Oleh: Maulida Sri Handayani
- 20 Juni 2016
Demonstran melakukan unjuk rasa menolak
PKI di depan Istana Merdeka, Jakarta. Antara foto/Rosa Panggabean
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan lembaga
paling ideal untuk mencari kebenaran di masa lalu. Sayang, UU yang mengatur
pembentukan KKR ini kandas di tangan Mahkamah Konstitusi, 10 tahun lalu. Kini
Indonesia masih harus mencari format lembaga terbaik dan paling realistis untuk
mewadahi proses pencarian kebenaran atas peristiwa-peristiwa masa lalu.
Perdana Menteri Justin Trudeau menangis setelah
menyampaikan permintaan maafnya pada suku-suku asli Kanada.
“Saya berjanji kita akan memperbarui dan menghormati hubungan itu,” kata Trudeau, dalam pidatonya, menanggapi laporan akhir Truth and Reconciliation Commission (TRC) Kanada pada 15 Desember 2015 lalu.
Trudeau merujuk hubungan pemerintah dengan suku-suku
minoritas dari First Nations (“Indian”), Metis, dan Inuit. Sebanyak 150 ribu
anak dari tiga suku bangsa asli Kanada itu direnggut dari keluarga dan
lingkungannya dan dimasukkan ke sekolah asrama (Indian Residential School) pada
kurun 1840an-1900an.
Sebagian mengalami kekerasan fisik dan seksual, juga
banyak yang meninggal dunia karena perlakuan dan lingkungan buruk. Truth and
Reconciliation Commission (TRC) atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),
lembaga yang menyelidiki pelanggaran-pelanggaran ini di Kanada, membutuhkan
waktu selama 6 tahun untuk menyelidik.
Hasil kerja para komisioner yang mengungkap 6.750 kisah
pelanggaran serta 94 seruan untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah. Tak hanya di
Kanada, kejahatan serius juga terjadi pada warga sipil di pelbagai negara lain.
Sebutlah Afrika Selatan, Rwanda, Yugoslavia, Chili, juga Timor Leste.
Setelah berhasil melewati masa penuh pelanggaran hak-hak
dasar, negara-negara ini menggelar mekanisme pencarian kebenaran dan berujung
pada rekonsiliasi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sebetulnya pernah mempunyai Undang-Undang No.27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Undang-undang
ini adalah landasan hukum untuk pendirian badan khusus Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
“Sudah terpilih waktu itu 42 orang (calon komisioner), tapi pada tahun berikutnya, ternyata MK punya pikiran yang lain,” kata ahli hukum Harkristuti Harkrisnowo.
Mantan Dirjen Pelindungan HAM ini menyesalkan pembatalan
UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 dengan alasan UU ini
bertentangan dengan konstitusi.
“Bayangkan kalau (...tidak dibatalkan), tahun 2009 sudah bisa jalan, which is 7 tahun lalu,” imbuhnya.
Sampai sekarang, Harkristuti masih melihat KKR dalam
bentuk badan khusus adalah wadah paling tepat untuk mengungkap kebenaran. Tapi
tampaknya, jalan menuju terciptanya badan khusus itu tak akan lempang.
Tak Mudah Lagi Membentuk KKR Tak semua bagian masyarakat
senang dengan langkah awal yang dilakukan pemerintah menuju rekonsiliasi.
Pembahasan Tragedi
1965 dari sisi sejarah di Simposium Aryaduta mendapat banyak respons negatif.
Tak sedikit yang menyalahpahaminya sebagai kebangkitan PKI dan komunisme.
Rekomendasi dari Simposium Balai Kartini (1-2 Juni 2016) adalah salah satunya.
Simposium ini meminta pemerintah, LSM, dan segenap masyarakat tidak membuka
kasus masa lalu lagi.
Ketua panitia pengarah kegiatan tersebut, Letjen (purn)
Kiki Syahnakri juga menganggap tak perlu ada lembaga khusus yang menangani
rekonsiliasi. Nada pesimistis pun datang dari ahli hukum tata negara, Refly
Harun.
Ia menganggap momentum untuk menyelesaikan soal-soal
pelanggaran HAM sudah lewat karena pergantian rezim terjadi 18 tahun lalu.
“Ibaratnya, rasa sakit masyarakat itu semakin sedikit. Dua kemungkinan (penyebabnya): karena sudah mengalami kenikmatan ekonomi saat ini, atau karena sudah terlalu lama jarak waktunya. Sementara di sisi lain, mereka konsentrasi pada kehidupan sekarang dan masa depan. Termasuk seorang presiden pun (lebih memikirkan) bagaimana sekarang dan masa depan, untuk menumbuhkan ekonomi dan lain-lain. Sehingga isu ini akhirnya tidak relevan lagi,” papar ReflyKomite di Bawah Presiden Refly mengusulkan agar soal pengungkapan kebenaran ditangani sejenis panitia yang bekerja di bawah arahan presiden. Panitia ahli itu diminta buku putih mengenai pelanggaran HAM di Indonesia yang bisa mengungkapkan korban-korban, serta pihak-pihak yang harus bertanggung jawab.
“Jadi, mereka melakukan studi ilmiah, satu dua tiga atau empat tahun, yang menggali sejarah mengenai pelanggaran HAM di Indonesia. Dengan wawancara dan lain sebagainya. Nah, jadi buku putih itulah yang menjadi patokan pemerintah untuk memberikan kompensasi (pada korban),” ucapnya.
Saat ini, penyelesaian kasus 1965 tampaknya memang
tergantung pada prakarsa politik dari Presiden Joko Widodo. Gagasan yang ada
sekarang, menurut Todung Mulya Lubis, yakni membentuk lembaga di bawah presiden
yang menangani persoalan 1965 ini.
