike enggan pulang dan ingin menginap di Nusa Kambangan bersama ayahnya. Dia baru mau pulang saat dibujuk kalau nanti setiba di Jakarta kami akan mengajaknya jalan-jalan ke Monas dan Istana Negara. Kami memang kemudian mengajak keluarga tapol jalan-jalan di Jakarta. Yohanna dan Vike beli baju di Monas. Anak-anak senang bermain di kolam renang dan kagum dengan handphone yang bisa melihat video dan banyak gambar. Vike pengin punya HP seperti itu untuk simpan foto-foto Papanya.
PERASAAN SAYA CAMPUR aduk selama menemani keluarga tapol. Baik di Nusa Kambangan maupun Porong. Seketika saya ingat putri saya. Banyak orang dewasa di Indonesia tidak mengetahui isu ini. Pokoknya, orang-orang dari Pulau Haruku—sebelah timur dari Pulau Ambon—dianggap melakukan makar. Ingin merdeka. Lepaskan diri dari “Negara Kesatuan Republik Indonesia”—suatu mantra politik yang seringkali jadi legitimasi paling ampuh sebagai mesin pembunuh negara yang paling kerap dilazimkan. Elite politik di Indonesia, termasuk militernya, terus-menerus membungkam suara politik pemisahan-diri di daerah-daerah yang punya sejarah panjang pergolakan, selain wacana marxisme di kota-kota besar di Jawa.
Karena
“dosa” itulah manusia-manusia dari Maluku seakan layak dihinakan. Tanpa
mau tahu bahwa mereka sama sekali tak melakukan kekerasan. Mereka hanya
menari sembari membawa bendera. Mereka kecewa dengan diskriminasi yang
mereka alami. Ini hal biasa saja di negara lain, seperti Katalunya yang
ingin merdeka dari Spanyol—representasi terbaiknya adalah klub sepakbola
Barcelona dengan simbol kemerdekaan Katalunya di kostum dan benderanya.
Tak pernah ada pemain yang ditangkap. Yang ada justru sebagian pemainnya telah membawa kesebelasan Spanyol menjuarai Piala Dunia 2010. Kalau tak ada kekerasan, suara mereka semestinya ditempatkan sebagai hak kebebasan berekspresi yang memang dilindungi oleh konstitusi Indonesia. Bukan ditangkap untuk disiksa, dipenjara belasan tahun, dipisahkan dari sanak-keluarga—pendeknya, perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Pemerintahan Jokowi harus segera membebaskan mereka dan semua tahanan politik lain.
Mudah-mudahan kelak ketika putri saya dewasa, tak ada orang yang disiksa dan dipenjara begini lama hanya karena menyatakan aspirasi politiknya secara damai.*
Tak pernah ada pemain yang ditangkap. Yang ada justru sebagian pemainnya telah membawa kesebelasan Spanyol menjuarai Piala Dunia 2010. Kalau tak ada kekerasan, suara mereka semestinya ditempatkan sebagai hak kebebasan berekspresi yang memang dilindungi oleh konstitusi Indonesia. Bukan ditangkap untuk disiksa, dipenjara belasan tahun, dipisahkan dari sanak-keluarga—pendeknya, perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Pemerintahan Jokowi harus segera membebaskan mereka dan semua tahanan politik lain.
Mudah-mudahan kelak ketika putri saya dewasa, tak ada orang yang disiksa dan dipenjara begini lama hanya karena menyatakan aspirasi politiknya secara damai.*
0 komentar:
Posting Komentar