Rabu, 01 Juni 2016

Aktivis: Jalan Rekonsiliasi Tragedi '65 Makin Panjang


Arie Firdaus, Jakarta - 2016-06-01

Mantan Penasihat Wakil Presiden bidang Hankam, Sintong Panjaitan, berbicara pada simposium anti-PKI di Balai Kartini, Jakarta, Rabu, 1 Juni 2016.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Rekonsiliasi terkait kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) 1965 dinilai akan semakin panjang, menyusul digelarnya simposium “tandingan” anti-PKI (Partai Komunis Indonesia) yang diprakarsai beberapa pensiunan jenderal dan organisasi masyarakat (Ormas), di Jakarta, 1-2 Juni 2016.
"Dalam konteks rekonsiliasi, itu (simposium anti-PKI) tak kontributif," kata wakil koordinator bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani kepada BeritaBenar, Rabu, 1 Juni 2016.
"Meskipun di luar itu, simposium tersebut sah-sah saja sebagai ruang diskusi," tambahnya.
Menurut Yati, pemerintah seharusnya hadir untuk menengahi agar masalah ini tak kian runyam dan berlarut-larut. Apalagi, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di awal masa pemerintahannya.
"Kan sudah ada lembaga-lembaga yang berwenang. Ada, kan, namanya Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), Kementerian Hukum dan HAM, atau Dewan Pertimbangan Presiden," ujarnya.
Pendapat senada dikatakan Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila, yang menilai masih ada beberapa pihak tak siap dengan rekonsiliasi tragedi 1965.
"Jenderal-jenderal itu, seperti Pak Kiki Syahnakri (panitia pengarah simposium anti-PKI) sekarang bikin simposium. Mereka kami undang ke Simposium ‘65 lalu tapi tidak mau hadir," kata Siti Noor, merujuk pada simposium nasional yang dilaksanakan April lalu.
Dia menduga, ketidaksiapan itu muncul lantaran masih ada yang berpikir bahwa tragedi 1965 terkait dengan pembelaan terhadap PKI.
 "Padahal bukan rekonsiliasi PKI dengan pihak lain. Ada kejahatan terhadap kemanusiaan pasca 1965 dan itu yang berusaha direkonsiliasi," ujarnya 
"Tak ada urusannya dengan politik, partai, atau ideologi. Menurut saya, ada upaya menggeser itu, dari kejahatan kemanusiaan menjadi pembelaan terhadap munculnya PKI."
Setelah simposium April lalu, berbagai razia dilancarkan terhadap hal-hal yang berbau komunis, termasuk merazia buku-buku berhaluan kiri, dan pembubaran film menyangkut tragedi G30S/PKI. Beberapa orang sempat ditangkap karena dituding menyebarkan simbol PKI.

Kasus terbaru ialah dua pengusaha ditangkap di Parungseah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Selasa, 31 Mei 2016, karena menyebar kaos berlambang palu arit. 
“Dari tangan kedua pengusaha, kami sita tujuh baju kaos berlambang PKI,” kata Kapolres Sukabumi Kota, AKBP Rustam Mansur, seperti dilansir kantor berita Antara.

'Mengamankan' Pancasila

Simposium anti-PKI digelar di Balai Kartini, Jakarta Selatan, dengan tajuk “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain”.
Sesuai tema, menurut Kiki Syahnakri, simposium digelar untuk menyatukan komponen bangsa dalam mencegah kebangkitan PKI.
"Ada yang tak ingin Indonesia kokoh dan bersatu," kata Kiki yang merupakan mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat. "Mereka berusaha membuat Indonesia tak stabil dengan mengusung isu HAM."
Perihal ketidakhadiran di Simposium Nasional 1965 yang digelar pemerintah April lalu, Kiki berdalih acara itu cenderung membela PKI sebagai korban. Padahal, dia mengaku sudah berniat hadir jika panitia simposium mengikuti TOR (term of reference) acara yang dikehendakinya.

Selain Kiki, pensiunan jenderal yang turut hadir dalam simposium tandingan ini adalah mantan Wakil Presiden Try Sutrisno. Dalam pernyataannya, Try menolak dengan keras rencana jika pemerintah harus meminta maaf atas tragedi masa lalu. 
"Kalau kita meminta maaf, maka kita mengabsahkan makar," tegasnya. "Justru kita yang terlebih dahulu menjadi korban," kata Try, yang merupakan mertua dari Ryamizard Ryacudu, Menteri Pertahanan yang juga banyak mengemukakan ketidaksetujuannya di media terhadap simposium bulan April tersebut.
"Kita sudah menerima PKI sebagai warga negara biasa. Pada 2016 lalu, seluruh simpatisan PKI dan keturunannya sudah memiliki hak menikmati hidupnya, baik politik, ekonomi, dan sosial budaya. Bahkan ada juga yang menjadi anggota atau pemimpin lembaga tinggi negara."
Lebih lanjut, Try menilai pemerintah telah "memberi angin" terhadap kebangkitan PKI. Hal itu tercermin dari digelarnya simposium nasional tragedi 1965.

Adapun ormas yang hadir, antara lain, Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/POLRI Indonesia (FKPPI), Pemuda Pancasila, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ansor, Majelis Ulama Indonesia, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Tampak pula Gubernur Lemhanas Agus Widjojo, yang juga Ketua Simposium Nasional 1965, April lalu.

Tampung rekomendasi

Meskipun bukan inisiatif pemerintah, juru bicara Presiden, Johan Budi, mengatakan akan tetap menampung hasil simposium tandingan anti-PKI yang diiniasi beberapa pensiunan jenderal dan ormas-ormas itu.
"Akan tetap dipelajari, seperti halnya hasil rekomendasi simposium sebelumnya," kata Johan Budi ketika dikonfirmasi BeritaBenar melalui telepon. "Keputusan penyelesaian perkara ‘65 akan mendengar segala rekomendasi yang ada. Presiden menerima semuanya," tambahnya.
Dalam Simposium Nasional 1965 pada 18-19 April lalu, pemerintah mengundang semua pihak terkait tragedi 1965, baik yang pro maupun kontra. Simposium itu adalah kegiatan pertama yang mempertemukan para korban dan pejabat negara setelah 50 tahun tragedi tersebut.

Panitia simposium 1965 sudah menyerahkan rekomendasi kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, pada 18 Mei lalu. Tetapi hingga kini pemerintah belum mengumumkan kepada publik apa isi rekomendasi tersebut.


0 komentar:

Posting Komentar