Rabu, 01 Juni 2016

Menhan Ryamizard: Saya tak mungkin mengkhianati Jokowi

1 Juni 2016

Ryamizard Ryacudu (kanan) saat menjabat sebagai Kepala staf TNI Angkatan Darat, dalam acara ulang tahun Kopassus, 15 April 2004. 
 
Sikap Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang menolak upaya pencarian kuburan massal terkait kekerasan pasca Oktober 1965 seperti yang diperintahkan Presiden Jokowi, membuat dirinya sempat dicap tidak loyal kepada presiden.

Saat digelar Simposium tragedi 1965 yang disponsori pemerintah, Ryamizard Ryacudu, kelahiran 1950, dianggap menjadi semacam 'juru bicara' kalangan pensiunan TNI Angkatan Darat yang menganggap acara itu lebih condong berpihak kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dan ketika muncul aksi-aksi organisasi masyarakat yang mencurigai segala aktivitas yang berbau 'kiri', Ryamizard terang-terangan bertemu sejumlah tokoh ormas Islam dan para pensiunan TNI untuk menggelar simposium 'tandingan' seputar peristiwa 1965.
"Tidak mungkin saya mengkhianati Presiden," tegas Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Selasa (30/05) di kantornya, saat ditanya terkait sikapnya yang seperti bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM di masa lalu.
copyright AFP | Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berpidato dalam acara Shangri-La Dialogue di Singapura, 30 Mei 2015. Acara yang membahas masalah keamanan kawasan ini dihadiri para menteri pertahanan Asia dan Pasifik. 
 
Mantan Kepala staf TNI Angkatan Darat (2002-2005) ini juga merasa ada pihak-pihak tertentu yang berusaha membenturkannya dengan Ketua umum PDI Perjuangan, Megawati Sukarnoputri, terkait sikapnya tentang penerbitan buku-buku 'kiri' belakangan ini.
Berikut petikan wawancara khusus dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu:

Anda dalam berbagai kesempatan kepada media dan masyarakat menyatakan sangat tidak setuju simposium tragedi 1965, karena khawatir akan terjadinya konflik horisontal di masyarakat. Bisa dijelaskan lebih jauh?

copyright BBC Indonesia | Ryamizard mengaku akan menghadiri acara simposium terkait peristiwa 1965 yang disebut sebagai simposium 'tandingan' atas simposium tragedi 1965 pada April lalu. 
 
Simposium 1965 itu, saya setuju-setuju saja. Itu ilmiah. Tapi yang menyangkut masalah Partai Komunis Indonesia (PKI) saya tidak setuju. Kenapa? Karena PKI sudah dilarang. Sudah ada Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang harus kita laksanakan. Jangan dilanggar. Ketetapan itu dibuat untuk dilaksanakan. Bukan setuju atau tidak setuju. Simposium 1965 silakan, tapi jangan bicara PKI. 

Dalam simposium itu secara jelaskan disebutkan bahwa yang akan diselesaikan adalah orang-orang yang disebut menjadi korban kekerasan pasca Oktober 1965. Artinya, yang menjadi titik fokus adalah korban. Dan simposium ini memilih menyelesaikannya secara rekonsiliasi. Apakah Anda berpikir ini masalah penting yang harus diselesaikan?
copyright BBC Indonesia | Simposium tragedi 1965 - yang disponsori pemerintah - dianggap Ryamizard lebih condong berpihak kepada PKI. 
 
Kita lihat sejarahnya. Kenapa pasca 1965, kenapa sebelum 1965 tidak dibahas?. Ini sama (ada kekerasan). Peristiwa 1948 kenapa tidak (dibahas dan diungkap). Sebelum 1965 banyak orang mati. Lagi pula setelah 1965 tidak hanya PKI yang mati. Jadi kalau dihitung-hitung banyak yang bukan PKI yang mati. Itu harus diketahui oleh seluruhnya. 

Dalam simposium 1965 yang dibahas adalah orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang peristiwa G30S dan menjadi korban. Dibunuh, dibuang dan tidak pernah diadili?

Setiap ada pemberontakan, pasti ada korban. Di seluruh dunia begitu. Yang memberontak PKI. Tiga kali PKI berontak, termasuk pemberontakan sebelum Republik Indonesia berdiri. Pada waktu kita menghadapi penjajah Belanda, saat agresi militer (1948), kita dipukul dari belakang.
Poster yang diusung seorang demonstran menuntut peradilan terhadap mantan Presiden Suharto. | copyright AFP
 
Pada waktu 1965, saat kita konfrontasi (dengan Malaysia), kita juga dibegitukan. Nah sekarang, setelah peristiwa 1965, kita sudah adem-adem, tidak ada masalah, lah kok timbul. Timbulnya saat kita menghadapi radikal-radikal agama. Kok timbul radikal kiri. Ini harus kita selesaikan. Ke depan tidak boleh ada lagi. Tapi selesaikan secara hukum.
Nah, kalau simposium kemarin itu membahas semua ini, saya setuju. Tapi kalau berat ke sana (PKI), saya tidak setuju.
Kemudian rekonsiliasi. Saya setuju rekonsiliasi, tapi yang bagaimana? Kalau dengan PKI, tidak perlu rekonsiliasi. Sudah selesai! Orang-orangnya (pimpinan PKI) sudah mati semua. Sudah maaf-maafan, selesai. Yang perlu kita rekonsiliasi itu adalah sekarang ada Orde Baru, Orde Lama, ada Orde Reformasi. Selagi terpecah menjadi tiga seperti itu, artinya bangsa kita belum bersatu. Ada orde-ordean. Ini harus dihapus dengan rekonsilasi! Udahlah enggak ada lagi masalah orde-ordean. Kita satu bangsa berpikir ke depan, membangun ke depan. Ini rekonsiliasi besar. 

Berarti, kalau saya boleh katakan, Anda setuju dengan kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan di masa lalu?

Asal bukan PKI ya. Tidak ada lagi orde-ordean! orde Bung Karno, orde Pak Harto, jangan ada lagi. Selesaikan. Kita jadi satu dan fokus membangun. Bhinneka Tunggal itu bermacam-macam, tetapi kita satu. Sekarang belum satu. Kenapa belum satu? Karena masih ada orde-ordean itu.

 Ryamizard Ryacudu bersama sejumlah menteri kabinet kerja, 27 Oktober 2014 di Istana Presiden. "Ada yang ingin membenturkan saya dengan ibu Megawati," kata Ryamizard Ryacudu. copyright AFP 

Kalau penyelesaian secara hukum, 'kan sudah ada Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi jangan main hakim sendiri. Jangan ada Tap MPR lalu mau dicabut. Itu mau menang sendiri. 

Anda pernah menyatakan khawatir terhadap apa yang Anda sebut sebagai kebangkitan PKI. Apa yang membuat Anda yakin dengan melontarkan pernyataan seperti itu?

copyright AFP
Aksi kelompok Front Pembela Islam, FPI, yang terus mengkampanyekan penolakannya terhadap segala hal yang dikaitkan dengan PKI.
Kalau khawatir PKI akan bangkit lagi, saya kira tidak. Kenapa? Karena 99% lebih bangsa ini tidak suka PKI. Jadi kita nggak perlu khawatir. Tapi kalau ribut-ribut itu kita khawatir, timbul perkelahian, dan pertumpahan darah. Dan kalau lama-lama dibiarkan, itu akan menjadi besar juga. Kalau kebangkitan PKI itu mungkin (membutuhkan waktu) lama, kalau dibiarin
Cuma yang kecil itu dibesar-besarkan saja. Saya bukan ngomong di Jakarta. Saya langsung ke kampung-kampung di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, saya simpulkan 99% bangsa kita tidak suka PKI.

Tadi Anda mengatakan bahwa simposium tragedi 1965 cenderung mendukung PKI, sehingga muncul simposium tandingan yang digelar pensiunan TNI dan ormas Islam awal Juni ini. Anda mendukung simposium tandingan ini?

