Saya sesungguhnya sudah tak cukup berminat untuk mengomentari kelakuan organisasi mahasiswa mapan hari ini--apapun organisasinya--, juga tak menaruh banyak harapan pada mereka. Kalaupun kemudian saya memutuskan urun rembug di sini, semata karena ketidakrelaan saya melihat "pengkhianatan" (saya tak menemukan kata yang tepat, yang lebih halus dari ini) terhadap visi dan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan mati-matian oleh para pendahulu.
Saya merasa tergelitik untuk membuat catatan singkat ini ketika ditandai Mas Roy Murtadho di satu komentarnya yang menyoal "keterlibatan" organisasi mahasiswa dalam acara simposium anti-komunisme beberapa hari lalu dan menyinggung kritik saya terhadap PMII yang saya tuangkan dalam satu tulisan di Islam Bergerak beberapa minggu lalu.
Berbeda dengan GP Ansor dan PMKRI yang sudah mengeluarkan pernyataan sikap dan menyatakan secara publik bahwa namanya dicatut sebagai pendukung acara simposium, setidaknya sampai hari ini (http://jalur9.com/pmii-tak-terima-logonya-dipasang-acara-s…/), PMII tak mengeluarkan klarifikasi apapun terkait keberadaan namanya dalam daftar barisan ormas penyokong acara ndak jelas itu. Tapi, melihat sikap konservatif beberapa elite pengurusnya (seperti yang tergambar dari tulisan ini http://www.pmii.or.id/ada-apa-dengan-pki/), sebenarnya hal ini tak mengherankan. Meskipun agak anomali jika kita melihat perkembangan sejarahnya.
Jika dalam bukunya, Martin van Bruinessen menceritakan bagaimana pada dekade 1980an-1990an, tren yang berkembang di kalangan mahasiswa berlatar NU dan kader PMII adalah ketertarikan terhadap gagasan semacam al-Yasar al-Islami alias Kiri-Islam ala Hassan Hanafi atau teologi pembebasan ala Ali Asghar Engineer, dalam tulisannya yang lain bersama Farid Wajidi (yang bisa diunduh di http://www.let.uu.nl/…/Bruinessen_Wajidi_Traditionalist_Isl…) ia menyatakan, pada akhir kekuasaan Orde Baru, kelompok ini adalah salah satu elemen yang paling getol menyuarakan reformasi total. Meskipun ia tak bergerak sebagai suatu kelompok tersendiri, banyak anggotanya tergabung dalam aliansi-aliansi ("PMII is not mentioned there as a major actor because it did not operate separately; its members were active in non-religious alliances such as Forkot in Jakarta").
Dan--ini yang penting dicatat--, sebagai mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari lingkungan agama yang kuat, mereka adalah orang-orang yang kosmopolitan, tak canggung untuk berjuang bersama kelompok lain yang dipersatukan oleh kesamaan visi, termasuk kelompok mahasiswa yang punya kecenderungan kiri (The NU-affiliated student association, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII, Indonesian Islamic University Students), it should be noted, allied itself in the days of Reformasi with the secular and left-leaning student groups that demanded ‘total reform’). Jadi, bung dan nona tak perlu heran jika di tahun-tahun itu melihat teman-teman PMII terlibat aksi-aksi dan advokasi bersama kawan-kawan LMND dan SMID yang ketika itu punya kedekatan dengan PRD.
Bersama-sama, mereka menuntut reformasi total terhadap tatanan politik Indonesia pasca Orde baru, dan tak hanya itu, juga menggugat warisan yang ditinggalkan rezim Soeharto, termasuk yang masih kita lihat akhir-akhir ini: warisan anti-PKI dan komunis.
Dalam hal anak muda NU, tak lama pasca-Orde Baru, di bawah "komando" Gus Dur yang ketika itu menjadi ketua umum PBNU dan Presiden RI, banyak di antara mereka yang melibatkan diri dalam upaya rekonsiliasi dan penyeruan untuk penghentian stigmatisasi terhadap korban 65, baik yang sudah wafat maupun masih hidup. Bahkan bertahun-tahun setelah itu, Ben Anderson--salah seorang Indonesianis paling terkemuka sampai saat ini--masih mengungkapkan rasa takjub dan kekagumannya dalam tulisannya (https://newleftreview.org/article/download_pdf?id=2714), Sampai-sampai ia menjuluki anak muda NU ketika itu sebagai, "‘traditional Islam’, who in many ways are showing themselves to be far more modern than the ‘modernists’."
Berikut saya kutipkan pemaparan agak panjang darinya:
"During his brief presidency at the beginning of our century, Abdurrahman Wahid, the maverick and charismatic leader of ‘traditionalist’ Muslims, spoke out strongly for reconciliation à la Mandela and the end of stigmatization. He even asked Parliament to remove the constitutional ban on Marxism and Marxist writings. His many enemies made sure that this request was rejected, but the ban is no longer seriously enforced. One can find in bookshops today many texts about Marxism, and by dead Communists, including D. N. Aidit who was summarily executed forty-three years ago.
The most surprising development has emerged in an unlikely place—among young intellectuals and social activists from ‘traditional Islam’,who in many ways are showing themselves to be far more modern than the ‘modernists’. Taking a cue from Wahid, they can be found, even in remote rural areas, visiting and helping impoverished old communists and their families. They say they are doing this work as a kind of atonement for the conspicuous and ferocious role that their elders played in the 1965 massacres."
"During his brief presidency at the beginning of our century, Abdurrahman Wahid, the maverick and charismatic leader of ‘traditionalist’ Muslims, spoke out strongly for reconciliation à la Mandela and the end of stigmatization. He even asked Parliament to remove the constitutional ban on Marxism and Marxist writings. His many enemies made sure that this request was rejected, but the ban is no longer seriously enforced. One can find in bookshops today many texts about Marxism, and by dead Communists, including D. N. Aidit who was summarily executed forty-three years ago.
The most surprising development has emerged in an unlikely place—among young intellectuals and social activists from ‘traditional Islam’,who in many ways are showing themselves to be far more modern than the ‘modernists’. Taking a cue from Wahid, they can be found, even in remote rural areas, visiting and helping impoverished old communists and their families. They say they are doing this work as a kind of atonement for the conspicuous and ferocious role that their elders played in the 1965 massacres."
Sebenarnya, gagasan rekonsiliasi dan penghentian stigmatisasi ini sudah menjadi wacana yang berkembang di kalangan anak muda NU beberapa tahun sebelumnya. Jika kita baca halaman-halaman awal "Civil Islam", Robert Hefner, sang penulis yang juga Indonesianis terkemuka lainnya, menceritakan betapa ia terkaget-kaget dan sempat curiga ketika pada tahun 1991, ia diundang sekelompok anak muda yang aktif di Lakpesdam NU untuk berbicara tentang kekerasan 65--termasuk yang melibatkan paramiliter yang berafiliasi dengan NU ketika itu--berkait dengan perannya sebagai antropolog yang meneliti daerah yang pernah mengalami peristiwa itu. Dan anda tahu di mana ia berbicara hal itu? Di gedung PBNU! Tentu sulit untuk membayangkan hal itu bisa terlaksana saat ini, mengingat sikap konservati dan defensif para elite hari ini. (sebagai catatan, ketika itu NU sedang di bawah kepemimpinan Gus Dur).
Karenanya, jika memang BENAR ada badan otonom NU atau organisasi yang berafiliasi dengannya ikut menyokong simposium anti-PKI dan komunis, bagi saya, ini adalah kemunduran sejarah, dan, tentunya juga pengingkaran terhadap para pendahulu yang mati-matian memperjuangkan reformasi total, bukan hanya terhadap tatanan politik Orde Baru, tetapi juga warisan buruknya. Wallahu a'lam.
https://www.facebook.com/muhammad.nashirulhaq.9/posts/10208047591205898
0 komentar:
Posting Komentar