Jerome Wirawan
| 2 Juni 2016
Berjudul 'Mengamankan Pancasila Dari
Ancaman Kebangkitan PKI & Ideologi Lain', simposium yang digelar
oleh para purnawirawan TNI dan ormas Islam di Jakarta, meminta agar
tidak ada permintaan maaf terkait peristiwa 1965.
Acara ini digelar setelah pemerintah mensponsori Simposium Nasional bertajuk 'Membedah Tragedi 1965 dari Aspek Kesejarahan' pada April lalu, yang diharapkan membuka jalan untuk rekonsiliasi nasional.
Dan di Balai Kartini Jakarta tempat simposium pengamanan Pancasila berlangsung- ketua panitia penyelenggara Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri menegaskan tidak menolak rekonsiliasi.
"Coba kita lihat, mereka yang keturunan kader Partai Komunitas Indonesia (PKI) sekarang kan sudah mendapatkan kembali hak politiknya, mereka bisa duduk di jabatan penting negeri ini, beberapa bahkan jadi anggota TNI," tambahnya.
Ucapannya senada dengan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno yang menyatakan mereka yang terlibat PKI sudah mendapat kembali hak-hak sipil, ekonomi, dan sosial budaya.
Akan tetapi, Agus Widjojo -Gubernur Lemhanas dan Ketua Simposium Tragedi 1965 sebelumnya- menilai tafsiran rekonsiliasi bukan hanya terkait permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965.
"Rekonsiliasi tidak hanya minta maaf pada korban PKI saja, rekonsiliasi adalah konsep yang sangat luas, dengan sangat berkait satu sama lain.
Hanya karena mungkin kurang komunikasi satu sama lain, ada tafsiran-tafsiran sepihak," jelasnya saat menghadiri simposium di Balai Kartini sebagai undangan.
Belum pernah terjadi
Bagaimanapun perbedaan pendapat mengenai tragedi 1965 -yang diperkirakan menewaskan 200.000 hingga 500.000 jiwa- ditanggapi positif oleh Dr Najib Azca, pengajar pada Kajian Konflik dan Resolusi di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.“Pembicaraan mengenai 1965 secara terbuka kan memang belum pernah terjadi. Artinya, yang dilakukan Presiden Joko Widodo adalah inisiatif yang sangat bagus, dengan pemerintah berposisi sebagai inisiator untuk menyelenggarakan dialog terbuka, melibatkan berbagai pihak, ini sesuatu yang luar biasa,” kata Najib.
“Saya melihatnya masih sebagai bagian dari rangkaian dialog yang akan terus terjadi dalam waktu ke depan. Memang proses rekonsiliasi nasional memerlukan dialog yang panjang,” jelasnya.
Akan tetapi, akankah Simposium Anti-PKI di Balai Kartini mendorong rekonsiliasi?
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, memandang simposium versi purnawirawan TNI merupakan kesempatan untuk membangkitkan sentimen anti-PKI sekaligus membalas Simposium Tragedi 1965.
“Saya kira tidak (mendorong rekonsiliasi). Buang-buang waktu saja. Sebab, bagaimanapun, masalah komunisme sudah masa lalu. Komunisme dan PKI itu mana? Nggak ada. Mimpi di siang bolong saja,” ujar Syamsuddin.
Rekomendasi dari kedua simposium ini -walau bertolak belakang- akan diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan bagi Presiden Joko Widodo untuk membuat kebijakan.
“Presiden ingin mendengar dari berbagai pihak, baik pro maupun yang kontra,” kata juru bicara presiden, Johan Budi.
Awal tahun ini, Presiden Joko Widodo menginstruksikan jajarannya untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM masa lalu ke pengadilan apabila bukti-buktinya kuat namun jika fakta-faktanya tidak cukup lagi untuk sisi yuridis, maka ditempuh jalur rekonsiliasi.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160601_indonesia_simposium_rekonsiliasi
0 komentar:
Posting Komentar