OCTOBER 3, 2015
SOEKARNO DAN SOEHARTO. “Satu
per satu, bila ditelusuri jejaknya, tak ada satu pun di antara para tokoh utama
yang terlibat –yang langsung maupun tak langsung pada akhirnya mencipta konflik
berdarah di bulan September 1965– menunjukkan kebajikan yang cukup berharga.
Beberapa di antaranya bahkan menampilkan perilaku buruk, keji, tak kenal belas
kasihan dan penuh intrik.” (foto download)
KENDATI waktu telah bergulir 50 tahun lamanya, Peristiwa
30 September 1965, dengan berbagai perlukaan yang mendahului peristiwa maupun
perlukaan lanjut yang terjadi sesudahnya, ternyata belum pulih sepenuhnya.
Ketika luka-luka itu dikorek, setidaknya sekali
setahun di akhir September dan di awal bulan Oktober, ‘bekas’ perlukaan
itu kembali membasah. Luka-luka itu bertahan, meminjam Dr Marzuki Darusman SH
–aktivis HAM yang sempat menjadi Jaksa Agung RI– tak lain karena kita semua
masih selalu terpaku pada perspektif masa lalu yang terbelenggu pada peristiwa.
“Ini yang terus menerus dicerna selama ini, sehingga tidak bisa diperoleh kebenaran di situ.”
Tercipta setidaknya perspektif dua kelompok wacana
mengenai peristiwa, yang menurut Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo
(putera salah satu pahlawan revolusi) membuat Indonesia seakan masih berada di
tahun 1965.
Menjelang peringatan 70 tahun Proklamasi RI maupun
menjelang 50 tahun Peristiwa 30 September 1965, beredar berita Presiden Joko
Widodo akan menyampaikan permintaan maaf kepada anggota PKI korban kekerasan
kemanusiaan setelah peristiwa. Dalam pidato di DPD-RI 14 Agustus 2015 Presiden
mengungkap saat ini pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling
bijaksana untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di tanah air.
“Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu.” Dan 1 Oktober 2015, usai peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Presiden Joko Widodo menegaskan, “sampai detik ini tidak ada pemikiran untuk minta maaf.”
Gagasan agar pemerintah minta maaf terkait pelanggaran
HAM masa lampau, adalah bagian dari adanya keterpukauan kepada perspektif lama
dan keterpakuan pada momen emosional 1965. Esensi dasar dari situasi emosional
seperti itu dalam bentuknya yang paling ekstrim, adalah membiarkan diri
terperangkap rasa benci dan rasa ingin membalas dendam. Sedang dalam bentuknya
yang paling lunak adalah kebutuhan adanya pihak yang mengaku bersalah dan
menyampaikan permintaan maaf. Dan sungguh luar biasa, bahwa baik bentuk emosi
paling ekstrim maupun paling lunak ini telah bertahan lima puluh tahun lamanya.
Melampaui sisa batas hidup para pelaku utama peristiwa –pada semua sisi– itu
sendiri. Tetapi sebuah dendam memang seringkali bertahan hidup lebih lama dari
usia manusia itu sendiri, karena bisa diwariskan turun temurun. Mungkin itu
yang telah dan masih lanjut terjadi dalam ‘pembelahan’ masyarakat akibat
Peristiwa 30 September 1965.
Memelihara rasa dendam berkepanjangan tak sedikit
preseden sosiologisnya di tengah masyarakat kepulauan ini dalam berbagai momen
sejarah. Mungkin sikap dendam dan mudah benci ditambah pembawaan gampang
terhasut dan terpicu semangat bertengkarnya, telah menjadi salah satu faktor
penting penyebab sulitnya penyelesaian berbagai konflik di negeri ini. Dalam
kultur Nusantara, ‘budaya’ dendam dan balas dendam, seringkali memang mendapat
pembenaran sebagai suatu nilai –satu patron dengan kultur China sebagai
referensi terkemuka Asia tentang ‘budi dendam’– yang melajur dalam pemahaman
tentang keadilan pada berbagai suku dan adat.
Salah satu terjemahan bebas dari perspektif dendam
kesumat, berbunyi “Luka pada daging tubuh masih bisa direkatkan kembali, akan
tetapi bila hati yang dilukai takkan ada obatnya, kecuali meminum darah
(mereka) yang bersalah.”
Barangkali perlu meminjam kata-kata bijak tentang
mengendalikan dendam dari Lao Tse (Lao Zi) dari China abad 5 SM. Lao Zi
mengajarkan: Orang dengan kebajikan hanya mencatat kesalahan yang terjadi padanya,
namun tak membalas dendam. Sebaliknya, orang dengan kebajikan yang rendah, pada
dirinya tetap melekat dendam, tak mau melupakan dan terus berusaha membalas.
POSTER PKI. “Para pemimpin PKI
sepanjang tahun 1960-1965 tak henti-hentinya memobilisasi massa anggota
organisasi mantelnya menjalankan aksi sepihak yang untuk sebagian besar
bercorak kekerasan dan berdarah-darah, untuk merebut tanah milik orang lain di
Jawa Timur dan Sumatera Utara. Ibarat menabung kebencian yang pada waktunya menuai
pembalasan berdarah yang berlipat-lipat kedahsyatannya.” (reproduksi)
PARA pemimpin yang menjadi tokoh utama dalam rangkaian
Peristiwa 30 September 1965, sadar atau tidak, kala itu sebenarnya telah
bermain terlalu dekat dengan sistim nilai dendam pemicu kekerasan tersebut.
Pada umumnya pertarungan politik yang terjadi antara tahun 1960-1965, tepat
berada dalam wilayah perilaku kekerasan sebagai senjata politik. Dan ketika
konflik politik merambah dan meluas secara horizontal sebagai pembelahan di
tengah masyarakat, tinggal soal waktu saja meletus sebagai malapetaka
sosiologis.
Semua pihak dalam kancah politik 1960-1965, memainkan
peran untuk kepentingannya sendiri dalam gaya politik akrobatis. Mereka
bergulat demi positioning dalam model perimbangan kekuatan yang
dijalankan Soekarno untuk mempertahankan kekuasaannya. Semua pihak –dari unsur
Nasakom maupun Angkatan Darat– cenderung tidak memiliki altruisma, betapa pun
mereka semua mencoba memberikan latar idealistik dan muluk-muluk bagi
tindakan-tindakan mereka dalam pertarungan kekuasaan. Kaum militer yang
berpolitik, khususnya Angkatan Darat, selalu menggunakan retorika Pancasila dan
UUD 1945 yang harus dipertahankan dari upaya menggantinya dengan ideologi lain.
Golongan politik agama, selalu berbicara tentang melindungi umat dan agama yang
mau dihancurkan kelompok politik kiri yang atheis. Sementara kelompok kiri PKI
dan kawan-kawan menampilkan diri dengan pretensi penyelamat rakyat proletar
dari penindasan dan penghisapan 7 setan kota dan 7 setan desa. Dan
disela-sela itu, tampil kelompok nasionalis PNI dalam perjuangan yang canggung
dengan retorika pembela kaum Marhaen.
Tetapi sebenarnya, pertarungan yang terjadi, dengan hanya
sedikit pengecualian, murni adalah pertarungan kekuasaan yang nyaris tak ada
hubungan faktualnya dengan kepentingan rakyat banyak. Untuk sebagian besar tak
pula ada hubungannya dengan persoalan membela Pancasila dan UUD 1945, bukan
untuk membela nasib kaum Marhaen, ataukah membela nasib rakyat proletar yang
tertindas. Meminjam uraian buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’ (Rum
Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006) semua unsur yang terlibat dalam pertarungan
politik dan kekuasaan kala itu, tidak memiliki belas kasihan satu terhadap yang
lainnya. Dalam suasana tanpa belas kasihan seperti itu, tidaklah mengherankan
bahwa darah tak segan ditumpahkan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya.
Darah menjadi halal dalam nafsu menghancurkan lawan.
Satu per satu, bila ditelusuri jejaknya, tak ada satu pun
di antara para tokoh utama yang terlibat –yang langsung maupun tak langsung
pada akhirnya mencipta konflik berdarah di bulan September 1965–
menunjukkan kebajikan yang cukup berharga. Beberapa di antaranya bahkan
menampilkan perilaku buruk, keji, tak kenal belas kasihan dan penuh intrik.
Para pemimpin PKI sepanjang tahun 1960-1965 tak
henti-hentinya memobilisasi massa anggota organisasi mantelnya menjalankan aksi
sepihak yang untuk sebagian besar bercorak kekerasan dan berdarah-darah, untuk
merebut tanah milik orang lain di Jawa Timur dan Sumatera Utara.
Ibarat menabung kebencian yang pada waktunya menuai
pembalasan berdarah yang berlipat-lipat kedahsyatannya. Di Bali dan Jawa Tengah
persaingan PKI dengan PNI untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan, berlangsung
tak kalah keras. Di titik ini, terdapat kesalahan penting yang dilakukan
Presiden Soekarno, yakni melakukan pembiaran terhadap berbagai aksi sepihak
dengan kekerasaan yang dilakukan PKI.
Kesalahan berikutnya dari Soekarno adalah tak melakukan
penindakan terhadap PKI ketika partai ini dibawa para pemimpinnya –Aidit dan
Biro Khusus PKI– melakukan pembunuhan sejumlah jenderal pimpinan Angkatan
Darat, sekaligus kudeta melalui pembentukan Dewan Revolusi. Ia tak membubarkan
PKI sebagaimana ia pernah membubarkan PSI dan Masjumi dengan tuduhan terlibat
pemberontakan PRRI/Permesta.
