3 Juni 2016
Radim mengatakan, ia dulu terlalu takut untuk mengungkapkan kejadian yang dia saksikan.
Pemerintah Indonesia melancarkan penyelidikan terhadap salah satu pembantaian terburuk pada abad ke-20. Beberapa sejarawan memperkirakan bahwa pembunuhan terorganisir pada 1965 telah menewaskan setidaknya setengah juta orang yang diduga simpatisan komunis. Seperti dilaporkan Rebecca Henschke dan Haryo Wirawan, banyak orang tidak ingin masa lalunya diungkap.
Di tengah hutan jati Alas Jegong, di pinggiran Kota Pati, Jawa Tengah, Radim, seorang pria kurus berusia 70 tahunan, memberitahu saya dengan mata membelalak tentang apa yang dilihatnya terjadi di sini suatu malam pada 1965. "Mereka datang dengan gerobak yang ditarik oleh sapi," katanya.
"Tangan mereka diikat dengan tali. Mereka kemudian ditembak dari belakang oleh tentara dan menendangnya ke lubang di sini."
Dia menunjuk ke tanah yang kini bersaput dedaunan. Sesekali Radim menengok ke sekitar, terlihat seperti tidak tenang.
Ini kejadian yang dia ingat betul seolah-olah baru terjadi kemarin, namun belum pernah dia berani ungkapkan terbuka sebelumnya.
“Saya sangat bangga, akhirnya saya bisa mengungkapkan kebenaran. Saya tak takut lagi sekarang,” katanya.
Para petugas intel tampak tak nyaman dengan kehadiran awak media di lokasi yang diduga kuburan masal.
Di sekeliling kami, sekitar 15 orang berperawakan tegap dan berpakaian preman, berkeliaran. Mereka memfilmkan setiap yang kami lakukan dengan telepon seluler mereka.
Suasananya sangat menegangkan. Kami cukup jauh dari desa terdekat, dan saya cemas tentang apa yang akan terjadi nanti.
Tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian rapi datang bermunculan menerobos pepohonan.
Mereka adalah petugas imigrasi dan meminta saya menunjukkan visa saya. Mereka ingin tahu apa yang saya lakukan dan di mana saya menginap. Ini masalah keamanan nasional, kata mereka.
Pada saat yang hampir bersamaan, di Jakarta, Menko Polhukam Luhut Pandjaitan memberi keterangan pers. Wartawan BBC menggunakan kesempatan itu untuk menanyakan kejadian yang kami alami di Pati.
“Memangnya kenapa?” tangkis Luhut waktu dikabarkan, bahwa tim BBC terus menerus dibuntuti aparat.
“Bukankah itu berlebihan?” Tanya wartawan kami.
“Ah, tidak, itu biasa saja,” tandas Luhut.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan penyelidikan tentang apa yang terjadi menyusul Peristiwa 1965-1966. Sejumlah menteri senior di kabinetnya pun secara terbuka bertemu dengan korban dan mantan tahanan politik. Muncul pembicaraan tentang upaya mencari dan menggali kuburan massal korban Peristiwa 1965-1966.
Reaksi balik berlangsung cepat. Terjadi penggerebekan di toko-toko buku yang menjual buku yang dianggap kiri, pembubaran sejumlah diskusi tentang Marxisme atau yang dituding berhaluan kiri di universitas-universitas oleh beberapa ormas agama dan ormas pemuda.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah bertemu dengan kelompok-kelompok Islam garis keras dan mengatakan kepada mereka untuk bersiap melawan komunis, dan memperingatkan bahwa pertumpahan darah bisa terjadi lagi.
Wajah-wajah dalam sejarah
Kami menjumpai sejumlah orang yang kisahnya pada masa lalu masih menimbulkan perbedaan pendapat di Indonesia.
Burhan Kampak: "Kalau bangkit lagi, kami bersihkan lagi"
Burhanuddin alias Burhan Kampak adalah Ketua Forum Anti Komunis Indonesia (FAKI) di Yogyakarta. Pada peristiwa 1965 dia mengaku telah membunuh banyak orang. Dan dia bangga.
