Anton Muhajir | 28 Oktober 2015
Hari ini, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) kembali diadakan.
Festival para penulis dan pembaca buku tiap tahun ini sudah diadakan 12
kalinya di Ubud, Gianyar. Namun, tahun ini dengan sejumlah pembatalan dan
pertanyaan.
Seminggu menjelang pelaksanaan Ubud Writers & Readers Festival, panitia
membatalkan rencana diskusi, menonton film, dan bedah buku terkait peristiwa
1965. Penyelenggara UWRF mengumumkan pembatalan tersebut melalui website resmi
Jumat lalu. Sebagian isinya seperti di bawah ini.
“Pada hari ini, Jumat tanggal 23 Oktober 2015, dengan berat hati Ubud Writers & Readers Festival secara resmi mengumumkan beberapa sesi yang dibatalkan.Tiga diskusi panel terkait Rekonsiliasi dan Pemulihan, pemutaran film The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer, dan pameran serta peluncuran buku The Act of Living tidak dapat dilaksanakan. Terkait satu dan lain hal, program-program tersebut terpaksa harus dibatalkan.”
Panitia tidak menyampaikan dengan jelas apa alasan pembatalan. Mereka hanya
menyebut, “Terkait satu dan lain hal, program-program tersebut terpaksa harus
dibatalkan.” Tidak ada penjelasan lebih lanjut kenapa dan bagaimana cerita di
balik pembatalan tersebut.
Jadi, bagaimana cerita sebenarnya?
I Wayan Juniarta, Manajer Program Indonesia UWRF, menceritakan. Tanda-tanda
akan mulai ada pembatalan beberapa kegiatan sudah muncul sejak 8 Oktober lalu.
Pihak kelurahan dan kepolisian sektor setempat mendatangi kantor UWRF di Ubud,
Gianyar. Mereka menanyakan apakah benar akan ada program tentang 1965 di UWRF
kali ini.
Tema UWRF tahun ini adalah 17.000 Pulau Kaya Imajinasi. Di dalamnya memang
termasuk rencana beberapa program utama tentang rekonsiliasi dan pemulihan
pasca-1965. Misalnya, pemutaran film The Look of Silence karya
Joshua Oppenheimer dan pameran serta peluncuran buku The Act of
Living tentang ibu-ibu penyintas kekerasan 1965.
Pihak kelurahan dan polsek setempat, yang turut bertanggung jawab memberi
rekomendasi izin pelaksanaan UWRF, lalu meminta agar penyelenggara fokus pada
tujuan awal UWRF sebagai media promosi pariwisata. Tidak usah ada topik tentang
komunisme, Partai Komunis Indonesia (PKI), ataupun peristiwa 1965.
“Jika masih ada diskusi-diskusi tentang 1965, mereka tidak akan memberikan rekomendasi untuk izin,” kata Juniarta.
Sejak 8 Oktober 2o15 itu, mulai ada diskusi intensif antara pihak
kepolisian, kelurahan, tentara, dan penyelenggara. Menurut Juniarta, pihak
kepolisian menggunakan dasar hukum Ketetapan MPRS No XXV tahun 1966. Tap MPRS
yang disahkan pada 5 Juli 1966 ini tentang pembubaran PKI, pernyataan PKI
sebagai organisasi terlarang, serta larangan kegiatan untuk menyebarkan atau
mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
“Suka tidak suka, aturan itu memang masih ada dan berlaku,” ujar Juniarta.
Aturan tentang larangan diskusi ataupun kegiatan untuk menyebarkan faham
komunisme itu dipakai dasar oleh polisi meskipun tidak disebutkan di atas
kertas. Jun menambahkan, izin kegiatan memang harus dari Mabes Polri karena
UWRF termasuk kegiatan berskala internasional.
Setelah mendapat imbauan pertama itu, Jun menghubungi Janet DeNeefe dan
Ketut Suardana. Janet adalah inisiator dan direktur UWRF. Adapun Ketut adalah
pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati, penyelenggara even tahunan UWRF. Karena
keduanya masih di Jerman untuk hadir dalam Frankfurt Book Fair, mereka belum
bisa mengambil keputusan.
Pada Kamis pekan lalu, penyelenggara UWRF mengadakan rapat koordinasi.
Selain pihak yayasan, hadir pula Kapolsek Ubud, Lurah Ubud, dan Wakil Komandan
Koramil (Wadanramil) Ubud. Selama rapat tersebut, pihak polisi kembali
menegaskan imbauan mereka agar penyelenggara festival fokus pada tujuan
festival, promosi pariwisata dan budaya.
“Diskusi tentang peristiwa 1965 dianggap tidak berhubungan dengan promosi pariwisata dan budaya sama sekali,” tambah Jun.
Sehari setelah rapat koordinasi di kantor UWRF di Ubud, penyelenggara UWRF
kembali diundang rapat lagi di Mapolres Gianyar. Kali ini bersama para anggota
Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Fokorpimda) Kabupaten Gianyar. Hadir para
pimpinan daerah antara lain Kapolres Gianyar, Kepala Kejaksaan Negeri Gianyar,
dan Kepala Pengadilan Negeri.
Dalam rapat itu, menurut Jun, pihak kepolisian menegaskan lagi imbauan agar
UWRF tidak melaksanakan kegiatan terkait komunisme dan 1965. Ketut Suardana
sebagai Ketua Yayasan Mudra Saraswati pun menerima imbauan tersebut. Mereka pun
sepakat membatalkan beberapa agenda terkait PKI, komunisme, ataupun peristiwa
1965.
“Kami harus memikirkan dampak lebih luas jika kami tidak mendapat izin pelaksanaan Ubud Writers and Readers Festival,” kata Jun.
Selain itu, Jun
menambahkan, Ketut pun menegaskan bahwa UWRF berada di wilayah Indonesia dan
karena itu harus taat pada aturan hukum di Indonesia.
Setelah penyelenggara sepakat membatalkan semua kegiatan terkait 1965, maka
izin dari Mabes Polri pun dikeluarkan. Izin terhadap UWRF tersebut memang
sebagai kegiatan pelestarian, pengembangan, dan pertukaran lintas budaya internasional.
Izin itu sendiri sudah dikeluarkan di Jakarta pada 20 Oktober 2015 dengan
tanda tangan dari Kepala Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri. Namun, surat
izin tersebut disertai empat poin catatan. Di antaranya bahwa penanggung jawab
wajib mencegah jika terindikasi terjadi penyimpangan dari tujuan kegiatan.
Poin lain adalah bahwa bilamana terjadi penyimpangan, maka kepolisian dan
atau keamanan dapat membubarkan kegiatan.
Tidak ada hitam di atas putih bahwa polisi melarang diskusi terkait
peristiwa 1965. Kapolres Gianyar AKBP Farman pun mengatakan bahwa tidak ada
intervensi dan larangan terhadap UWRF.
“Program (1965) dibatalkan oleh panitia, bukan polisi,” kata Farman sebagaimana ditulis BBC.
Jumat siang, pembatalan pun resmi disampaikan kepada pihak sponsor,
pembicara, dan publik. Melalui website resmi, penyelenggara UWRF juga
membatalkan beberapa agenda diskusi, pemutaran film, dan peluncuran buku
terkait peristiwa 1965.
Menurut informasi di website mereka, setidaknya ada tujuh kegiatan
terkait peristiwa 1965 yang dibatalkan. Selain pemutaran film The Look
of Silence dan peluncuran buku The Act of Living, rencana diskusi
tentang proyek musik Prison Songs, lagu-lagu karya penyintas
peristiwa 1965 pun dibatalkan.
Roro Sawita, aktivis Komunitas 65 Bali yang mendampingi para penyintas
peristiwa 1965, menyesalkan pembatalan tersebut meskipun dia tidak terlalu
kaget.
“Sudah bisa diduga akan terjadi pembatalan. Ini kan hanya salah satu bagian dari skenario besar membungkam pengungkapan kebenaran peristiwa 1965,” kata alumni Fakultas Sastra Universitas Udayana tersebut.
Dia menyebut contoh pencekalan Tom Iljas di Sumatera dan pelarangan Majalah
Lentera di Salatiga membuktikan bahwa pemerintah memang masih alergi terhadap
diskusi tentang peristiwa 1965.
Roro direncanakan akan mengisi sesi tentang Prison Songs,
proyek rekaman lagu-lagu penyintas 1965. Roro seharusnya berdiskusi bersama
Made Mawut dan Nyoman Angga, musisi yang terlibat dalam proyek tersebut pada
Jumat, 30 Oktober 2015.
Namun, sesi itu kemudian dibatalkan panitia, seperti juga rencana
kegiatan-kegiatan lain di festival buku terbesar di Asia Tenggara ini. [b]
Anton Muhajir, Jurnalis lepas, blogger, editor, dan nyambi tukang kompor. Menulis lepas di media arus utama ataupun media komunitas sambil sesekali terlibat dalam literasi media dan gerakan hak-hak digital.
Sumber: BaleBengong
0 komentar:
Posting Komentar