Image copyright Getty Images
Image caption Masyarakat anti komunis di Jakarta melakukan pengrusakan terhadap bangunan yang diduga milik anggota PKI di Jakarta usai Oktober 1965.
Semua simposium untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak dan tidak berpihak, saya setuju. Tapi kalau sudah berpihak, saya tidak setuju. Itu memecah belah. Pertama, Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah jelas; Yang kedua, jangan berpihak dan berpikirlah jernih. PKI sudah beberapa kali berontak. Setelah merdeka dua kali berontak. Sudah cukup. Mau tiga kali? Itu tidak boleh. Dan itu tidak mungkin. Tapi akan terjadi keributan? Ya. Itu masalah dendam saja. 

Image copyright AP
Image caption Sejumlah orang yang dituduh simpatisan atau anggota PKI diringkus oleh aparat TNI pasca 30 Oktober 1965.
Sebetulnya bangsa Indonesia tidak pendendam. Kita dijajah Belanda, apakah ada dendam? Ada pembantaian 40.000 orang di Sulawesi oleh Westerling, apakah ada tuntutan pengungkapan kuburan massal? Enggak juga. Tidak ada dendam. Presiden AS Barack Obama ke Hiroshima, itu ada masalah perang, dia tidak minta maaf. Padahal ada berapa yang mati karena bom atom. Jadi kita jangan seperti katak dalam tempurung. Lihat dong yang lain. Sudahlah! Bangsa kita itu bangsa pemaaf, sudah melupakan. Ini kok yang kecil-kecil ditimbulkan lagi. Jangan-jangan ada sokongan dari pihak lain. Saya tidak mengerti. 

Tapi Anda setuju dengan sejarawan independen yang mengatakan bahwa hampir setengah juta orang dibunuh pada pasca Oktober 1965, padahal mereka bukan anggota PKI dan tidak tahu menahu. Anda setuju dengan pernyataan ini?

Kita lihat sejarawan lainnya juga, kita lihat Taufik Ismail. Jangan satu sejarawan. Kumpulkan sejarawan lainnya. Biar mereka diskusi, biar berargumen. Mana yang benar. Jangan kita lihat satu pihak. Saya tidak suka. Harus sama-sama. Ada yang bilang begitu, ada yang bilang (korbannya) lebih kecil, ada yang bilang lebih banyak.

Image copyright noni arnee
Image caption Kuburan massal yang diduga simpatisan atau anggota PKI di Plumbon, Semarang, Jateng.
Kemudian pada prinsipnya, kalau kita bongkar kuburan massal. Di setiap kuburan tentu ada tulisan 'telah beristirahat dengan tenang'. Ini kalau dibongkar-bongkar, dia tidak tenang. Berarti tidak menghormati yang mati.
Tapi kuburan massal yang saya datangi di Pati, Jateng, yang katanya kuburan massal korban 65, itu tidak ada tulisan seperti itu. Letaknya di tengah hutan...

Image copyright BBC Indonesia
Image caption Kuburan massal orang-orang yang dituduh simpatisan PKI di hutan Jegong, Kabupaten Pati, Jateng.
Ha, ha, ha... Kalau tahu, tulis saja namanya. Kalau enggak tahu (identitas siapa yang dikubur) ya sudah. Seperti di Aceh yang menjadi korban gempa bumi. Itu kuburan massal. Sudahlah! Kalau dibangkit-bangkitkan, waduh susah! Nanti menyalah-nyalahkan orang lain terus.
Bahwa di balik upaya atau usulan pembongkaran kuburan massal terkait peristiwa kekerasan 1965 itu adalah upaya untuk mengungkap tragedi yang terjadi saat itu, tentu ini sebuah jalan yang baik?

Image copyright AFP
Image caption Ryamizard Ryacudu saat menjabat Kepala staf TNI Angkatan Darat, dalam sebuah acara, 6 September 2004.
Jalan baik? Kenapa hanya (kasus) 1965? Mengapa tidak dari awal? Saya datang ke Jawa Tengah, Jawa Timur, kalau kuburan massal itu digali, bisa berkelahi. Saya sebagai Menteri Pertahanan tidak suka dengan kekacauan di negeri ini. Saya Menteri Pertahanan. Kalau ada perkelahian, ada pertumpahan darah, itu harus dicegah. Mencegahnya bagaimana? Ada Tap MPR (tentang pelarangan PKI). Itu harus dipegang.
Seperti di Jerman, coba pakai lambang Nazi yaitu swastika, ditangkap! Di Amerika Serikat, pakai Ku Klux Kan, ditangkap juga. Jangan membangkitkan peristiwa masa lalu. Sudah dikubur! Nah kita mau buka-buka terus, mau jadi apa?! Kita tidak maju. Kita cuma pandai buka-buka ke belakang.
Tetapi bukankah ada yang mengatakan bahwa kita harus belajar dari sejarah. Orang Amerika belajar dari kasus Ku Klux Klan, orang Jerman belajar masa lalu Nazi. Kita juga bisa belajar dari masa lau agar tidak terulang di masa depan?

Image copyright AFP
Image caption Didampingi Menteri Pertahanan AS Ashton Carter, Menhan Ryamizard dalam kunjungannya ke Pentagon, AS, 12 Mei 2015.
Saya setuju. Kita belajar dari dua kali pemberontakan PKI, itu belajar! Masa ke depan pelajaran ini tidak diingat.
Bukan hanya sisi PKI, tapi barangkali dari kasus pembunuhan massal yang terjadi setelah Oktober 1965, karena korbannya tidak terkait langsung dengan PKI?
Saya setuju itu, tapi kalau itu dikutik-kutik, tidak akan terjadi perdamaian. Saya sampaikan bangsa Indonesia ini bangsa yang sopan. Bangsa yang menerima. Itu (tentara) Belanda yang membunuh 40.000 orang Indonesia di Makasar? Apa dibongkar-bongkar kuburannya? Tidak! Belum lagi kerja paksa pembuatan jalan dari Banten ke Banyuwangi, banyak seklai korbannya. Satu pun tidak pernah kita kutik-kutik.
Namun menurut Anda apakah penting bagi anak sekolah di Indonesia untuk belajar sejarah secara riil, karena di dalam buku tidak ada mengenai korban pembunuhan massal orang-orang tidak berdosa setelah Oktober 1965?

Image copyright AF
Image caption Sebagai Kepala staf TNI Angkatan Darat, Ryamizard Ryacudu dalam sebuah acara inspeksi pasukan, 15 April 2004.
Betul, saya setuju. Tapi yang pasti, bukan ngarang-ngarang. Bukan karena benci atau dendam. Kita mengungkap untuk kebenaran, itu betul. Tapi kalau dilatari dendam, itu tidak valid. saya tidak setuju, Akan terus ada dendam. Bangsa ini tidak boleh dendam-dendaman. Sampai kapan.
Mengapa Anda, sebagai Menteri Pertahanan, bersedia bertemu dengan pimpinan ormas Islam seperti FPI yang dalam beberapa kasus acap melakukan aksi kekerasan atas nama agama?
Itu pertemuan di Balai Kartini yang digelar PPAD. Kenapa? Masak dia ada di sana, saya lantas keluar? Itu orang Islam juga, orang Indonesia juga.
Bukankah mereka identik dengan anarkisme?

Image copyright 1
Image caption "Bapak saya Ryacudu. Dia loyal kepada Presiden Sukarno. Mertua saya (Try Sutrisno, mantan wakil presiden) loyal kepada Presiden Suharto," kata Ryamizard Ryacudu.
Anarkis? Ini PKI lebih anarkis. Front Pembela Islam menegakkan Islam yang benar. Kalau anggotanya ada yang tidak benar, tindak anggotanya. Ditangkap sama polisi. Jangan organisasinya. Tujuannya benar. Kalau ada beberapa orang menjadi radikal, misalnya, itu yang kita selesaikan. FPI kan tidak radikal. Ada nggak anggotanya yang dikirim ke Suriah? Tidak ada. Ada tidak anggotanya terlibat di kasus-kasus bom di Indonesia? Tidak ada dari dulu. Tapi kalau ada anggotanya yang tidak benar, itu diselesaikan secara hukum. Itu baru adil. 

Dan kembali ke soal simposium terkait peristiwa 1965 yang digelar awal Juni. Apakah Anda akan menghadiri acara itu?

Image copyright Reuters
Image caption "Kalau saya diundang Insya Allah hadir. Saya tidak membuka (simposium), tapi akan ikut di hari kedua," kata Ryamizard saat ditanya apakah dirinya akan menghadiri simposium 'tandingan' terkait kasus 1965.
Kalau saya diundang Insya Allah hadir. Saya tidak membuka (simposium), tapi akan ikut di hari kedua. Karena hari pertama saya ikut Presiden ke Bandung, ada peringatan hari Pancasila. 

Dengan rencana kehadiran Anda, bisa disebut Anda mendukung simposium itu ya? Apalagi Anda mengatakan simposium tragedi 1965 pada April lalu terlalu condong memihak PKI?

Image copyright AFP
Image caption Menhan Ryamizard Ryacudu bersama dua menteri Kabinet Kerja, di komplek Istana Merdeka, 27 Oktober 2014.
Ini orang-orang purnawirawan (TNI), orang-orang sudah tua. Bukan anak kecil. Pelaku sejarah. Dia pasti berbicara dengan jujur, benar, bijak. Kita dengarkan orang-orang tua itu. Umurnya di atas 70, 80 tahun ke atas. Bukan anak-anak kecil yang baru kemarin ngomong yang ngerti juga nggak waktu PKI berontak. Mungkin bahkan bapaknya belum lahir, dan ngomongnya macam-macam dan enggak jelas. Saya akan datang ke acara ini. 

Dalam sebuah kesempatan, Ketua Komnas HAM menyatakan pemerintah selayaknya minta maaf kepada korban tidak berdosa dalam peristiwa tragedi 1965. Ini ditekankan bahwa permintaan maaf itu bukan ditujukan kepada PKI. Apa tanggapan Anda?

Komnas HAM itu siapa! Saya ngerti kok macam-macam orang di Komnas HAM. Ada orang yang betul, ada yang nggak betul! Kalau nggak betul, selalu memancing-mancing seperti itu. Soal meminta maaf, kalau permintaan maaf perorangan, saat lebaran nanti selesai. Itu pasti diterima Tuhan.

Image copyright BBC Indonesia
Image caption Spanduk anti PKI yang dipasang oleh kelompok yang merasa khawatir terhadap apa yang disebut sebagai kebangkitan PKI di Indonesia.
Tapi kalau maaf secara negara, enggak boleh. Kenapa? Karena, begitu kita maaf, wah itu bisa salah dan harus dihukum! Panjang! Kalau itu berlaku terus, kapan mau selesainya! Nggak akan selesai. Sudah selesai! Dimaafkan semuanya!
Yang paling penting bagi Tuhan adalah dalam sini (tangan Ryamizard menunjuk ke dadanya). Bukan asal ngomong tapi pelaksanaannya lain. Manusia itu harus saling memaafkan. Saya setuju. Tapi kalau diucapkan untuk politik, enggak benar! Apalagi kalau ada bayarannya, itu tambah enggak benar lagi.

Sebagai orang yang besar di TNI, bagaimana Anda memandang peristiwa 1965?

Ya, mengerikanlah! Saya masih kecil, masih SMP. Itu tidak boleh terjadi lagi. Makanya waktu Orba jangan terjadi lagi, ada tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Mungkin ada tindakan-tindakan berlebihan yang tidak benar, pasti adalah itu. Tapi maksudnya itu baik agar tidak terjadi pemberontakan (PKI) yang ketiga pada bangsa ini.

Image copyright AFP
Image caption Presiden Sukarno, 1 Januari 1960. "Saya ini adalah keturunan orang yang loyal. Bapak saya Ryacudu. Dia loyal kepada Presiden Sukarno..." kata Ryamizard.
Saya tidak setuju ada pemberontakan. Kalau misalnya dulu (PKI) menang, seluruh kita digorok, dikubur seperti di lubang buaya. Ada perwira saya, itu adik orang tuanya sedang di masjid ditarik, dibunuh, karena (orang PKI) kalah main bola, saat sorenya.
"Saya ini adalah keturunan orang yang loyal... Mertua saya (Try Sutrisno, mantan wakil presiden) loyal kepada Presiden Suharto. Saya loyal kepada Presiden Jokowi," aku 
 
Ryamizard Ryacudu.
Image copyright AFP
Image caption Presiden Suharto dan pimpinan ABRI, 5 Oktober 1994. 
Apa itu mau disebut-sebut terus? Ya enggak usahlah. Kalau dicari-cari pasti banyak. Kedua pihak pasti ada yang salah. Masak kita cari kesalahan! Sekarang yang penting cari kebenaran. Kalau salah, siapa manusia yang nggak salah?! Jadi jangan cari-cari kesalahan, apalagi dengan tujuan apalah. Itu tidak baik. Itu yang membuat negara rusak. Kacau. Kalau berani buktikan, apa?!
Kalau saya jujur, saya tidak berpolitik. Tuhan yang menjadikan saya menjadi Menteri Pertahanan. Saya tidak minta-minta. Untuk itu, saya laksanakan dengan baik, bagaimana Indonesia tahan terhadap ancaman baik fisik maupun non-fisik. Yang nonfisik itu yang radikal-radikal itu yang harus dihadapi.

Pernyataan dan sikap yang Anda tunjukkan ke publik terkait kasus kekerasan 1965 dianggap sebagian orang menunjukkan adanya perbedaan sikap antara Anda dengan Menkopolhukam atau sikap resmi pemerintah yang berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di masa lalu. Bagaimana tanggapan Anda?

Saya kemarin dua kali bertemu (Menkopolhukam) Pak Luhut. Tidak ada masalah. Kita bicara mengenai Tap MPR (tentang pelarangan PKI) dan UU lain.

Beliau bilang memang tidak seharusnya ada PKI lagi di Indonesia. Mungkin di-plintir-plintir saja (pernyataan saya) oleh orang lain.

Image copyright AFP
Image caption Megawati Sukarnoputri, Ketua umum PDI Perjuangan. 
 
"Saya bilang kepada Pak Luhut: 'Bang, saya juga diplintir-plintir juga, masak orang bilang saya melarang orang membaca buku Di bawah bendera Revolusi (karya Sukarno)'. Artinya ini 'kan membenturkan saya dengan ibu Megawati," kata Ryamizard.
Saya bilang kepada Pak Luhut: 'Bang, saya juga diplintir-plintir juga, masak orang bilang saya melarang orang membaca buku Di bawah bendera Revolusi (karya Sukarno)'. Artinya ini 'kan membenturkan saya dengan ibu Megawati.
Saya ini adalah keturunan orang yang loyal. Bapak saya Ryacudu. Dia loyal kepada Presiden Sukarno. Mertua saya (Try Sutrisno, mantan wakil presiden) loyal kepada Presiden Suharto. Saya loyal kepada Presiden Jokowi. Tidak mungkin saya mengkhianati atau membangkang. Kalau saya tidak suka, saya berhenti (sebagai Menhan) dong! Karena dia betul-betul memikirkan negara, saya hormat kepada beliau.

Artinya Anda setuju dengan rencana rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah dugaan pelanggaran HAM di masa lalu?

Ya. Tapi tingkatannya. Jadi ke depan, tidak ada lagi orde-ordean, Orde Baru, Orde Lama, atau orde lainnya. Kita semua satu bangsa. 
 
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160531_indonesia_wawancara_menhan

0 komentar:

Posting Komentar