"Di Yogya dulu itu PKI paling besar, walaupun secara organisasi, yang benar anggota punya kartu PKI, tidak banyak. Mereka simpatisan atau pengurus-pengurus itu di kampung-kampung. Pada pemilihan umum tahun 1955, pemilihan umum yang pertama yang dilakukan Indonesia, PKI sangat besar hasilnya di sini.
Kami menghadapi mereka di Yogya tahun 1965 akhir sampai tahun 1966: seperti keadaan perang di sini waktu itu. Kalau malam sunyi sepi enggak ada orang yang berani keluar, yang keluar ya kita-kita ini dan mereka (kaum komunis) yang keluar. Kita berhadap-hadapan.
“Angkat tangan! Berbaris! Kami lalu menyelidiki mereka. Saya membuat senjata sendiri. Ada palu untuk menghantam mereka. Saya juga punya parang sepanjang dua meter. Militer melatih kami dan saya diberikan senjata.”
Kalau dia bangkit lagi, nyata, banyak, malah bagus: kami bersihkan lagi. Lebih bersih dari tahun 1966. Karena apa? Karena itu bertentangan dengan Pancasila.
Kalau dia besar lalu menang, saya pasti yang dibunuh dan yang dibunuh pasti lebih banyak lagi.
Akan lebih banyak (darah tertumpah) nanti, kalau dia bangkit kembali dan nyata di lapangan. Kami akan menghadapi itu lebih bersemangat lagi. Walaupun saya sudah umur 76 semangat saya seperti tahun 65.”
Martono: "Saya tak mampu gali kubur, jadi saya buang ke bengawan"
Martono mengaku dia menjadi korban sekaligus pelaku
“Jadi semua organisasi waktu itu saya enggak seneng, (organisasi) politik maupun agama waktu itu. Saya enggak seneng, soalnya saya teknik.
Dan waktu itu keluarga saya betul-betul miskin. Tetapi saya kelihatan menonjol karena teknik saya, (jadi sering dipanggil untuk) pengaturan tata ruang listrik (di kantor-kantor mereka), karena ahlinya itu saya. Kadang-kadang (saya dipanggil) PNI, kadang-kadang NU, kadang-kadang Masyumi, kadang-kadang PKI. Nah kebetulan yang terakhir itu PKI.
Sehingga apa ya… kalau fitnah ya monggo, kalau curiga ya monggo, terserah. Nyatanya saya ditangkap oleh serombongan RPKAD dan orang yang berpakaian ninja.
Ditangkap, targetnya dibunuh kok, saya harus mati kok. Golongan saya golongan yang harus dimatiin gitu lho. Disiksa untuk ngaku, saya tuh PKI atau bukan, saya enggak pernah ikutan organisasi apapun. (Ditanya) kamu bagaimana gerakannya? Lha saya enggak tahu. Disetrum, (tapi saya kuat, sampai sekarang) bisa membuktikan. Bukan karena saya anti-setrum, tetapi karena waktu itu profesi saya ya dari listrik, las, sehingga tahan setrum.
Karena berkali-kali disetrum dan enggak mati-mati, akhirnya saya dilepaskan. Tetapi dengan syarat harus membuang mayat-mayat yang mereka bantai. Mereka itu namanya tim Opsus, terdiri dari AURI, RPKAD, Angkatan Darat, Brimob, CPM dan Partai Politik.
Minimal tiap hari dua orang (yang saya buang mayatnya). Kalau malam Minggu kadang-kadang ya bisa 20 orang, 25 orang.
Karena untuk menggali ‘kan saya enggak mampu, akhirnya saya buang ke bengawan. Ada tempatnya, namanya Mbacem, nah di situ tiap hari.
(Jumlah yang saya buang) hitung sendiri, matematikanya situ kan tahu. Minimum sehari dua, kalau Minggu atau malam Minggu ada 40an. Jadi digabung saja, malam Minggu dan Minggu sekitar 40an kali dua tahun.”
Supomo: "Mereka saling memperebutkan saya untuk dibunuh"
Dia mengaku dia adalah tahanan politik yang tidak bersalah
“Ketika kami pulang dari mengajar, di tengah jalan ada operasi dari tentara dan massa. Kemudian saya diberhentikan, dan massa yang ikut operasi itu ada yang mengenal saya. Kemudian saya ditangkap oleh tentara itu, lalu saya disiksa oleh tentara dan massa yang menangkap saya.
