Ryamizard Ryacudu (kanan) saat menjabat sebagai Kepala staf TNI Angkatan Darat, dalam acara ulang tahun Kopassus, 15 April 2004.
Sikap Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang menolak upaya pencarian kuburan massal
terkait kekerasan pasca Oktober 1965 seperti yang diperintahkan
Presiden Jokowi, membuat dirinya sempat dicap tidak loyal kepada
presiden.
Saat digelar Simposium tragedi 1965 yang disponsori
pemerintah, Ryamizard Ryacudu, kelahiran 1950, dianggap menjadi semacam
'juru bicara' kalangan pensiunan TNI Angkatan Darat yang menganggap
acara itu lebih condong berpihak kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan ketika muncul aksi-aksi organisasi
masyarakat yang mencurigai segala aktivitas yang berbau 'kiri',
Ryamizard terang-terangan bertemu sejumlah tokoh ormas Islam dan para
pensiunan TNI untuk menggelar simposium 'tandingan' seputar peristiwa
1965. "Tidak mungkin saya mengkhianati Presiden," tegas Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Selasa (30/05) di kantornya, saat ditanya
terkait sikapnya yang seperti bertolak belakang dengan kebijakan
pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM di
masa lalu.
copyrightAFP |Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berpidato dalam
acara Shangri-La Dialogue di Singapura, 30 Mei 2015. Acara yang
membahas masalah keamanan kawasan ini dihadiri para menteri pertahanan
Asia dan Pasifik.
Mantan Kepala staf TNI Angkatan Darat (2002-2005)
ini juga merasa ada pihak-pihak tertentu yang berusaha membenturkannya
dengan Ketua umum PDI Perjuangan, Megawati Sukarnoputri, terkait
sikapnya tentang penerbitan buku-buku 'kiri' belakangan ini. Berikut petikan wawancara khusus dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu:
Anda
dalam berbagai kesempatan kepada media dan masyarakat menyatakan sangat
tidak setuju simposium tragedi 1965, karena khawatir akan terjadinya
konflik horisontal di masyarakat. Bisa dijelaskan lebih jauh?
copyrightBBC Indonesia|
Ryamizard mengaku akan menghadiri acara simposium
terkait peristiwa 1965 yang disebut sebagai simposium 'tandingan' atas
simposium tragedi 1965 pada April lalu.
Simposium 1965 itu, saya setuju-setuju saja. Itu
ilmiah. Tapi yang menyangkut masalah Partai Komunis Indonesia (PKI) saya
tidak setuju. Kenapa? Karena PKI sudah dilarang. Sudah ada Ketetapan
MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang harus kita laksanakan. Jangan dilanggar. Ketetapan itu dibuat
untuk dilaksanakan. Bukan setuju atau tidak setuju. Simposium 1965
silakan, tapi jangan bicara PKI.
Dalam simposium itu secara
jelaskan disebutkan bahwa yang akan diselesaikan adalah orang-orang yang
disebut menjadi korban kekerasan pasca Oktober 1965. Artinya, yang
menjadi titik fokus adalah korban. Dan simposium ini memilih
menyelesaikannya secara rekonsiliasi. Apakah Anda berpikir ini masalah
penting yang harus diselesaikan?
copyrightBBC Indonesia| Simposium tragedi 1965 - yang disponsori pemerintah - dianggap Ryamizard lebih condong berpihak kepada PKI.
Kita lihat sejarahnya. Kenapa pasca 1965, kenapa
sebelum 1965 tidak dibahas?. Ini sama (ada kekerasan). Peristiwa 1948
kenapa tidak (dibahas dan diungkap). Sebelum 1965 banyak orang mati.
Lagi pula setelah 1965 tidak hanya PKI yang mati. Jadi kalau
dihitung-hitung banyak yang bukan PKI yang mati. Itu harus diketahui
oleh seluruhnya.
Dalam simposium 1965 yang dibahas adalah orang-orang yang
tidak tahu-menahu tentang peristiwa G30S dan menjadi korban. Dibunuh,
dibuang dan tidak pernah diadili?
Setiap ada pemberontakan,
pasti ada korban. Di seluruh dunia begitu. Yang memberontak PKI. Tiga
kali PKI berontak, termasuk pemberontakan sebelum Republik Indonesia
berdiri. Pada waktu kita menghadapi penjajah Belanda, saat agresi
militer (1948), kita dipukul dari belakang.
Poster yang diusung seorang demonstran menuntut peradilan terhadap mantan Presiden Suharto. | copyrightAFP
Pada waktu 1965, saat kita konfrontasi (dengan Malaysia), kita juga
dibegitukan. Nah sekarang, setelah peristiwa 1965, kita sudah adem-adem, tidak ada masalah, lah kok timbul. Timbulnya saat kita menghadapi radikal-radikal agama. Kok timbul radikal kiri. Ini harus kita selesaikan. Ke depan tidak boleh ada lagi. Tapi selesaikan secara hukum. Nah, kalau simposium kemarin itu membahas semua ini, saya setuju. Tapi kalau berat ke sana (PKI), saya tidak setuju. Kemudian rekonsiliasi. Saya setuju
rekonsiliasi, tapi yang bagaimana? Kalau dengan PKI, tidak perlu
rekonsiliasi. Sudah selesai! Orang-orangnya (pimpinan PKI) sudah mati
semua. Sudah maaf-maafan, selesai. Yang perlu kita rekonsiliasi itu
adalah sekarang ada Orde Baru, Orde Lama, ada Orde Reformasi. Selagi
terpecah menjadi tiga seperti itu, artinya bangsa kita belum bersatu.
Ada orde-ordean. Ini harus dihapus dengan rekonsilasi! Udahlah enggak ada lagi masalah orde-ordean. Kita satu bangsa berpikir ke depan, membangun ke depan. Ini rekonsiliasi besar.
Berarti,
kalau saya boleh katakan, Anda setuju dengan kebijakan pemerintah untuk
menyelesaikan masalah-masalah kekerasan di masa lalu?
Asal
bukan PKI ya. Tidak ada lagi orde-ordean! orde Bung Karno, orde Pak
Harto, jangan ada lagi. Selesaikan. Kita jadi satu dan fokus membangun.
Bhinneka Tunggal itu bermacam-macam, tetapi kita satu. Sekarang belum
satu. Kenapa belum satu? Karena masih ada orde-ordean itu.
Ryamizard Ryacudu bersama sejumlah menteri kabinet
kerja, 27 Oktober 2014 di Istana Presiden. "Ada yang ingin membenturkan
saya dengan ibu Megawati," kata Ryamizard Ryacudu.copyrightAFP
Kalau penyelesaian secara hukum, 'kan sudah ada
Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia (PKI). Tapi jangan main hakim sendiri. Jangan ada Tap MPR lalu
mau dicabut. Itu mau menang sendiri.
Anda pernah menyatakan
khawatir terhadap apa yang Anda sebut sebagai kebangkitan PKI. Apa yang
membuat Anda yakin dengan melontarkan pernyataan seperti itu?
Kalau khawatir PKI akan bangkit lagi, saya kira
tidak. Kenapa? Karena 99% lebih bangsa ini tidak suka PKI. Jadi kita
nggak perlu khawatir. Tapi kalau ribut-ribut itu kita khawatir, timbul
perkelahian, dan pertumpahan darah. Dan kalau lama-lama dibiarkan, itu
akan menjadi besar juga. Kalau kebangkitan PKI itu mungkin (membutuhkan
waktu) lama, kalau dibiarin. Cuma yang kecil itu dibesar-besarkan saja. Saya bukan ngomong
di Jakarta. Saya langsung ke kampung-kampung di Sumatera, Sulawesi,
Kalimantan, Jawa, saya simpulkan 99% bangsa kita tidak suka PKI.
Tadi
Anda mengatakan bahwa simposium tragedi 1965 cenderung mendukung PKI,
sehingga muncul simposium tandingan yang digelar pensiunan TNI dan ormas
Islam awal Juni ini. Anda mendukung simposium tandingan ini?
Semua simposium untuk menyelesaikan dengan arif dan
bijak dan tidak berpihak, saya setuju. Tapi kalau sudah berpihak, saya
tidak setuju. Itu memecah belah. Pertama, Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun
1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah jelas; Yang
kedua, jangan berpihak dan berpikirlah jernih. PKI sudah beberapa kali
berontak. Setelah merdeka dua kali berontak. Sudah cukup. Mau tiga kali?
Itu tidak boleh. Dan itu tidak mungkin. Tapi akan terjadi keributan?
Ya. Itu masalah dendam saja.
Sebetulnya bangsa Indonesia tidak pendendam. Kita
dijajah Belanda, apakah ada dendam? Ada pembantaian 40.000 orang di
Sulawesi oleh Westerling, apakah ada tuntutan pengungkapan kuburan
massal? Enggak juga. Tidak ada dendam. Presiden AS Barack Obama
ke Hiroshima, itu ada masalah perang, dia tidak minta maaf. Padahal ada
berapa yang mati karena bom atom. Jadi kita jangan seperti katak dalam
tempurung. Lihat dong yang lain. Sudahlah! Bangsa kita itu bangsa pemaaf, sudah melupakan. Ini kok yang kecil-kecil ditimbulkan lagi. Jangan-jangan ada sokongan dari pihak lain. Saya tidak mengerti.
Tapi
Anda setuju dengan sejarawan independen yang mengatakan bahwa hampir
setengah juta orang dibunuh pada pasca Oktober 1965, padahal mereka
bukan anggota PKI dan tidak tahu menahu. Anda setuju dengan pernyataan
ini?
Kita lihat sejarawan lainnya juga, kita lihat Taufik
Ismail. Jangan satu sejarawan. Kumpulkan sejarawan lainnya. Biar mereka
diskusi, biar berargumen. Mana yang benar. Jangan kita lihat satu pihak.
Saya tidak suka. Harus sama-sama. Ada yang bilang begitu, ada yang
bilang (korbannya) lebih kecil, ada yang bilang lebih banyak.
Kemudian pada prinsipnya, kalau kita bongkar kuburan
massal. Di setiap kuburan tentu ada tulisan 'telah beristirahat dengan
tenang'. Ini kalau dibongkar-bongkar, dia tidak tenang. Berarti tidak
menghormati yang mati. Tapi kuburan massal yang saya datangi
di Pati, Jateng, yang katanya kuburan massal korban 65, itu tidak ada
tulisan seperti itu. Letaknya di tengah hutan...
Ha, ha, ha... Kalau tahu, tulis saja namanya. Kalau enggak
tahu (identitas siapa yang dikubur) ya sudah. Seperti di Aceh yang
menjadi korban gempa bumi. Itu kuburan massal. Sudahlah! Kalau
dibangkit-bangkitkan, waduh susah! Nanti menyalah-nyalahkan orang lain terus. Bahwa
di balik upaya atau usulan pembongkaran kuburan massal terkait
peristiwa kekerasan 1965 itu adalah upaya untuk mengungkap tragedi yang
terjadi saat itu, tentu ini sebuah jalan yang baik?
Jalan baik? Kenapa hanya (kasus) 1965? Mengapa tidak
dari awal? Saya datang ke Jawa Tengah, Jawa Timur, kalau kuburan massal
itu digali, bisa berkelahi. Saya sebagai Menteri Pertahanan tidak suka
dengan kekacauan di negeri ini. Saya Menteri Pertahanan. Kalau ada
perkelahian, ada pertumpahan darah, itu harus dicegah. Mencegahnya
bagaimana? Ada Tap MPR (tentang pelarangan PKI). Itu harus dipegang. Seperti
di Jerman, coba pakai lambang Nazi yaitu swastika, ditangkap! Di
Amerika Serikat, pakai Ku Klux Kan, ditangkap juga. Jangan membangkitkan
peristiwa masa lalu. Sudah dikubur! Nah kita mau buka-buka terus, mau
jadi apa?! Kita tidak maju. Kita cuma pandai buka-buka ke belakang. Tetapi
bukankah ada yang mengatakan bahwa kita harus belajar dari sejarah.
Orang Amerika belajar dari kasus Ku Klux Klan, orang Jerman belajar masa
lalu Nazi. Kita juga bisa belajar dari masa lau agar tidak terulang di
masa depan?
Saya setuju. Kita belajar dari dua kali pemberontakan PKI, itu belajar! Masa ke depan pelajaran ini tidak diingat. Bukan
hanya sisi PKI, tapi barangkali dari kasus pembunuhan massal yang
terjadi setelah Oktober 1965, karena korbannya tidak terkait langsung
dengan PKI? Saya setuju itu, tapi kalau itu dikutik-kutik,
tidak akan terjadi perdamaian. Saya sampaikan bangsa Indonesia ini
bangsa yang sopan. Bangsa yang menerima. Itu (tentara) Belanda yang
membunuh 40.000 orang Indonesia di Makasar? Apa dibongkar-bongkar
kuburannya? Tidak! Belum lagi kerja paksa pembuatan jalan dari Banten ke
Banyuwangi, banyak seklai korbannya. Satu pun tidak pernah kita kutik-kutik. Namun
menurut Anda apakah penting bagi anak sekolah di Indonesia untuk
belajar sejarah secara riil, karena di dalam buku tidak ada mengenai
korban pembunuhan massal orang-orang tidak berdosa setelah Oktober 1965?
Betul, saya setuju. Tapi yang pasti, bukan ngarang-ngarang.
Bukan karena benci atau dendam. Kita mengungkap untuk kebenaran, itu
betul. Tapi kalau dilatari dendam, itu tidak valid. saya tidak setuju,
Akan terus ada dendam. Bangsa ini tidak boleh dendam-dendaman. Sampai
kapan. Mengapa Anda, sebagai Menteri Pertahanan, bersedia
bertemu dengan pimpinan ormas Islam seperti FPI yang dalam beberapa
kasus acap melakukan aksi kekerasan atas nama agama? Itu pertemuan di Balai Kartini yang digelar PPAD. Kenapa? Masak dia ada di sana, saya lantas keluar? Itu orang Islam juga, orang Indonesia juga. Bukankah mereka identik dengan anarkisme?
Anarkis? Ini PKI lebih anarkis. Front Pembela Islam
menegakkan Islam yang benar. Kalau anggotanya ada yang tidak benar,
tindak anggotanya. Ditangkap sama polisi. Jangan organisasinya.
Tujuannya benar. Kalau ada beberapa orang menjadi radikal, misalnya, itu
yang kita selesaikan. FPI kan tidak radikal. Ada nggak anggotanya yang
dikirim ke Suriah? Tidak ada. Ada tidak anggotanya terlibat di
kasus-kasus bom di Indonesia? Tidak ada dari dulu. Tapi kalau ada
anggotanya yang tidak benar, itu diselesaikan secara hukum. Itu baru
adil.
Dan kembali ke soal simposium terkait peristiwa 1965 yang digelar awal Juni. Apakah Anda akan menghadiri acara itu?
Kalau saya diundang Insya Allah hadir. Saya tidak
membuka (simposium), tapi akan ikut di hari kedua. Karena hari pertama
saya ikut Presiden ke Bandung, ada peringatan hari Pancasila.
Dengan
rencana kehadiran Anda, bisa disebut Anda mendukung simposium itu ya?
Apalagi Anda mengatakan simposium tragedi 1965 pada April lalu terlalu
condong memihak PKI?
Ini orang-orang purnawirawan (TNI), orang-orang
sudah tua. Bukan anak kecil. Pelaku sejarah. Dia pasti berbicara dengan
jujur, benar, bijak. Kita dengarkan orang-orang tua itu. Umurnya di atas
70, 80 tahun ke atas. Bukan anak-anak kecil yang baru kemarin ngomong
yang ngerti juga nggak waktu PKI berontak. Mungkin bahkan bapaknya belum lahir, dan ngomongnya macam-macam dan enggak jelas. Saya akan datang ke acara ini.
Dalam
sebuah kesempatan, Ketua Komnas HAM menyatakan pemerintah selayaknya
minta maaf kepada korban tidak berdosa dalam peristiwa tragedi 1965. Ini
ditekankan bahwa permintaan maaf itu bukan ditujukan kepada PKI. Apa
tanggapan Anda?
Komnas HAM itu siapa! Saya ngerti kok
macam-macam orang di Komnas HAM. Ada orang yang betul, ada yang nggak
betul! Kalau nggak betul, selalu memancing-mancing seperti itu. Soal
meminta maaf, kalau permintaan maaf perorangan, saat lebaran nanti
selesai. Itu pasti diterima Tuhan.
Tapi kalau maaf secara negara, enggak boleh. Kenapa? Karena, begitu kita maaf, wah
itu bisa salah dan harus dihukum! Panjang! Kalau itu berlaku terus,
kapan mau selesainya! Nggak akan selesai. Sudah selesai! Dimaafkan
semuanya! Yang paling penting bagi Tuhan adalah dalam sini
(tangan Ryamizard menunjuk ke dadanya). Bukan asal ngomong tapi
pelaksanaannya lain. Manusia itu harus saling memaafkan. Saya setuju.
Tapi kalau diucapkan untuk politik, enggak benar! Apalagi kalau ada bayarannya, itu tambah enggak benar lagi.
Sebagai orang yang besar di TNI, bagaimana Anda memandang peristiwa 1965?
Ya,
mengerikanlah! Saya masih kecil, masih SMP. Itu tidak boleh terjadi
lagi. Makanya waktu Orba jangan terjadi lagi, ada tindakan-tindakan yang
harus dilakukan. Mungkin ada tindakan-tindakan berlebihan yang tidak
benar, pasti adalah itu. Tapi maksudnya itu baik agar tidak terjadi
pemberontakan (PKI) yang ketiga pada bangsa ini.
Saya tidak setuju ada pemberontakan. Kalau misalnya
dulu (PKI) menang, seluruh kita digorok, dikubur seperti di lubang
buaya. Ada perwira saya, itu adik orang tuanya sedang di masjid ditarik,
dibunuh, karena (orang PKI) kalah main bola, saat sorenya.
Apa itu mau disebut-sebut terus? Ya enggak
usahlah. Kalau dicari-cari pasti banyak. Kedua pihak pasti ada yang
salah. Masak kita cari kesalahan! Sekarang yang penting cari kebenaran.
Kalau salah, siapa manusia yang nggak salah?! Jadi jangan cari-cari
kesalahan, apalagi dengan tujuan apalah. Itu tidak baik. Itu yang
membuat negara rusak. Kacau. Kalau berani buktikan, apa?! Kalau
saya jujur, saya tidak berpolitik. Tuhan yang menjadikan saya menjadi
Menteri Pertahanan. Saya tidak minta-minta. Untuk itu, saya laksanakan
dengan baik, bagaimana Indonesia tahan terhadap ancaman baik fisik
maupun non-fisik. Yang nonfisik itu yang radikal-radikal itu yang harus
dihadapi.
Pernyataan dan sikap yang Anda tunjukkan ke publik
terkait kasus kekerasan 1965 dianggap sebagian orang menunjukkan adanya
perbedaan sikap antara Anda dengan Menkopolhukam atau sikap resmi
pemerintah yang berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus dugaan
pelanggaran HAM di masa lalu. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya
kemarin dua kali bertemu (Menkopolhukam) Pak Luhut. Tidak ada masalah.
Kita bicara mengenai Tap MPR (tentang pelarangan PKI) dan UU lain.
Beliau bilang memang tidak seharusnya ada PKI lagi di Indonesia. Mungkin di-plintir-plintir saja (pernyataan saya) oleh orang lain.
Saya bilang kepada Pak Luhut: 'Bang, saya juga diplintir-plintir juga, masak orang bilang saya melarang orang membaca buku Di bawah bendera Revolusi (karya Sukarno)'. Artinya ini 'kan membenturkan saya dengan ibu Megawati. Saya
ini adalah keturunan orang yang loyal. Bapak saya Ryacudu. Dia loyal
kepada Presiden Sukarno. Mertua saya (Try Sutrisno, mantan wakil
presiden) loyal kepada Presiden Suharto. Saya loyal kepada Presiden
Jokowi. Tidak mungkin saya mengkhianati atau membangkang. Kalau saya
tidak suka, saya berhenti (sebagai Menhan) dong! Karena dia betul-betul memikirkan negara, saya hormat kepada beliau.
Artinya
Anda setuju dengan rencana rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah
untuk menyelesaikan masalah-masalah dugaan pelanggaran HAM di masa lalu?
Ya.
Tapi tingkatannya. Jadi ke depan, tidak ada lagi orde-ordean, Orde
Baru, Orde Lama, atau orde lainnya. Kita semua satu bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar