Oleh :
Tempo.co |
Jumat, 2 Oktober 2015 06:59 WIB
TEMPO.CO, Banguwangi - Minggu ketiga Oktober 1965. Slamet Abdul Rajak, sedang berlatih angklung di kantor Lembaga Kebudayaan Rakyat di Temenggungan, Banyuwangi, Jawa Timur. Lekra merupakan lembaga yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia. Saat itu ada sekitar 10 orang bersamanya. Lalu tiba-tiba, kegaduhan itu datang. Kampung yang jadi basis ‘merah’ itu dikepung tentara berseragam dan berlaras panjang. Belasan panser berjaga di setiap ujung jalan.
Gerombolan lain berbaju serba hitam yang menamakan diri “Gagak Hitam” datang menyerbu. Membawa pentungan dan clurit, mereka menendang dan menangkapi siapa saja yang di kampung itu. Rumah-rumah lantas dirusak. Seisi kampung lari tunggang-langgang, suasana berubah mencekam.
–– ADVERTISEMENT ––
Slamet yang saat itu berusia 17 tahun, berusaha menyelamatkan diri dengan menyusuri jalan-jalan tikus. Saat itu dia berpikir untuk kabur ke Surabaya menggunakan kereta api. Di tengah jalan ia mengubah rencananya untuk pergi menggunakan kapal dari Pelabuhan Boom.
Tapi nahas, baru saja sampai di pintu pelabuhan, ada orang yang meneriaki namanya.
“Seorang tentara langsung menendang dan melempar saya ke atas truk,” kata pria yang kini 73 tahun itu, Senin 21 September 2015.
Dia lantas dibawa ke Lapangan Blambangan, tengah kota. Di situ sudah penuh dengan orang yang senasib seperti dirinya. Ratusan tentara bersenjata beserta Gagak Hitam berjaga ketat.
Dari Lapangan Blambangan, Slamet diangkut lagi ke sebuah gedung sekolah di Desa Bulusan. Seharian itu juga dia menjalani interograsi di tiga tempat berbeda, mulai ke kantor Kodim, Puterpra dan berakhir di kantor Badan Komando Siaga (BKS) di kampungnya.
Saat di kantor BKS, Slamet dimasukkan ke sebuah drum selama sehari-semalam, sebelum akhirnya seorang tokoh Muhammadiyah menyelamatkannya. Setelah hari-hari yang mencekam itu, Slamet menerima kabar empat saudaranya tewas.
“Ada yang ditembak dan ditebas kepalanya,” kata eks anggota Pemuda Rakyat sekaligus Lekra ini.
Pada tahun 1960an, Temenggungan yang berada persis di timur Pendopo Kabupaten Banyuwangi ini, dikenal sebagai basis PKI dan seniman Lekra. Muhammad Ikrom Hasan, yang ikut dalam penyerbuan ke Temenggungan saat itu, bercerita, sebelum diback-up ABRI, kelompok NU tak pernah berani masuk ke kampung tersebut.
“PKI di sana cukup kuat,” kata pria 63 tahun ini.
Saat itu Ikrom sering membantu ayahnya, Hasan Jalaludin, yang menjadi penasihat ranting Partai NU Kecamatan Banyuwangi. Keluarga Ikrom bermukim di Temenggungan.
IKA NINGTYAS
Sumber: Tempo.Co
0 komentar:
Posting Komentar