Pertama, kepala saya dipukul dengan senjata laras panjang, kemudian telinga saya dibabat atau ditebas dengan samurai. Masih ada bekasnya ini...
Sehabis itu kepala saya dihantam senjata laras panjang, juga punggung saya dipukul dengan pangkal senjata laras panjang, bersamaan bibir saya ditebas dengan samurai, kemudian saya jatuh telentang, lalu kaki saya dibabat, nih ada bekasnya.
Setelah saya berdiri lagi, leher saya ditebas lagi pakai samurai, setelah itu tangan saya diikat dengan tali bambu yang dipakai untuk mengikat lembu atau sapi, dua tali diikatkan. Setelah itu saya dijerumuskan ke dalam jurang kurang lebih lima meter dalamnya.
Mungkin rencananya saya mau dibunuh.
Setelah dijemur di lapangan sampai jam 14, saya dibawa ke kantor polisi sektor. Di situ sudah ada sebanyak 40 orang. Kemudian dipilih ada yang dipulangkan ada yang dibawa ke Boyolali, tapi saya semalaman tidur di kantor polisi. Setelah pagi hari saya dikirim ke Polres Boyolali. Lalu saya di berikan kepada sebuah pos siaga tentara, yang waktu itu merupakan tentara yang operasi ke daerah-daerah.
Setelah saya ditahan semalam di markas tentara siaga itu, malam harinya saya diinterogasi oleh tim yang dari CPM, saya ditanyai atau dituduh tentang pembunuhan dan dituduh membawa senjata.
Tetapi karena saya betul-betul tidak melakukan pembunuhan dan tidak mengerti senjata api, saya tetap bilang tidak tahu menahu tentang pembunuhan dan senjata.
Meskipun demikian, pemeriksa itu tidak percaya, sehingga kedua paha dan punggung saya ini terus dipukuli dengan gelangan karet yang panjangnya kurang lebih 60 cm untuk memukul punggung dan paha. Meskipun demikian saya tetap tidak tahu dan tidak mengakui masalah itu. Tetapi saya tetap ditahan.
Jumairi: PKI membunuh teman saya di masjid
“Saya tinggal di Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Pada malam ke-selikur (21) bulan puasa tahun 1948, ada informasi akan ada serangan dari PKI ke dusun-dusun (Partai) Masyumi. Pada jaman itu orang-orang PKI menyuruh kami memilih, Musso dan Amir (Syarifuddin) atau Soekarno-Hatta?
Tentara PKI benar menyerang ke dusun saya. Mereka berseragam merah, bersenjata lengkap. Bendera merah di ujung senapan. Mereka menembak teman saya, Muhammad Sahid, di dalam masjid sehabis salat subuh. Meninggal. Saya sendiri yang menguburkannya.
Lantas ada dua yang dibawa tentara Merah, satu Ramlan, yang satu Musron. Saya ndak tahu mereka diapakan.
Pasukan Siliwangi kemudian datang untuk menggempur tentara Merah. Orang-orang Islam itu, “Alhamdulillah, bisa makan.”
Kopral (AD) Basiran: Dituduh PKI Malam, ditahan 12 tahun
Saya waktu itu berdinas di Brigif IV Rentjong 1, Kodam II Sumatera Utara. Saya hanya tahu dari surat kabar bahwa ada peristiwa pembunuhan tujuh jenderal di Jakarta. Padahal sebelumnya rombongan jenderal Ahmad Yani baru meninjau Lintas Sumatera. Jadi kami sangat sedih, terkejut.
Nah, tahun 1967, saya sering jaga, katanya terhadap PKI malam. Lha, PKI Malam bentuknya bagaimana. Sedangkan PKI yang katanya berontak pun, tak ada kontak senjata, tak ada korban dari angkatan, tak ada korban anggota (TNI, selain tujuh perwira).
Tahun 1967 itu, saya sempat pulang ke Solo, Jawa, untuk menikah. Lalu sesudahnya isteri saya bawa ke Sumut. Nah tengah malam ada bintara Provos dari PASI I, mengetuk. “Kopral Basiran, dipanggil komandan batalion."
