Reporter: Arman Dhani | 28 Juni, 2016
Frekuensi pelanggaran kebebasan berkumpul dan berpendapat kepada warga negara menunjukkan tingkat yang tinggi. Mulai tahun 2016, terjadi 4-5 kali pelanggaran dalam sebulan kebebasan berkumpul dan berpendapat. Artinya, setiap minggu ada satu peristiwa pelanggaran.
- Pada 2010, MK mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang membolehkan Kejaksaan melarang buku.
- Ketakutan akan komunisme melahirkan hal-hal yang konyol.
- Ketakutan akan komunisme digunakan aparat untuk melakukan penggeledahan dan penangkapan
Senator Amerika dan anggota partai Konservatif, Ted Cruz, menjadi perhatian publik pada Maret lalu ketika ia menganjurkan pada pihak kepolisian Amerika melakukan patroli di komunitas muslim. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak terorisme. Ted Cruz dikecam karena dianggap xenopobik dan rasis terhadap umat muslim. Tapi apa yang dilakukan Ted ternyata diteladani di Indonesia. Belakangan, pihak aparat baik militer dan kepolisian, melakukan razia terhadap segala yang berbau komunisme.
Di Yogya, penerbit-penerbit buku dirazia oleh kepolisian untuk mencegah beredarnya buku-buku kiri. Polres Grobokan malah dengan sigap telah menyita beberapa buku yang dianggap kiri pada sebuah pameran buku. Hal serupa juga dilakukan oleh Kodim 0712 Tegal, Jawa Tengah, yang mengamankan puluhan buku bertema komunisme dan kiri di pameran buku murah yang digelar di Kota Tegal.
Padahal pada 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang membolehkan kejaksaan melarang buku. Pelarangan buku dianggap tidak melalui proses peradilan. Setelah pencabutan peraturan ini, pelarangan buku baru bisa dilakukan setelah melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan.
Lalu apa dasar hukum yang digunakan polisi dan tentara untuk merazia dan menyita buku-buku tersebut? Pihak polres dan Kodim berdalih buku-buku tersebut menyebarkan paham komunisme yang dilarang pemerintah. Tapi apa sebenarnya menyebarkan paham komunisme itu? Apakah menjual buku bertemakan komunisme? Buku yang membahas sejarah 1965? Atau buku yang membahas pemikiran Karl Marx? Tidak ada definisi jelas tentang menyebarkan paham komunisme.
Ketakutan akan komunisme melahirkan hal-hal yang konyol. Seperti penangkapan penjual kaus band Kreator di Blok M Jakarta karena mengandung simbol palu arit. Polisi tampaknya tidak punya panduan yang jelas tentang apa itu definisi menyebarkan komunisme yang dimaksud oleh Tap MPRS. Yang menggelikan, Kodim 0505 Jakarta Timur menyita dan menganggap buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Sulistiyo Hermawan, padahal buku itu menjelaskan latar belakang pembantaian yang dilakukan kepada PKI, bukan membenarkan komunisme.
"Sebenarnya sudah ada Ketetapan MPRS Nomor 25 tahun 1966 yang mengatur tentang larangan paham-paham komunisme dan pembubaran PKI, sehingga sampai hari ini masih berlaku," kata Mensesneg Pramono Anung saat jumpa pers di Kantor Presiden, seperti yang dikutip via Antara.Peraturan itu berisi tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap komunisme dan juga penyebaran dan mengembangkan paham-paham komunisme, Leninisme dan Marxisme.
Jokowi juga memerintahkan Kapolri untuk menangani gaduh perihal komunisme ini. Kapolri sendiri mengatakan mengatakan selain Polisi, pengawasan di lapangan terhadap kegiatan-kegiatan berbau komunisme akan dibantu oleh aparat TNI. Padahal banyak di kampus-kampus, mata kuliah Marxisme masih diajarkan, sedangkan definisi menyebarkan paham komunisme, Leninisme dan Marxisme tidak dijelaskan lebih rinci. Apakah berjualan kaos dengan lambang palu arit adalah masuk penyebaran paham Marxisme? Atau memakai kaos dengan nama PKI bisa disebut mengembangkan paham komunisme?
Ketakutan akan komunisme dan aturan pelarangan penyebaran Marxisme digunakan aparat untuk melakukan penggeledahan dan penangkapan. Rabu 10 Mei lalu empat aktivis di Ternate, Maluku Utara, ditangkap aparat TNI dari Komando Distrik Militer 1501 Ternate. Di antara mereka, tercatat dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara: Adlun Fiqri, dan Supriyadi Sawai. Dua orang lainnya berstatus mahasiswa, Muhammad Yunus Alfajri (Universitas Khairun Ternate), dan M. Radju Drakel (Universitas Muhammadiyah Maluku Utara).
