Catatan: Tia Pamungkas
30 Juni 2016 | 18.35 wib
Kalau dicermati penjelasan Suharto (alm) dalam video ini nampak beberapa pernyataan yang menyimpan ambiguitas (meskipun disampaikan melalui alur yang bersifat kronologis alias berdasarkan urutan peristiwa).
Disana sebenarnya nampak 'ketelanjangan' (nakedness) sebuah rezim yang modalnya adalah memanfaatkan 'kekisruhan' yang kukira tidak semata-mata disebabkan oleh faktor tunggal. Kini video ini muncul menyeruak ditujukan untuk kepentingan apa? Klaim atas sejarah masa lalu untuk kepentingan kini? Siapa saja yang berkepentingan untuk mengklaim sejarah masa lalu itu? Dalam video kita menyaksikan tokoh-tokoh yang waktu itu masih muda dan kini berada di pusaran kekuasaan.
Ini catatan saya sebagai seorang sosiolog, tentang bagaimana orang-orang 'Indonesia' (yang multikultur yah) menyatakan 'pendapat'nya dalam konteks perubahan sosial dan politik. Saya menyepakati satu poin penting dari tesis marxisme dalam Sosiologi yang membahas tentang perubahan sosial yaitu sejak kolonialisme mendunia 'hampir tidak ada peradaban yang sepenuhnya otentik dan tidak terkontaminasi oleh modernitas.'
Itu mengapa karyamu tentang jubah emas itu menjadi minat kepoismeku Titarubi
Sekedar tambahan: apakah penting siapa saya yang hanya rakyat biasa? bukan keturunan bangsawan? bukan turunan elit penguasa?
Semisal kisah tentang kakak ayahku, seorang mantan anggota tentara pelajar yang pernah mengenyam pendidikan di Taman Siswa dan menjadi salah satu pengawal HB IX? Pentingkah ceritanya? Mungkin ya mungkin tidak. Tetapi pernyataan Suharto membuktikan sesuatu bahwa 'pakde saya almarhum' yang dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta (wafat 1989, hanya berjarak 1 tahun sejak wafatnya HB IX) pernah mengalami 'DITURUNKAN' kepangkatannya dari TNI AD, tak mendapat pemulihan setelah itu. Ia dan juga keluarga besar kami sejak 1967 "dimiskinkan" oleh Orde Baru!!!
Poin lain, mengapa Suharto memanfaatkan momentum 'acara peringatan umat Muslim' untuk mempengaruhi Presiden Sukarno agar menyatakan pernyataan yang menjatuhkan PKI? dan mengapa Presiden Sukarno 'kekeuh' tidak mematuhinya?
Silahkan menjadi PR bagi generasi muda kita!
Kaum muda jangan terjebak pada kategori oposisi biner dalam melacak kebenaran sejarah! Tetapi...eitss...ada tetapinya...ketika kita berbicara tentang "keberpihakan" tidak bisa berangkat dari abu-abu: "take it or leave it!" Sekarang atau tidak sama sekali! Kalau saya sendiri udah bosan jadi JONGOS di negeri manapun. Danke dararangke Titarubi
_______
TRIBUNJOGJA.COM - Beredar rekaman di media sosial mantan Presiden Soeharto berbicara panjang lebar tentang peristiwa G30SPKI hingga Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Video itu sudah ditonton lebih dari 50 ribu kali setidaknya pada Selasa (28/6/2016) sore. Selanjutnya video itu diunggah ulang di Youtube.
Di video itu Soeharto mengungkapkan bertemu dengan Soekarno dan Presiden pertama RI pertama berkata kepada Soeharto dalam bahasa Jawa "Har aku iki arep kowe kapakke ?". (Har aku ini mau kamu apakan?).
Sejarah peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto memang menjadi momentum penting catatan sejarah negeri ini.
Beberapa poin penting antara lain keberadaan naskah otentik Supersemar. Kedua, proses mendapatkan surat itu. Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.
Editor: iwe| http://jogja.tribunnews.com/2016/06/28/beredar-rekaman-presiden-soeharto-blak-blak-berbicara-g30s-pki
0 komentar:
Posting Komentar