Meski demikian, Todung tetap berharap pemerintah memilih
membuat undang-undang tentang KKR lagi, mencoba menjabarkan mandat yang
diberikan pada komisi kebenaran dan rekonsiliasi, serta membuat batas waktu
yang jelas.
“Persoalan ini enggak bisa dibiarkan berlarut-larut. Mesti ada batas waktu. Kalau ada komisi kebenaran dan rekonsiliasi atau komisi kepresidenan, mereka mesti punya batas waktu. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, dan mesti selesai,” urai Todung.
Selain isu rekonsiliasi semakin lama makin tak populer,
usia para korban pun sudah semakin tua. Jika proses pelembagaan pengungkapan
kebenaran dan rekonsiliasi memakan waktu lebih lama lagi, bisa jadi mereka tak
bisa mendapat rehabilitasi dan kompensasi atas derita yang mereka lalui selama
puluhan tahun.
Imdadun, komisioner Komnas HAM, mengatakan, jalan menuju
KKR sebagai badan khusus akan memakan waktu terlalu lama. Menurutnya, waktu
akan habis terpakai untuk proses merancang undang-undang, lalu membentuk
lembaga. Belum lagi proses seleksi komisioner.
“Baiknya memang diselesaikan dengan inisiatif kemauan politik (political will). Komite di bawah presiden yang bisa bekerja lebih cepat. Kecuali misalnya sambil komite di bawah presiden kerja, lalu sambil jalan dibuat UU KKR. Nanti yang sudah berjalan, dialihkan ke institusi bernama KKR, boleh-boleh saja. Tapi inisiatif yang sudah bergulir ini jangan dihentikan,” kata Imdadun.
Selama ini, kerja-kerja terkait tragedi 1965 memang kerap
dianggap sebagai pemihakan terhadap komunisme. FPI misalnya, menyebut Komnas
HAM sebagai lembaga negara yang membela PKI. Imdadun melihat penolakan masyarakat
semacam itu membuat jalan rekonsiliasi semakin sulit.
Namun, pihaknya akan terus mendorong upaya itu meski
harus mengambil pilihan moderat. Yang disebut moderat oleh Imdadun adalah
Komnas HAM tak lagi ngoyo mendorong proses penyelesaian lewat jalur hukum.
“Ini baru langkah awal membuat kajian sejarah saja perlawanannya sudah kayak begitu. Pemerintah juga mengalami kebingungan kebimbangan, ini terus apa nggak,” katanya.
Padahal, bagi Imdadun, perkara rekonsiliasi bisa tak
terbatas pada korban-korban di pihak PKI/kiri pasca-1965.
“Soal metodenya, apa yang harus direkonsiliasi, peristiwa yang mau direkonsiliasi apakah sebelum atau setelah 65, itu bisa diperbincangkan,” terangnya.
Yang terpenting bagi Komnas HAM, Indonesia bisa
menyelesaikan utang masa lalunya.
“Negara-negara lain sudah pada menyelesaikan utang-utang kekejaman masa lalunya: Yugoslavia, Rwanda, Belanda juga diadili dalam kasus Rengasdengklok. Nah, Indonesia ini yang belum,” katanya.
Dengan pilihan yang menyempit ini, beban sekarang sepenuhnya
ada di bahu Presiden Joko Widodo. Akan mampukah Jokowi? Todung Mulya Lubis
setidaknya percaya akan niat baik presiden yang ingin menyelesaikan soal ini.
“Tapi, sejauh mana presiden jokowi mampu dan bisa mengakomodasi pihak-pihak yang kebetulan tidak setuju dengan rekonsiliasi? Nah ini yang kita belum tahu,” kata Todung.
Baginya, proses pengungkapan kebenaran memang tak mudah.
Hal itu pasti akan menimbulkan kekhawatiran, dan ketidaksiapan untuk mengakui
kebenaran.
“Tapi kalau memang ada kesediaan dan kedewasaan dalam melihat persoalan 1965 dan mencari jalan keluar yang paling ideal, menurut saya sih seharusnya itu bisa dilakukan,” imbuh Todung.
Dari sisi pemerintah, setidaknya para korban bisa menilik
pernyataan Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan. Saat membuka Simposium
Aryaduta, ia mewanti-wanti agar persoalan Indonesia tidak diselesaikan di luar
negeri.
Ucapan Luhut merujuk pengadilan rakyat (International
People's Tribunal) 1965 di Den Haag, Belanda, yang mengekspose kasus-kasus
pelanggaran HAM terkait peristiwa 1965, November tahun lalu. Ia juga menegaskan
Indonesia adalah bangsa besar dan tak perlu tempat lain untuk menyelesaikan
masalahnya.
"Bangsa ini harus bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik. Ini pandangan saya sebagai seorang perwira, pandangan saya sebagai seorang pejabat negara saat ini, mari kita perbaiki. Tidak ada [masalah yang tidak bisa diselesaikan] manakala kita semua punya keinginan yang sama untuk menyelesaikan masalah," ucapnya
Sekarang, rekomendasi hasil simposium sudah ada di tangan
Menteri Luhut. Ia yang akan menentukan ke arah mana dan dengan cara apa bola di
tangannya dieksekusi.
Reporter: Maulida Sri
Handayani
Penulis: Maulida Sri
Handayani
Editor: Nurul Qomariyah
Pramisti
MK Membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi karena dianggap
bertentangan dengan konstitusi.
Tirto.ID
0 komentar:
Posting Komentar