Terus di kantor Provos dulu Pasi I. Saya dimasukan ruangan yang gelap. Saya menolak. Apa salah saya? Tapi dipaksa. “Pokoknya masuk dulu, besok baru tahu," katanya.
Lalu setelah kurang lebih setengah bulan, di dalam ternyata ada lima kawan saya. Saling kaget: kho kok kau masuk sini, begitu.
Beberapa kawan diinterogasi terus, saya tidak.Suatu waktu mereka dikirim ke Jalan Gandhi –terkenal untuk penyiksaan. Nah saya dipanggil, dipukuli. Terus dikatakan, saya dititipkan di situ. Tapi tak jelas persoalan apa, kesalahan saya apa. Waktu itu tak pandang bulu. Kalau sudah ditangkap, ya dianggap PKI.
Saya dipukuli, dibilang PKI.
Supanah, suami dibunuh ‘dia tidak tahu apa-apa’
“Suami saya seorang petani, dia tidak tahu apa-apa. Tentara menjemput dia malam-malam. Terakhir kali saya melihatnya, dia berlumuran darah. Wajahnya bengkak habis dipukuli.
Ketika saya membeli rumah sederhana setelah suami saya diambil tentara, masyarakat menghancurkannya. Tentara mencoba merampas lahan sawah keluarga, namun saya menghubungi salah satu keluarga yang anggota militer dan mereka tidak berani melakukannya.
Saya selalu terkenang ketika anak-anak saya berangkat ke sekolah dan orang-orang meneriaki mereka, ‘Itu anaknya komunis, mereka tidak boleh sekolah.’ Setiap saat saya mengingat ini, saya menangis (mulai menangis) Saya mengirim mereka untuk tinggal bersama sanak saudara dan syukur kepada Tuhan mereka menjadi orang-orang sukses.
Eric Sasono: Paman saya bangga membunuh orang
Kritikus film dan ilmuwan politik Eric Sasono (juga bekerja paruh waktu untuk BBC Indonesia) telah berdamai dengan kenyataan bahwa paman kesayangannya adalah salah satu pembunuh dalam peristiwa yang terus menghantui sejarah Indonesia.
Sang paman terbiasa berkisah dengan bangga pada Eric saat ia masih bocah, tentang bagaimana ia membunuh banyak orang yang dicurigai sebagai pengikut komunisme, dengan menggunakan kapak. Dia bahkan menunjukkan pada Eric kapak yang menelan banyak nyawa itu.
Menurut Eric, ia diajarkan di seluruh sekolah yang pernah dimasukinya, bahwa pembunuh seperti pamannya itu menyelamatkan bangsa dari perang saudara. Hingga baru-baru ini saja, ia mendapat cerita yang berbeda.
"Ketika saya menonton film dokumenter The Act of Killing – yang memperlihatkan bagaimana para pembunuh dengan bangganya mempertontonkan apa yang mereka lakukan - saya teringat paman saya. Saya merasa mual dan saya harus menyetop pemutaran film itu setelah beberapa menit."
Sejak itu, dia menyaksikan film yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer itu sebanyak lima kali.
Eric mengatakan dia tidak ingin menghakimi pamannya karena ia percaya ia produk dari zaman itu tetapi percaya bahwa Indonesia perlu membicarakan apa yang terjadi waktu itu.
"Kita harus mengakhiri budaya impunitas yang masih berlangsung; kita harus mengakhiri hal ini karena orang, dengan jahatan mereka, bisa lolos tak tersentuh. Berdamai dengan masa lalu kita adalah kunci untuk memecahkan masalah-masalah zaman ini, seperti korupsi. "
Namun melihat betapa dalamnya perpecahan di kalangan masyarakat, harapan akan keadilan atau terjadinya rekonsiliasi sangatlah tipis.
Betapa pun, pemerintah telah membuka Kotak Pandora ini dengan Simposium Tragedin 1965 beberapa waktu lalu, dan diskusi terbuka tentang periode gelap sejarah Indonesia pun berlangsung. Ini sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan bisa terjadi.
Ke mana hal ini akan mengarah, betapa pun, masih belum jelas.
Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar