Isyana Artharini
Wartawan BBC Indonesia
Bagi ratusan orang
yang berkumpul di Balai Kartini, Jakarta, pada Rabu (01/06) pagi,
ketakutan mereka akan kebangkitan komunisme (dan Partai Komunis
Indonesia), sepertinya begitu terasa.
Suasana simposium yang dibuka dengan lagu Indonesia Raya dan pembacaan Pancasila itu awalnya cukup tenang, hanya tepuk tangan terdengar pelan saat mantan Wakil Presiden Try Sutrisno menyatakan bahwa mereka yang terlibat PKI sudah mendapat kembali hak-hak sipil, ekonomi, dan sosial budaya.
Begitu pula saat Try mengecam pengadilan sidang IPT soal 1965 yang berlangsung di Den Haag, Belanda, serta simposium nasional Tragedi 1965 yang menurutnya 'memberi angin terhadap aksi PKI'.
Namun, pada sesi pertama, keriuhan mulai terasa, menyusul tampilnya pendiri dan pemimpin kelompok radikal Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab yang menjadi pembicara memapar 'indikasi kebangkitan komunisme' lewat slide presentasi di proyektor besar.
Seperti layaknya bintang yang terbiasa dengan forum, Rizieq berbicara cepat dan berapi-api menyampaikan poin-poinnya.
Menurut Rizieq, tuntutan untuk mencabut TAP MPRS 25/1966 dan penghapusan 'sejarah pengkhianatan PKI dari kurikulum' pascareformasi adalah indikasi kebangkitan PKI.
Unsur PKI masuk ke pemerintah?
Begitu pula dengan penghentian pemutaran film G30S/PKI dari TVRI."Ada apa sehingga media takut menayangkan film G30S/PKI?" ujarnya disambut seruan dan tepukan tangan riuh peserta simposium.
Dia juga menyebut soal 'putra-putri PKI masuk parpol dan instansi negara' serta pembuatan buku dan film 'pembelaan terhadap PKI' juga disebut sebagai indikasi kebangkitan partai tersebut.
Riziek mengecam keras langkah Menkopolhukam Luhut Pandjaitan yang pernah meminta agar tidak berlebihan dalam merazia barang-barang dengan simbol yang terkait komunisme.
Padahal kemudian ucapan Luhut ini diperkuat lagi oleh pernyataan Jokowi yang meminta agar polisi dan TNI tak berlebihan dan melanggar kebebasan berekspresi masyarakat dalam upaya menindak hukum mereka yang diduga melakukan penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Rizieq Shihab mengaku, awalnya ia menyambut positif Simposium Tragedi 65 karena disponsori pemerintah, tapi katanya, 'ternyata simposium itu hanya menguntungkan kader-kader PKI'.
Hadirin riuh, dan pria yg duduk di sebelah Agus Widjojo, gubernur Lemhanas dan ketua Simposium Tragedi 1965 yang hadir sebagai undangan, langsung mengangkat tangan Agus memaksanya mengacungkan tangan.
Ini membuat peserta tambah riuh lagi, seakan mendapat pelampiasan untuk mengungkapkan emosi mereka. Dan sejumlah orang pun menunjuk-nujuk Agus Widjojo, yang tampak tenang.
Melihat gamblangnya penolakan terhadap simposium Tragedi 1965 berdalih ketakutan akan 'bangkitnya komunisme dan PKI' apakah upaya penuntasan Peristiwa 1965 kini akan semakin sulit?
Beda penafsiran
"Apa yang dituju oleh simposium Aryaduta (Tragedi 65) dan simposium ini sebetulnya pada hakikatnya sama," katanya berhati-hati.
"Tujuannya sama kok, hanya saja ada detail-detail penafsiran yang berbeda, karena tidak dikomunikasikan."
Agus mencontohkan, "Rekonsiliasi tidak hanya minta maaf pada korban PKI saja, rekonsiliasi itu adalah konsep yang sangat luas, dengan sangat berkait satu sama lain. Hanya karena mungkin kurang komunikasi satu sama lain, ada tafsiran-tafsiran sepihak."
Meski begitu, tim dari dua simposium berbeda ini tidak akan 'disatukan' sehingga masing-masing pihak akan memberi rekomendasi yang berbeda kepada pemerintah untuk menjadi bahan pertimbangan.
Ketika ditanya apakah Agus melihat simposium 'anti-PKI' ini sebagai sebuah membendung upaya pemerintah melakukan rekonsiliasi, dia mengatakan, "Tidak, semua orang kan punya pendapat."
"Dan kalau ada pendapat yang berbeda, dan simposium ini merasa perlu menyampaikan pendapatnya yang berbeda, yang didengar (pemerintah), walaupun belum dikomunikasikan dengan simposium Aryaduta, sah-sah saja untuk menyatakan pendapat, betapapun berbedanya itu."
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160601_indonesia_orasi_simposium
0 komentar:
Posting Komentar