Cendekiawan muda MT Zen menggambarkan adanya suasana
ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI yang terjadi selama beberapa
tahun terakhir, yang seakan mencapai puncak pembuktian melalui pembunuhan
sejumlah jenderal dan perwira AD pada 1 Oktober 1965 dinihari. Dalam suasana
ketakutan itu, sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang
berkali-kali dijanjikan Soekarno sendiri “maka terjadilah pembunuhan
besar-besaran di Jawa tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di
Indonesia.”
Harus diakui kampanye yang dilancarkan sejumlah perwira
penerangan AD, tentang kekejaman PKI, terutama di Lubang Buaya, ikut
mempertinggi suasana ketakutan di masyarakat untuk kemudian meningkat menjadi
sikap perlawanan terhadap PKI. Brigadir Jenderal Sunardi DM, perwira penerangan
yang memimpin media Angkatan Bersenjata, sebelum meninggal di tahun 1987 pernah
mengakui kepada Rum Aly dalam sebuah percakapan, adanya kampanye tentang
kekejaman PKI yang dilebih-lebihkan. Tujuannya, membangkitkan perlawanan rakyat
dan penghancuran terhadap PKI.
Penggambaran media-media massa yang dikuasai AD terhadap
kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama AD
dan kekejian Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lubang Buaya, betul-betul berhasil
menyulut kemarahan massive di seluruh Indonesia. Dampaknya luar biasa
dahsyat. Tapi pada sisi sebaliknya, pengambilalihan komando Divisi Diponegoro
oleh beberapa perwira yang berhaluan komunis, dan tindakan sejumlah massa
organisasi mantel PKI yang memulai aksi pembunuhan terhadap sejumlah massa
organisasi non-komunis di Jawa Tengah, segera setelah Peristiwa 30 September
1965, lebih memperuncing lagi situasi kemarahan kepada PKI. Kekerasan balas
berbalas yang tercipta, terutama disebabkan oleh angtspsychose “mendahului
atau didahului” pada semua pihak.
Di Jawa Timur, dendam sosial akibat aksi sepihak merebut
tanah para kyai dan haji NU –yang terpendam bagai api dalam sekam selama
beberapa tahun– lebih mudah berkobar sebagai aksi pembalasan begitu angin
politik berbalik arah. Tapi baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, ada
situasi khusus yang perlu dicermati oleh mereka yang ingin menggali kebenaran
peristiwa, yaitu tentang keterlibatan sejumlah aparat militer dari Divisi
Diponegoro maupun Divisi Brawijaya dalam pembasmian massa PKI dengan cara keji,
padahal sebelumnya justru diketahui mereka ada dalam pengaruh politik PKI.
Harus pula dicatat bahwa di Jawa Timur, Jawa Tengah dan
juga Bali, korban pembantaian tak hanya terdiri dari massa PKI dan organisasi
mantelnya, melainkan juga dari kalangan masyarakat bukan komunis karena
bekerjanya fitnah dan dendam pribadi. Jumlahnya tidak kecil dan cukup
signifikan. Situasinya tak berbeda dengan mereka yang dijadikan tahanan politik
atau menjadi korban kejahatan kemanusiaan lainnya –berupa perampasan harta
benda dan perkosaan. Tak seluruhnya berkaitan dengan keanggotaan partai dan
organisasi berhaluan kiri.
Tetapi bagaimana pun juga, kejahatan kemanusiaan tetap
adalah kejahatan besar, siapa pun korbannya, siapa pun pelakunya. Tanggung
jawabnya –paling tidak secara moral– ada di bahu mereka yang sedang memegang
kekuasaan negara dan kekuasaan politik per saat itu. Mulai dari Soekarno yang
masih menjabat Presiden maupun penguasa de facto kala itu, yakni
Jenderal Soeharto, saat keduanya lebih sibuk dalam gimnastik mempertahankan dan
merebut kekuasaan untuk dirinya masing-masing.
Tak terkecuali para pemimpin partai dan organisasi massa,
termasuk tentu pemimpin PKI dan NU. Aidit lah yang membawa partainya ke dalam
upaya perebutan kekuasaan yang pada akhirnya menggiring para pengikut partai
itu masuk ke ladang pembalasan dendam sebagai korban. Dan ia tak sempat minta
maaf kepada para kader partainya.
Terlihat, betapa kompleks dan rumit persoalan yang ada,
sementara pada ruang dan waktu yang sama tak terjadi upaya sungguh-sungguh
menuju penyelesaian masalah. Semua pihak sibuk dengan versi kebenarannya
sendiri yang serba hitam-putih. Tabir ‘kegelapan’ sejarah dari peristiwa ini
harus disingkapkan dalam narasi kebenaran, sebelum tergulung habis oleh waktu.
Jangan berikan ruang bagi berlakunya apa yang disebut Lao Zi sebagai kelemahan
manusiawi, bahwa dendam besar yang telah didamaikan sekalipun, pasti masih ada
sisa dendam di belakangnya. (socio-politica.com)
0 komentar:
Posting Komentar