Oleh: Arman Dhani - 28 Juni 2016
Sejumlah anggota ormas membakar bendera komunis saat
deklarasi gerakan masyarakat anti komunis di Plaza Balaikota, Bogor, Jawa
Barat, Senin (23/5).
Deklarasi itu menyerukan kepada seluruh warga negara kesatuan republik
indonesia untuk bersatu padu, siaga dan waspada terhadap kebangkitan komunisme
gaya baru yang mengatasnamakan penegakan HAM dan keadilan. antara foto/arif
firmansyah/foc/16.
Frekuensi pelanggaran kebebasan berkumpul dan berpendapat kepada warga negara menunjukkan tingkat yang tinggi. Mulai tahun 2016, terjadi 4-5 kali pelanggaran dalam sebulan kebebasan berkumpul dan berpendapat. Artinya, setiap minggu ada satu peristiwa pelanggaran.
Senator Amerika dan anggota partai Konservatif, Ted Cruz,
menjadi perhatian publik pada Maret lalu ketika ia menganjurkan pada pihak
kepolisian Amerika melakukan patroli di komunitas muslim. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya tindak terorisme.
Ted Cruz dikecam karena dianggap
xenopobik dan rasis terhadap umat muslim. Tapi apa yang dilakukan Ted ternyata
diteladani di Indonesia. Belakangan, pihak aparat baik militer dan kepolisian,
melakukan razia terhadap segala yang berbau komunisme.
Di Yogya,
penerbit-penerbit buku dirazia oleh kepolisian untuk mencegah beredarnya
buku-buku kiri. Polres Grobokan malah dengan sigap telah menyita beberapa buku
yang dianggap kiri pada sebuah pameran buku. Hal serupa juga dilakukan oleh
Kodim 0712 Tegal, Jawa Tengah, yang mengamankan puluhan buku bertema komunisme
dan kiri di pameran buku murah yang digelar di Kota Tegal.
Padahal pada 2010, Mahkamah
Konstitusi (MK) memutuskan mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang
membolehkan kejaksaan melarang buku. Pelarangan buku dianggap tidak melalui
proses peradilan. Setelah pencabutan peraturan ini, pelarangan buku baru bisa
dilakukan setelah melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan.
Lalu apa
dasar hukum yang digunakan polisi dan tentara untuk merazia dan menyita
buku-buku tersebut? Pihak polres dan Kodim berdalih buku-buku tersebut
menyebarkan paham komunisme yang dilarang pemerintah. Tapi apa sebenarnya
menyebarkan paham komunisme itu? Apakah menjual buku bertemakan komunisme? Buku
yang membahas sejarah 1965? Atau buku yang membahas pemikiran Karl Marx?
Tidak
ada definisi jelas tentang menyebarkan paham komunisme. Ketakutan akan
komunisme melahirkan hal-hal yang konyol. Seperti penangkapan penjual kaus band
Kreator di Blok M Jakarta karena mengandung simbol palu arit. Polisi tampaknya
tidak punya panduan yang jelas tentang apa itu definisi menyebarkan komunisme
yang dimaksud oleh Tap MPRS. Yang menggelikan, Kodim 0505 Jakarta Timur menyita
dan menganggap buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Sulistiyo Hermawan, padahal
buku itu menjelaskan latar belakang pembantaian yang dilakukan kepada PKI,
bukan membenarkan komunisme.
"Sebenarnya sudah ada Ketetapan MPRS Nomor 25
tahun 1966 yang mengatur tentang larangan paham-paham komunisme dan pembubaran
PKI, sehingga sampai hari ini masih berlaku," kata Mensesneg Pramono Anung
saat jumpa pers di Kantor Presiden, seperti yang dikutip via Antara.
Peraturan
itu berisi tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap komunisme dan juga
penyebaran dan mengembangkan paham-paham komunisme, Leninisme dan Marxisme.
Jokowi juga memerintahkan Kapolri untuk menangani gaduh perihal komunisme ini.
Kapolri sendiri mengatakan mengatakan selain Polisi, pengawasan di lapangan
terhadap kegiatan-kegiatan berbau komunisme akan dibantu oleh aparat TNI.
Padahal banyak di kampus-kampus, mata kuliah Marxisme masih diajarkan,
sedangkan definisi menyebarkan paham komunisme, Leninisme dan Marxisme tidak
dijelaskan lebih rinci. Apakah berjualan kaos dengan lambang palu arit adalah
masuk penyebaran paham Marxisme? Atau memakai kaos dengan nama PKI bisa disebut
mengembangkan paham komunisme? Ketakutan akan komunisme dan aturan pelarangan
penyebaran Marxisme digunakan aparat untuk melakukan penggeledahan dan
penangkapan.
Rabu 10 Mei lalu empat aktivis di Ternate, Maluku Utara, ditangkap
aparat TNI dari Komando Distrik Militer 1501 Ternate. Di antara mereka,
tercatat dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara:
Adlun Fiqri, dan Supriyadi Sawai. Dua orang lainnya berstatus mahasiswa,
Muhammad Yunus Alfajri (Universitas Khairun Ternate), dan M. Radju Drakel
(Universitas Muhammadiyah Maluku Utara). Mereka diamankan karena mengoleksi
sejumlah kaus dan buku yang dianggap memuat ajaran komunisme. Kronologi
penangkapan itu termuat dalam rilis AMAN Maluku Utara.
Menurut aparat,
penangkapan dilakukan berdasarkan laporan warga yang menyebut bahwa Adlun
memiliki kaus berbau komunisme. Padahal kaus yang dimaksud adalah kaus Pecinta
Kopi Indonesia yang disingkat menjadi PKI. Saat penangkapan, aparat TNI juga
menyita buku dan kaus yang mereka anggap berbau ajaran terlarang seperti Buku
Kekerasan Budaya Pasca 1965, Buku terbitan Tempo, Lekra dan Geger 1965, Buku
Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan dan kaus merah bertuliskan Pencinta Kopi
Indonesia (PKI) dan kaus bergambar Munir dengan teks "Melawan Lupa".
Banyak aktivis demokrasi yang menyayangkan dan mengutuk tindakan ini. Dhyta
Caturani, feminis dan aktivis prodemokrasi, menyebutkan ada pola khusus
pemberangusan ide di Indonesia.
“Ada tiga hal yang menjadi sasaran penangkapan,
pembubaran, penyitaan dan intimidasi: komunisme/PKI, LGBT dan Papua
(separatisme),” katanya.
Ia khawatir bahwa jika ini didiamkan bukan tidak
mungkin akan rezim anti kritik akan bangkit dan berikutnya setiap pendapat
dibungkam. Dalam laporan yang dibuat Southeast Asia Freedom of Expression
Network (Safenet) disebutkan bahwa sejak Januari 2015 hingga Mei 2016 terjadi
berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat yang dilakukan dengan banyak cara.
Seperti pelarangan acara (57, 9 persen), intimidasi (50 persen), pembubaran
(21,1 persen), interogasi (10,5 persen), perusakan (5,3 persen), pembredelan
(2,6 persen), dan lain-lain.
Damar Juniarto dari Safenet mengungkapkan ada 41
peristiwa sejak Januari 2015 – Mei 2016 pelanggaran atas hak berkumpul dan
berpendapat. Frekuensi pelanggaran kebebasan berkumpul dan berpendapat kepada
warga negara menunjukkan tingkat yang tinggi.
Mulai tahun 2016, terjadi 4-5 kali pelanggaran dalam
sebulan kebebasan berkumpul dan berpendapat. Artinya, setiap minggu ada satu
peristiwa pelanggaran. Safenet menyebut Polisi sebagai pihak pelaku tertinggi
pelanggaran hak berkumpul dan berpendapat, disusul oleh ormas kekerasan seperti
FPI, FUI, GPK, FAKI, dll.
Polisi disorot karena seharusnya bukan menjadi pelaku
pelanggaran itu sendiri, melainkan menjadi pelindung bagi penyelenggara acara
dari teror. Persoalannya adalah pelaku di lapangan ini bukan aktornya. Polisi
dan Ormas kerap kali melarang dan mengancam membubarkan acara pemutaran film
(39,5 persen) dan diskusi atau seminar (28,9 persen).
Sebagian besar acara itu dituduh sebagai acara komunis
karena menyuarakan kritik terhadap isu sosial seperti Tanah Air Beta garapan
Rahung Nasution atau film karya Dhandy Laksono.
Segala bentuk pelarangan diskusi atau pemutaran film
sebenarnya melanggar kebebasan sipil. Undang-undang menjamin setiap Warga
Negara Indonesia untuk berpendapat. Pasal 5 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyebutkan bahwa warga
Indonesia berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas sekaligus memperoleh
perlindungan hukum.
Ini selaras dengan Pasal 19 Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut
pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak
memandang batas-batas.
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah
Pramisti
Pada 2010, MK mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang membolehkan
Kejaksaan melarang buku.
0 komentar:
Posting Komentar