Oktober 6, 2015
Kletus Karma Tata, 48, belum lahir ketika ayahnya Paulus
Parus ditangkap pada 1965, karena dituduh sebagai anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Bersama dengan ratusan orang lain di Kabupaten Manggarai,
bagian barat Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ayahnya itu
dijebloskan ke dalam tahanan selama 3 bulan, di mana mereka disiksa dan dipukul
oleh tentara.
Kala itu, PKI memang menjadi partai yang dimusuhi secara
luas setelah dituding sebagai dalang pembunuhan lima jenderal pada 30 September
1965 di Jakarta.
Pasca peristiwa itu, anggota dan simpatisan partai itu di
seluruh Indonesia ditangkap, disiksa dan dibunuh.
Ayah Tata yang meninggal pada 2008, beruntung kala itu
dilepaskan setelah tidak terbukti sebagai anggota PKI.
Namun, stigma kemudian tetap melekat pada diri dan
keluarganya, di mana mereka dianggap sebagai musuh negara.
“Saya ikut merasakan hal itu. Sejak kecil, sebutan bahwa saya anak orang PKI masih selalu saya dengar. Banyak orang menjauhi kami dan mengalami kesulitan saat berurusan dengan adminstrasi di pemerintahan,” kata Tata.
Tata mengenang, ayahnya memang selalu mengingatkan
anak-anaknya bahwa ia sama sekali tidak memiliki kaitan dengan PKI.
“Ayah dulu tidak sekolah. Dan ketika tiba-tiba ditangkap oleh tentara, ia tidak bisa melawan. Ia masih bingung hingga ia meninggal, mengapa dulu ia ditangkap,” katanya.
Abdullah Malik, 71, korban lain yang ditangkap bersama
ayah Tata mengaku, ada sekitar hampir 400 orang yang kala itu ditangkap di
seluruh Manggarai, di mana 100 orang kemudian tewas ditembak dan dikuburkan
secara massal di Ruteng, ibukota kabupaten Manggarai.
Pembantaian dan penyiksaan pasca tragedi 30 September
itu, yang terjadi di seluruh Indonesia, menyebabkan lebih dari 500 ribu orang
yang meninggal, ratusan orang dipenjara dan sekitar 12.000 orang diasingkan ke
Pulau Buru, di Maluku untuk menjalani kerja paksa.
Stigmatisasi
Kebencian terhadap PKI dan simpatisannya, serta mereka
yang pernah ditangkap pasca 1965 dihidupkan terus selama era Orde Baru, di
bawah pimpinan Presiden Soeharto yang dikenal diktator.
“Soeharto memproduksi pemahaman bahwa PKI dan simpatisannnya, termasuk orang-orang yang ditangkap adalah musuh negara,” kata Haris Azhar dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Hal itu, misalnya tampak dalam penayangan film tentang
pembunuhan para jenderal oleh anggota PKI di stasiun TV nasional setiap
menjelang tanggal 30 September.
Gambaran buruk tentang PKI yang diciptakan rezim orde
baru, kata Azhar, membuat sekian lama orang tidak mempedulikan adanya warga
sipil yang jadi korban, yang tidak memiliki kaitan ideologis dengan PKI.
“Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, tidak ada yang mempersoalkan itu,” katanya.
Tahun 1998, ketika memasuki era reformasi, di mana
kebebasan sipil mulai ada di Indonesia, orang mulai bebas mendiskusikan masalah
itu.
“Dan, mulai terungkap berbagai bentuk kejanggalan dari versi orde baru terhadap kasus itu,” katanya.
Orang-orang yang merasa menjadi korban, juga mulai
menuntut agar hak-hak mereka dipulihkan.
Hasil dari upaya itu misalnya, Komnas HAM yang pada
2008-2012 melakukan penyelidikan, kemudian menyebutkan cukup bukti pelanggaran
HAM berat dalam peristiwa itu, seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pengusiran, penyiksaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik pemerkosaan
dan penghilangan orang secara paksa.
Laporan tersebut sudah disampaikan kepada Jaksa Agung
pada 2012 lalu.
Namun, tidak ada perkembangan signifikan. Kejaksaan Agung
tidak menindaklanjuti temuan Komnas HAM.
Beberapa tahun terakhir, para korban yang masih hidup
bersama keluarga dan korban pelanggaran HAM masa lalu lainnya, berdiri di depan
istana pada setiap Kamis, meminta presiden menuntaskan masalah itu.
Sejak menjabat pada Oktober 2014, Presiden Joko
“Jokowi” Widodo memang berjanji untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai
prioritas, termasuk mengatasi kejahatan masa lalu.
Pada Mei, pemerintah mengumumkan mekanisme
non-yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk pembunuhan
tahun 1965.
Namun, tampaknya, upaya itu mendapat pertentangan dari
sejumlah pihak, termasuk dari kelompok agama, seperti Nahdatul Ulama,
organisasi Muslim terbesar yang memiliki sejarah konflik dengan PKI.
Wakil Ketua Umum NU Slamet Effendi Yusuf mengatakan,
pemerintah tidak perlu melakukan hal itu.
“Ada pengalaman buruk dengan PKI, termasuk sebelum peristiwa 1965. Negara tidak perlu minta maaf. Kalau ada rekonsiliasi, biarkan itu berjalan secara alami,” katanya.
Entah karena penolakan demikian, Sekretaris Kabinet
Pramono Anung mengatakan kepada media di Jakarta, pada 22 September lalu bahwa
Presiden Joko Widodo tidak pernah membahas agenda untuk meminta maaf pada
korban pelanggaran HAM masa lalu.
“Yang jelas persoalan permintaan maaf tersebut tidak pernah dibicarakan dalam rapat kabinet,” katanya.
Para korban dan aktivis
gelar Aksi Kamisan di seberang Istana Negara.
Desakan Aktivis
Di tengah pertentangan demikian, para aktivis menilai,
upaya menyelesaikan masalah ini, merupakan salah satu hal penting dalam sejarah
Indonesia.
“Lima dekade terlalu lama untuk menunggu keadilan bagi salah satu pembunuhan massal terburuk di era kita. Di seluruh Indonesia, korban 1965 dan 1966 dibiarkan berjuang sendiri, sementara mereka yang diduga bertanggung jawab secara pidana berjalan bebas,” kata Papang Hidayat, Peneliti Amnesty International untuk Indonesia.
“Pemerintah Indonesia harus mengakhiri ketidakadilan ini,” katanya.
Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua lembaga non pemerintah
Setara Institute for Democracy and Peace mengatakan, pernyataan maaf akan
menunjukkan kesungguhan dan komitmen pemerintah untuk mengembalikan hak dan
memulihkan nama baik korban.
“Sudah saatnya negara berhenti mengambil sikap menolak menerima dan mengakui adanya pembantaian pada tahun 1965 terhadap masyarakatnya sendiri,” katanya.
“Negara memenjarakan orang tanpa proses hukum, membuang orang ke tempat pengasingan,” katanya.
Ia menegaskan, penyelesaian tuntas masalah itu hanya
mungkin jika ada upaya mengungkap kebenaran, yang kemudian akan dilanjutkan
dengan rekonsiliasi dan permintaan maaf.
Sejauh ini, upaya mengungkap kasus ini masih menemui
rintangan. Film The Act of Killing dan The Look of Silence, karya sutradara
Joshua Oppenheimer, yang mengangkat pengakuan para algojo dalam pembantaian
1965, misalnya, dilarang diputar secara publik di Indonesia.
Tanda Keadaban
Pastor Franz Magnis Suseno SJ dari Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara Jakarta mengingatkan, negara mesti mengaku peristiwa itu
yang ia sebut, “kekejaman luar biasa.”
“Bangsa Indonesia tidak dapat selamanya lari dari sejarahnya. Tak mungkin kita mencapai sinergi bersama yang positif untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan kalau kita tidak berani menghadapi masa lampau,” katanya.
Persoalannya, kata dia, mengapa partai komunis tidak
cukup dibubarkan saja, mengapa sejuta rakyat mesti dibunuh.
“Mengapa pada waktu partai komunis sudah lumpuh, pembantaian masih terus terjadi”, katanya, sambil menambahkan, “sudah waktunya mengaku bahwa ada yang sangat keliru dalam peristiwa itu.”
Ia mengingatkan, mengungkap kebenaran dalam perstiwa itu
merupakan upaya penyucian dari segala
keterlibatan dan dosa kolektif.
“Bukan untuk saling menyalahkan tetapi agar bersama-sama, kita membersihkan hati,” katanya.
Bukan Pro PKI
Bagi aktivis, memenuhi hak korban bukan bentuk
pengampunan terhadap partai komunis.
“Bukan untuk partai komunis, tetapi warga negara yang menjadi korban ketegangan politik masa lalu. Tanpa penyelesaian yang adil, peristiwa tersebut akan menjadi beban sejarah berkelanjutan,” kata Naipospos.
Pastor Magnis juga menegaskan, PKI memang punya
pengalaman buruk melakukan kekerasan, namun, itu tidak berarti bahwa
pembantaian orang-orang yang tidak bersalah dibenarkan.
“Memperjuangkan hak-hak para korban tidaklah sama dengan mendukung PKI hidup lagi. Kita punya cukup alasan untuk meniadakan partai itu dari Indonesia,” katanya.
Ketua Komnas HAM Nurcholis juga menyatakan, permintaan
maaf yang perlu disampaikan presiden ditujukan kepada para korban pelanggaran
HAM.
“Dalam konteks korban-korban anak bangsa itulah, Presiden menyatakan penyesalannya”.
“Dia harus menyatakan penyesalan bahwa telah terjadi conflicting ideology (konflik ideologi) di masa lalu, akan tetapi bukan itu poinnya. Poinnya adalah dari proses politik itu telah menimbulkan serangkaian kesengsaraan bagi negara ini dan telah melahirkan banyak korban,” tambah Nurcholis.
Ia mengatakan, Jokowi perlu mengambil inisiatif untuk
meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca
1965.
Upaya itu menurut dia, penting dilakukan untuk
menunjukkan negara menghormati HAM.
Korban tetap
berharap
“Yang diharapkan para korban saat ini adalah agar para pelaku diadili lewat pengadilan HAM ad hoc,” kata Bedjo Untung, salah satu korban yang pernah dipenjara selama 10 tahun.
Bedjo Untung berpartisipasi
dalam Aksi Kamisan di seberang Istana Negara.
Namun, ia mengatakan, andai itu tidak bisa dilakukan
mengingat masih kuatnya tekanan dari kelompok yang berseberangan dengan mereka,
maka mengupayakan permintaan maaf dan memulihkan nama baik mereka sudah cukup.
“Ini diharapkan tidak berlarut-larut, apalagi, saat ini banyak keluarga korban dan saksi yang sudah meninggal,” katanya.
Pemerintah, kata dia, perlu segera bertindak.
“Sekarang, kuncinya ada di kemauan politik, terutama dari Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus ini,” katanya.
Tukiman, korban lain, yang ditangkap di Blitar, Jawa Timur mengatakan, “pemulihan nama baik adalah kerinduan mereka.”
“Kami sudah lama menanti seperti apa sikap negara kepada kami,” kata lansia 79 tahun ini.
“Saya ini sudah tua, semoga masih bisa menerima permintaan maaf dan pemulihan nama baik itu,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Malik, bahwa yang ia
butuhkan, adalah pengakuan negara.
“Meski pun kasus itu sudah 50 tahun lalu, namun saya masih trauma,” katanya.
Saking takutnya, hingga kini, ia masih menyimpan surat
pembebasannya dahulu dari tahanan, setelah dinyatakan tidak terbukti sebagai
anggota PKI.
“Saya simpan itu, karena masih takut jika suatu hari nanti adalagi penangkapan seperti yang saya alami waktu itu,” katanya, sambil menambahkan, ia masih bisa tunjukkan surat itu, jika ada yang menangkap dirinya.
“Saya yakin semua yang pernah ditangkap dahulu, masih trauma sampai sekarang. Cara untuk menghilangkan itu, ya, negara harus akui bahwa banyak orang yang tidak bersalah, yang salah ditangkap pada tahun 1965 itu. Kalau tidak, kami akan membawa terus beban ini,” katanya.
Ryan Dagur, Jakarta
Sumber: ucanews.com
0 komentar:
Posting Komentar