Mereka diamankan karena mengoleksi sejumlah kaus dan buku yang dianggap memuat ajaran komunisme. Kronologi penangkapan itu termuat dalam rilis AMAN Maluku Utara. Menurut aparat, penangkapan dilakukan berdasarkan laporan warga yang menyebut bahwa Adlun memiliki kaus berbau komunisme. Padahal kaus yang dimaksud adalah kaus Pecinta Kopi Indonesia yang disingkat menjadi PKI. Saat penangkapan, aparat TNI juga menyita buku dan kaus yang mereka anggap berbau ajaran terlarang seperti Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965, Buku terbitan Tempo, Lekra dan Geger 1965, Buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan dan kaus merah bertuliskan Pencinta Kopi Indonesia (PKI) dan kaus bergambar Munir dengan teks "Melawan Lupa".
Banyak aktivis demokrasi yang menyayangkan dan mengutuk tindakan ini. Dhyta Caturani, feminis dan aktivis prodemokrasi, menyebutkan ada pola khusus pemberangusan ide di Indonesia. “Ada tiga hal yang menjadi sasaran penangkapan, pembubaran, penyitaan dan intimidasi: komunisme/PKI, LGBT dan Papua (separatisme),” katanya. Ia khawatir bahwa jika ini didiamkan bukan tidak mungkin akan rezim anti kritik akan bangkit dan berikutnya setiap pendapat dibungkam.
Dalam laporan yang dibuat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) disebutkan bahwa sejak Januari 2015 hingga Mei 2016 terjadi berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat yang dilakukan dengan banyak cara. Seperti pelarangan acara (57, 9 persen), intimidasi (50 persen), pembubaran (21,1 persen), interogasi (10,5 persen), perusakan (5,3 persen), pembredelan (2,6 persen), dan lain-lain.
Damar Juniarto dari Safenet mengungkapkan ada 41 peristiwa sejak Januari 2015 – Mei 2016 pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat. Frekuensi pelanggaran kebebasan berkumpul dan berpendapat kepada warga negara menunjukkan tingkat yang tinggi. Mulai tahun 2016, terjadi 4-5 kali pelanggaran dalam sebulan kebebasan berkumpul dan berpendapat. Artinya, setiap minggu ada satu peristiwa pelanggaran.
Safenet menyebut Polisi sebagai pihak pelaku tertinggi pelanggaran hak berkumpul dan berpendapat, disusul oleh ormas kekerasan seperti FPI, FUI, GPK, FAKI, dll. Polisi disorot karena seharusnya bukan menjadi pelaku pelanggaran itu sendiri, melainkan menjadi pelindung bagi penyelenggara acara dari teror. Persoalannya adalah pelaku di lapangan ini bukan aktornya.
Polisi dan Ormas kerap kali melarang dan mengancam membubarkan acara pemutaran film (39,5 persen) dan diskusi atau seminar (28,9 persen). Sebagian besar acara itu dituduh sebagai acara komunis karena menyuarakan kritik terhadap isu sosial seperti Tanah Air Beta garapan Rahung Nasution atau film karya Dhandy Laksono. Segala bentuk pelarangan diskusi atau pemutaran film sebenarnya melanggar kebebasan sipil.
Undang-undang menjamin setiap Warga Negara Indonesia untuk berpendapat. Pasal 5 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyebutkan bahwa warga Indonesia berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas sekaligus memperoleh perlindungan hukum. Ini selaras dengan Pasal 19 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.
Di Yogya, penerbit-penerbit buku dirazia oleh kepolisian untuk mencegah beredarnya buku-buku kiri. Polres Grobokan malah dengan sigap telah menyita beberapa buku yang dianggap kiri pada sebuah pameran buku. Hal serupa juga dilakukan oleh Kodim 0712 Tegal, Jawa Tengah, yang mengamankan puluhan buku bertema komunisme dan kiri di pameran buku murah yang digelar di Kota Tegal.
Padahal pada 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang membolehkan kejaksaan melarang buku. Pelarangan buku dianggap tidak melalui proses peradilan. Setelah pencabutan peraturan ini, pelarangan buku baru bisa dilakukan setelah melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan.
Lalu apa dasar hukum yang digunakan polisi dan tentara untuk merazia dan menyita buku-buku tersebut? Pihak polres dan Kodim berdalih buku-buku tersebut menyebarkan paham komunisme yang dilarang pemerintah. Tapi apa sebenarnya menyebarkan paham komunisme itu? Apakah menjual buku bertemakan komunisme? Buku yang membahas sejarah 1965? Atau buku yang membahas pemikiran Karl Marx? Tidak ada definisi jelas tentang menyebarkan paham komunisme.
Ketakutan akan komunisme melahirkan hal-hal yang konyol. Seperti penangkapan penjual kaus band Kreator di Blok M Jakarta karena mengandung simbol palu arit. Polisi tampaknya tidak punya panduan yang jelas tentang apa itu definisi menyebarkan komunisme yang dimaksud oleh Tap MPRS. Yang menggelikan, Kodim 0505 Jakarta Timur menyita dan menganggap buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Sulistiyo Hermawan, padahal buku itu menjelaskan latar belakang pembantaian yang dilakukan kepada PKI, bukan membenarkan komunisme.
"Sebenarnya sudah ada Ketetapan MPRS Nomor 25 tahun 1966 yang mengatur tentang larangan paham-paham komunisme dan pembubaran PKI, sehingga sampai hari ini masih berlaku," kata Mensesneg Pramono Anung saat jumpa pers di Kantor Presiden, seperti yang dikutip via Antara.Peraturan itu berisi tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap komunisme dan juga penyebaran dan mengembangkan paham-paham komunisme, Leninisme dan Marxisme.
Jokowi juga memerintahkan Kapolri untuk menangani gaduh perihal komunisme ini. Kapolri sendiri mengatakan mengatakan selain Polisi, pengawasan di lapangan terhadap kegiatan-kegiatan berbau komunisme akan dibantu oleh aparat TNI. Padahal banyak di kampus-kampus, mata kuliah Marxisme masih diajarkan, sedangkan definisi menyebarkan paham komunisme, Leninisme dan Marxisme tidak dijelaskan lebih rinci. Apakah berjualan kaos dengan lambang palu arit adalah masuk penyebaran paham Marxisme? Atau memakai kaos dengan nama PKI bisa disebut mengembangkan paham komunisme?
Ketakutan akan komunisme dan aturan pelarangan penyebaran Marxisme digunakan aparat untuk melakukan penggeledahan dan penangkapan. Rabu 10 Mei lalu empat aktivis di Ternate, Maluku Utara, ditangkap aparat TNI dari Komando Distrik Militer 1501 Ternate. Di antara mereka, tercatat dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara: Adlun Fiqri, dan Supriyadi Sawai. Dua orang lainnya berstatus mahasiswa, Muhammad Yunus Alfajri (Universitas Khairun Ternate), dan M. Radju Drakel (Universitas Muhammadiyah Maluku Utara).
Mereka diamankan karena mengoleksi sejumlah kaus dan buku yang dianggap memuat ajaran komunisme. Kronologi penangkapan itu termuat dalam rilis AMAN Maluku Utara. Menurut aparat, penangkapan dilakukan berdasarkan laporan warga yang menyebut bahwa Adlun memiliki kaus berbau komunisme. Padahal kaus yang dimaksud adalah kaus Pecinta Kopi Indonesia yang disingkat menjadi PKI. Saat penangkapan, aparat TNI juga menyita buku dan kaus yang mereka anggap berbau ajaran terlarang seperti Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965, Buku terbitan Tempo, Lekra dan Geger 1965, Buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan dan kaus merah bertuliskan Pencinta Kopi Indonesia (PKI) dan kaus bergambar Munir dengan teks "Melawan Lupa".
Banyak aktivis demokrasi yang menyayangkan dan mengutuk tindakan ini. Dhyta Caturani, feminis dan aktivis prodemokrasi, menyebutkan ada pola khusus pemberangusan ide di Indonesia. “Ada tiga hal yang menjadi sasaran penangkapan, pembubaran, penyitaan dan intimidasi: komunisme/PKI, LGBT dan Papua (separatisme),” katanya. Ia khawatir bahwa jika ini didiamkan bukan tidak mungkin akan rezim anti kritik akan bangkit dan berikutnya setiap pendapat dibungkam.
Dalam laporan yang dibuat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) disebutkan bahwa sejak Januari 2015 hingga Mei 2016 terjadi berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat yang dilakukan dengan banyak cara. Seperti pelarangan acara (57, 9 persen), intimidasi (50 persen), pembubaran (21,1 persen), interogasi (10,5 persen), perusakan (5,3 persen), pembredelan (2,6 persen), dan lain-lain.
Damar Juniarto dari Safenet mengungkapkan ada 41 peristiwa sejak Januari 2015 – Mei 2016 pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat. Frekuensi pelanggaran kebebasan berkumpul dan berpendapat kepada warga negara menunjukkan tingkat yang tinggi. Mulai tahun 2016, terjadi 4-5 kali pelanggaran dalam sebulan kebebasan berkumpul dan berpendapat. Artinya, setiap minggu ada satu peristiwa pelanggaran.
Safenet menyebut Polisi sebagai pihak pelaku tertinggi pelanggaran hak berkumpul dan berpendapat, disusul oleh ormas kekerasan seperti FPI, FUI, GPK, FAKI, dll. Polisi disorot karena seharusnya bukan menjadi pelaku pelanggaran itu sendiri, melainkan menjadi pelindung bagi penyelenggara acara dari teror. Persoalannya adalah pelaku di lapangan ini bukan aktornya.
Polisi dan Ormas kerap kali melarang dan mengancam membubarkan acara pemutaran film (39,5 persen) dan diskusi atau seminar (28,9 persen). Sebagian besar acara itu dituduh sebagai acara komunis karena menyuarakan kritik terhadap isu sosial seperti Tanah Air Beta garapan Rahung Nasution atau film karya Dhandy Laksono. Segala bentuk pelarangan diskusi atau pemutaran film sebenarnya melanggar kebebasan sipil.
Undang-undang menjamin setiap Warga Negara Indonesia untuk berpendapat. Pasal 5 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyebutkan bahwa warga Indonesia berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas sekaligus memperoleh perlindungan hukum. Ini selaras dengan Pasal 19 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.
(tirto.id - dan/nqm)
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar